CERPENGAGASAN

Apa Salah Gondrong?

PAGI sekali Anisa datang menemui Mas Gondrong di tokonya. Dan Mas Gondrong sibuk dengan kegiatannya di depan komputer. Anisa adalah pacar Mas Gondrong. Sudah sepuluh tahun mereka menjalin hubungan. Sejak keduanya masih di bangku kelas tiga SMA sampai sekarang. Hingga Annisa menjadi seorang bidan dan Mas Gondrong menjadi gondrong. Sampai sekarang belum ada sinyal-sinyal mereka bakal melangsungkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Mas Gondrong tersenyum pada Anisa. Namun buru-buru senyuman itu ia singkirkan, lantaran menyadari raut wajah Anisa ngambek. “Kita putus!” Hanya dua kata itu yang diucapkan Anisa. Mampu membuat Mas Gondrong mengernyitkan dahi kebingungan. Tanpa ada angin tanpa ada asap kok Anisa tiba-tiba minta putus? Padahal malam minggu kemarin keduanya masih mengecapi yang namanya bahagia tatkala mereka bersama di pasar malam.

“Saya tidak salah dengar kan, sayang?” Tanya Mas Gondrong menghentikan ketikannya pada keyboard.

“Tidak! Aku serius kita putus. Kali ini aku tidak bercanda. Aku kira semuanya sudah jelas. Aku pergi sekarang,” segah Anisa tegas satu kali tarikan nafas, kemudian balik kanan. Buru-buru Mas Gondrong menarik tangannya. “Jelaskan sekarang! Kenapa? Sudah sepuluh tahun lho. Masa kamu tiba-tiba minta putus. Ada apa sebenarnya?” Mas Gondrong tetap tenang.

“Aku tidak bisa menerima kamu lagi. Terus terang saja kelak aku tidak ingin punya suami gondrong. Aku sudah capek Mas diledekin orang-orang punya pacar gondrong kayak kamu.”

“Bukannya dari dulu kamu tidak mempermasalahkan kegondronganku?”

“Itu dulu. Sekarang beda.”

“Jadi sekarang kamu mau kita putus?” Tanya Mas Gondrong masih memegang tangan Anisa.

***

Sejatinya Mas Gondrong ketika belum gondrong alias masih sekolah. Ia divonis bakal menjadi putra kampung terbaik. Dengan hal ini digadang−gadang memiliki masa depan yang cemerlang.

Dahulu, dulu-dulu, beberapa tahun yang lalu, dulu waktu Mas Gondrong masih sekolah. Dari SD sampai SMA ia tidak pernah keluar dari tiga terbaik di kelasnya. Paling sering memperoleh rangking dua. Kadang-kadang satu, sangat jarang tiga. Sebenarnya bisa saja Mas Gondrong selalu rangking satu mengingat kemampuannya menguasai beberapa mata pelajaran tidak perlu diragukan lagi. Tapi ia tidak mau sering-sering memperoleh rangking satu.

Alasannya ada dua. Yang pertama, ia tidak ingin mengusik singgasana Anisa. Anisa memang teman kelas Mas Gondrong dan mereka selalu sekelas sejak SD hingga SMA. Dan mereka pacaran sejak kelas tiga SMA. Anisa kerap kali memperoleh rangking satu di atas bayang-bayang Mas Gondrong yang rangking dua. Alasan yang kedua, Mas Gondrong tidak suka rangking satu. Sebab apabila ia rangking satu. Maka kemungkinan besar ia akan dihantui sifat ujub dan merasa diri paling pintar di antara teman-temannya yang lain. Prinsipnya semua siswa itu sama, baik yang mendapatkan rangking terdepan ataupun yang rangkingnya bobrok. Hanya saja yang membedakan faktor kemalasan dari siswa itu sendiri dalam memperhatikan pelajaran.

Ekspektasi masyarakat setempat terhadap masa depan Mas Gondrong yang akan cemerlang, luluh seiring Mas Gondrong tumbuh menjadi dewasa. Sejak Mas Gondrong memutuskan untuk gondrong. Hilang sudah kepercayaan masyarakat padanya kalau ia bakal menjadi putra kampung terbaik. Hanya karena satu hal, ia gondrong.

Masyarakat di kampung itu tampaknya tidak bisa menerima, kalau tidak semua laki-laki gondrong itu identik dengan preman. Pokoknya semua disapu rata, gondrong itu tidak baik, peremanisme, penjahat, tidak rapi, tidak pandai mengurusi diri. Bagaimana bisa mengurusi keluarganya kelak, jika rambutnya saja tidak terurus dengan benar. Begitulah anggapan masyarakat setempat terhadap laki-laki yang memilih menjadi gondrong.

