Perempuan Nelayan Semakin Dimiskinkan dan Termarginalkan
TANGGAL 6 April 2018 bertepatan dengan momentum Hari Nelayan, SP Anging Mammiri bersama Perempuan Nelayan di Kelurahan Tallo, Buloa dan Cambaya meminta kepada Pemerintah Provinsi Sulsel dan Pemerintah Kota Makassar untuk segera menghentikan segala aktivitas proyek pembangunan reklamasi pantai yang merampas ruang hidup dan ruang kelolah masyarakat khususnya bagi perempuan nelayan. Begitu kata Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri.
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri bersama 151 Perempuan Nelayan dari Kelurahan Tallo, Buloa, dan Cambaya menuntut Pemerintah Daerah untuk menghentikan proyek reklamasi pantai. Tuntutan yang disampaikan pada Hari Nelayan Nasional 2018 ini dilatarbelakangi oleh dampak buruk yang dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir di Kelurahan Cambaya, Buloa dan Tallo. Nelayan dan masyarakat pesisir kehilangan akses dan _kontrol terhadap sumber daya alamnya, dalam hal ini lautnya. Reklamasi pantai pembangunan pelabuhan Makassar New Port (MNP) juga mengancam warga untuk digusur dari wilayah kelolanya. Untuk mengakses lautnya pun semakin sulit serta harus menambah biaya/pengeluaran yang lebih untuk membeli bahan bakar minyak/Solar karena akses yang harus ditempuh lebih jauh dari sebelumnya.
“Sebelum ada pembangunan Makassar New Port, solar 1 Liter _sudah cukup, sekarang sudah tidak cukup lagi karena kita harus keliling dulu untuk sampai ke Pelelangan ikan, karena ada tanggul-tanggul yang sudah dibangun sama perusahaan” ungkap salah seorang Nelayan Kel.Tallo.
Pelaksanaan Reklamasi pantai di Kota Makassar dilegitimasi dengan disahkannya Perda No. 4 Tahun 2015 tentang RTRW Kota Makassar yang akan mereklamasi laut seluas 4.500. selain itu akan disahkannya Ranperda Sulawesi _Selatan tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang akan mengalokasi ruang untuk zona Jasa dan Perdagangan yang secara khusus diarahkan untuk mengakomodir rencana dan proyek reklamasi di Sulawesi Selatan sebesar 3.849.98 Ha, khusus di Kota Makassar seluas 3.133.29 Ha yang diperuntukkan untuk mengakomodir proyek reklamasi pesisir dan rencana pembuatan pulau-pulau reklamasi. Tentunya hal ini akan semakin mempermudah para _investor untuk menguasai sumber daya alam dan semakin memsikinkan serta memarginalkan masyarakat nelayan Khususnya Perempuan.
Perda Kota Makassar dan ranperda Provinsi Sulsel menjadi momok yang menakutkan terhadap masyarakat nelayan khususnya Perempuan yang menggantungkan hiudpnya di laut, karena kebijakan tentunya tersebut hanya membuka ruang yang sebesar-besarnya untuk kepentingan investasi dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat. Laut yang dijadikan sebagai sumber pangan dan sumber ekonomi telah hilang dan dirampas untuk kepentingan bisnis/ekonomi global melalui berbagai proyek reklamasi. Dampaknya perempuan harus bekerja lebih dan _berfikir ekstra untuk memenuhi kebutuhan keluarga/rumah tangga dan keberlanjutan sekolah anak-anaknya.
”Sekarang itu, pendapatan sangat kurang, biasanya kami hanya mendapatkan Rp20.000/hari, padahal sebelumnya itu kita bisa dapat Rp 300.00-500.000/Hari. Saya sedih bahkan menangis kalau hanya dapat 20.000, sementara biaya hidup semakin hari semakin banyak. ungkap Daeng Siah, salah satu Perempuan produsen pangan yang saat ini sedang berjuang untuk merebut kembali haknya.
SURYANIÂ Penulis adalah Koordinator Program SP Anging Mammiri