
Siapa itu IJS? Ia adalah sebuah lembaga lokal bagi Wartawan yang ada di Mamuju — Ikatan Jurnalis Sulawesi Barat namanya. Resmi berdiri pada Januari 2015. Saya kira-kira saja, 25 s.d. 40 Wartawan yang ada di Mamuju, Mamuju Tengah, dan Pasangkayu ada di lembaga ini.
Lembaga ini dipimpin Irham Azis, ketuanya, teman saya, ‘adek letting saya’. Ia berasal dari salah satu kampung tua Mamuju lama: Babana, Budong-Budong.
Saya tahu, pada awal lembaga ini dibentuk, salah satu alasannya karena PWI Sulawesi Barat dianggap ‘tertutup’, tidak mampu ‘mengamodasi’ telenta-talenta muda yang kritis, dan para penerus Ayahanda Haji Andi Sanif Atjo (Alm.) — yang membawa PWI ke Sulawesi Barat — tak suka pada Wartawan yang ‘bandel’ dan ‘keras’ walau ia berbobot. Setiap kali rapat pasti ‘ribut’, dinamis, ktitiknya menajam — bahkan menghunjam pada yang ‘ortodoks’ di PWI Sulawesi Barat.
Di masa-masa itu, saya terkadang harus bertindak jadi ‘palang pintu’ walau ribetnya minta ampun, bahkan kerasnya nyaris tak ‘terkontrol’, yang puncaknya pada 2017 lalu: saya dan ‘adek letting’ Irham nyaris saling seruduk. Tapi kami paham, Mambi dan Budong-Budong tidak boleh saling ‘menyepak’ di lapangan terbuka. Di siang kala itu kami boleh beradu dengan ketegangan tinggi tapi malamnya saling traktir di warkop. Begitulah, sepintas lalu kisah lama.
Lama-lama ‘bubar’, lalu berdirilah IJS itu. Irham dkk yang komandoi. Tapi meski begitu PWI Sulawesi Barat tetap tegak berdiri, ‘kelimpungan’ sedikit mungkin juga iya. Singkat cerita, saya jadi Sekretaris PWI Sulawesi Barat sejak Konferprov 2017.
Bisa dibilang sejak 2017 pula, IJS kian kukuh secara organisasi. Maka bertemulah judul di atas: IJS “Bunuh 2 Kakaknya”.
Siapa yang dimaksud “kakak” itu? Ya, PWI Sulawesi Barat dan AJI Kota Mandar. Tak elok saya membawa-bawa nama AJI Kota Mandar dalam untaian ‘kegundahan’ saya di medsos ini. Saya kurang paham pula apa ‘isi’ lembaga Jurnalis di Mandar, Sulawesi Barat ini. Cukuplah saya sebut bahwa lembaga bentukan para kampiun Pers Indonesia di bawah rezim otoriter Orde Baru itu, kini dipimpin seorang sosok dengan integritas, independensi, dan pejuang literasi: Muhammad Ridwan Alimuddin.
Apakah AJI Kota Mandar ‘melempem’? Saya tak tahu. Cukup sampai di sini.
“Kakak” yang satunya lagi, siapa? Iya, siapa lagi kalau bukan “kakak tertua”, PWI Sulawesi Barat. Sejak 2017 lembaga ini diketuai oleh Naskah Nabhan.
Dari sinilah catatan pendek ini lahir.
Saya bisa menyelami dengan bantuan panca indra ‘keenam’ bahwa di benak 70-an kawan-kawan saya (senior dan muda) di PWI Sulawesi Barat memosisikan saya ‘bagai duri dalam daging’. Iya, bisa saja benar. Tapi antara tuntutan reformasif dan paradigma isi ‘status quo’ itu selalu memang ‘berbenturan’.
Jelang dua tahun jadi pimpinan lembaga Wartawan yang tertua di Indonesia ini, pada level provinsi tentunya, yang eksistensinya telah memasuki tahun ke-13, sudah seharusnya merubah diri. ia harus terbuka dan transparan dalam pengelolaan dana lembaga. Ketika ia terbuka maka keseluruhan prosesnya diketahui oleh pengurus inti lembaga. Dan, transparansinya — misalnya pada saat uang lembaga itu ada, apalagi jika ‘terkoneksi’ dengan anggaran publik — itu perlu ‘dilihat’ oleh pengurus lembaga. Apakah fisik uangnya memang harus dilihat selain bendahara? Bukan itu maksudnya. Tapi maksud ‘dilihat secara fisik’ adalah ‘terdistribusi’ pada apa saja itu dana.
Soal lain adalah perekrutan anggota PWI Sulawesi Barat dan formalitas kelembagaan di kabupaten-kabupaten sesuai program kerja yang telah dibuat. Kita tak boleh ‘takut’ manakala Wartawan muda dengan talenta dan SDM yang baik hadir di lembaga. Seharusnya kita sambut mereka. Toh, setiap periode kepengurusan lembaga ini hanya berumur lima tahun. Kita harus membuka diri. Kita tak boleh menutup mata dan pura-pura hendak ‘membelakangi’ tuntutan zaman, sebab regenerasi itu mutlak terjadi. Cara pandang itu yang saya maksud kita mesti keluar dari ‘isi status quo’.
Kepelatihan, pendalaman tugas-tugas Jurnalisik bagi Wartawan ‘muda’ juga tak boleh abai. Lembaga sebesar PWI Sulawesi Barat tak mesti berlama-lama menyelimuti diri dalam kevakuman. Tuntutan sumberdaya dalam dunia Jurnalisme ‘jaman now’ bukan lagi penting tapi sudah menjadi keharusan untuk diwujudkan. Publik menanti setiap karya Jurnalistik yang baik, yang bermutu, yang harus jujur pada fakta. Ini semua akan ada yang tak bisa lepas dari gemblengan sumberdaya Wartawan. Lembaga sebesar PWI Sulawesi Barat harus hadir di sini: rekrutmen harus dan perlu memoles sumberdaya demi menjaga Jurnalisme yang baik.
Soal Hari Pers, soal Porwanas, disebut ataupun tidak disebut, itu sudah jadi ‘kalender tahunan’ PWI Pusat. Sepanjang regulasi dan segala instrumen formal tidak berubah, ia akan tetap jalan sebagaimana mestinya. Partisipasi untuk keseluruhan agenda-agenda Pusat, tentu itu menjadi perhatian lembaga kita di provinsi ini. Tapi tuntutan akan filosofi, makna, dan tujuan hadirnya PWI di Provinsi Sulawesi Barat yang sesungguhnya pada 2006 silam itu, kita tak boleh lupa. Kita tak mesti hanya jadikan sekadar memori sejarah.
Dan.yang lain …..
Sampai jumpa pada untaian berikutnya.
Tabe’
Kurru’ Sumanga’.(*)