Di kampung itu, berapa sih laki-laki selain Mas Gondrong yang gondrong? Yang paling pertama adalah Cannandi. Gara-gara ia gonrdrong, mau tidak mau ia selalu tidak pernah kebagian tempat untuk menjadi anggota kepanitiaan acara di kampungnya. Baik itu acara pesta rakyat atau acara hajatan. Gara-gara apa? Ya karena Cannandi gondrong. Masyarakat beranggapan Cannandi tidak akan mampu mengurusi tugasnya di kepanitiaan, mengingat rambutnya saja tidak bisa diurus dengan baik apalagi tugas-tugasnya kelak.

Kerena itu Cannandi menyerah pada keadaan. Ia memutuskan untuk tidak gondrong lagi. Rambutnya yang ikal sepunggung, ia pangkas cepak. Masyarakat riang melihat Cannandi seperti itu. Tampak gagah katanya. Buah dari ketidak gondrongan Cannandi ia dipercaya untuk  bergabung menjadi anggota panitia pemungutan suara pada pilkada kemarin. Cannandi pun merasa senang bisa diterima dengan baik di lingkungan masyarakat.

Selain Cannandi yang pernah gondorong juga ada Bakli. Senasib dengan Cannandi, Bakli juga pernah menjadi korban diskriminasi masyarakat kampung setempat. Karena keputusannya untuk gondrong. Pada akhirnya Bakli juga menyerah pada keadaan. Ia memutuskan untuk memplontos rambutnya. Buah dari itu, Bakli langsung diterima menjadi anggota ‘SIARIOI’, salah satu elekton musik yang ada di kampung setempat. Elekton mahsyur, namanya santer hingga lintas kecamatan. Padahal dulu, ketika Bakli mengajukan permohonan untuk menjadi anggota SIARIOI, ia selalu ditolak mentah-mentah. Karena apa? Karena ia gondrong. Sekarang Bakli boleh tersenyum lepas lantaran bisa diterima di lingkungan masyarakat.

Yang paling anyar adalah Nakdi. Nakdi juga pernah gondrong sama seperti Cannandi dan Bakli. Dan, Nakdi pun mengikuti jejak-jejak pendahuluinya dengan hal ini Cannandi dan Bakli untuk menyerah pada keadaan. Rambut Nakdi yang gondrong juga ikut dipangkas. Lantaran sudah tidak betah disama-samakan dengan preman. Ia sudah tidak tahan dikucilkan dan menjadi bahan pembicaraan orang-orang karena ia gondrong.

Alhasil setelah rambut Nakdi dipotong pendek. Tak tanggung-tangung lamarannya untuk menikahi Asiska, putri kepala dusun langsung diterima. Padahal sebelum-sebelumnya ketika Nakdi menyambangi rumah Asiska. Belum juga Nakdi menyampaikan maksudnya untuk melamar. Ia sudah buru-buru ditolak. Karena apa? Karena ia gondrong.

“Tujuan saya datang ke rumah Bapak, sebenarnya ada dua…” Ucap Nakdi kala itu, ia mengatur pernapasannya. Sebisa mungkin ia menghilangkan rasa groginya. Di hadapan Asiska dan kedua orang tuanya.

“Silaturahmi dan….” belum juga Nakdi merampungkan ucapannya. Bapaknya Asiska buru-buru memotong. “Kalau tujuanmu datang kemari untuk silaturahmi, kami terima dengan senang hati. Tapi kalau ada embel-embel ingin melamar anak kesayangan kami. Mending kamu banyak-banyak berkaca. Terus terang saja di keluarga kami tidak akan menerima menantu yang gondrong,” jelas bapaknya Asiska. Nakdi hanya bisa tertunduk pasrah.

Andaikan ia tidak menyadari kegondrongannya bisa saja ia menetestakan air mata saat itu juga. Tapi Nakdi sadar, gondrong itu kuat. Jangankan untuk menangis, minum air kemasan pakai pipet saja tidak semestinya dilakukan oleh mereka yang gondrong. Tapi sekarang Nakdi sudah diterima di keluarga Asiska. Sejak ia menghilangkan kegondrongannya. Bahkan tidak lama lagi ia akan dikarunia momongan. Kata bidan, Asiska akan melahirkan bayi kembar.

Saat ini hanya tersisa Mas Gondrong saja yang gondrong di kampung itu. Suatu kampung di mana laki-laki berambut gondrong sangat dikutuk dan terlarang. Tapi Mas Gondrong tidak ingin mengikuti jejak-jejak pendahulunya, untuk ingin menyerah pada keadaan. Mas Gondrong ingin membuktikan pada masyarakat kalau gondrong itu tidak selamanya identik dengan premanisme. Masih sangat banyak gondrong di muka bumi  yang baik dan berhati mulia. Salah satunya adalah Mas Gondrong.

Selain Mas Gondrong rutin salat berjamaah di masjid, ia juga satu dari sedikitnya laki-laki gondrong yang bukan perokok. Ia menjauhi yang namanya judi, minum-minuman keras dan bentuk perbuatan tidak terpuji lainnya. Pokoknya andaikan Mas Gondrong tidak gondrong sudah tentu Mas Gondrong akan menjadi rebutan perempuan-perempuan setempat. Dasar Mas Gondrong hidup di kampung yang tidak menerima gondrong. Kebaikan Mas Gondrong tidak ada artinya hanya karena ia gondrong.

Pernah suatu jumat, Mas Gondrong berniat ingin membaca khotbah lantaran khatib yang bertugas hari itu belum muncul batang hidungnya. Sehingga Mas Gondrong tergerak hatinya ingin menggantikan posisinya untuk membaca khotbah. Baru beberapa langkah Mas Gondorng menuju mimbar. Langkahnya dicegat oleh beberapa jamaah. Semua jamaah tampak tidak sudi jika Mas Gondrong ingin menjadi khatib. Mata mereka melotot dan meminta pada Mas Gondrong untuk kembali ke tempatnya.

Alhasil daripada tidak ada yang membaca khotbah. Salah seorang jamaah yang tidak gondrong bertindak menjadi khatib. Tersendat-sendat dan sekujur tubuhnya gemetaran. Perkataan khatib itu tidak jelas. Tapi jamaah menikmatinya. Bagi mereka itu jauh lebih baik dan terhormat daripada Mas Gondrong yang bertindak menjadi khatib.

“Tidak sudi rasanya jika harus dikhotbahi Mas Gondrong yang preman itu,” cerita salah seorang jamaah saat keluar dari masjid.

Bukan hanya itu. Mas Gondrong kan memiliki salah satu usaha yaitu jasa percetakan dan penjualan buku. Baik itu buku tulis ataupun buku bacaan serta alat-alat tulis lainnya. Hanya Mas Gondrong seorang yang memiliki usaha seperti itu di kampungnya. Dasar Mas Gondrong hidup di kampung yang mengutuk laki-laki gondrong. Usaha Mas Gondrong tidak berjalan sesuai harapan. Lantaran sepi pengunjung. Masyarakat setempat lebih memilih ke toko yang ada di kampung sebelah dari pada harus beli di toko Mas Gondrong. Karena apa? Ya, Karena Mas Gondrong gondrong.

Andaikan saja Mas Gondrong tidak gondrong sudah tentu usahanya laris manis. Bukan hanya itu, ia akan dipercaya menjadi pembaca khotbah jika hari jumat. Ia juga akan diamanahi untuk membimbing remaja-remaja masjid. Dan yang tidak akan dibantah lagi pasti banyak perempuan di kampung itu yang kebelet untuk dinikahi Mas Gondrong. Karena memang Mas Gondrong baik, saleh, cerdas dan gagah. Hanya saja karena ia gondrong semuanya terasa tidak ada artinya.

***

“Hanya ada satu cara supaya kita tidak putus,” lanjut Anisa. Mas Gondrong lekat-lekat menatap wajah Anisa. Anisa mengontrol emosinya kemudian melanjutkan kembali ucapannya. “Hanya ada satu cara supaya kita tidak putus. Cukur rambutmu! Itu saja.”

“Bahkan kemarin kamu tidak mempermasalahkan itu, sayang.”

“Iya aku tahu. Tapi itu dulu, kemarin-kemarin. Sekarang lain lagi.”

“Kupikir kamu akan menerimaku apa adanya, sayang.”

“Iya aku tahu. Tapi itu dulu, kemarin-kemarin. Sekarang lain lagi.”

Mas Gondrong diam. Tampak berfikir keras. Ia sedikit bingung dengan perubahan sikap pacarnya yang seperti itu. Bahkan kemarin Anisa berpesan pada Mas Gondrong untuk tidak menyerah pada keadaan. Ia mendukung Mas Gondrong untuk membuktikan pada masyarakat kalau tidak selamanya gondrong itu identik dengan premanisme dan berbau kriminal. Tapi pagi ini Anisa berbeda seratus delapan puluh derajat dari Anisa yang kemarin, Anisa yang dikenal Mas Gondrong sebagai pacar yang menerima dirinya apa adanya.(**)

MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: