CERPENGAGASAN

Bau Piapi dan Kerinduan

RINA menyusuri jalan yang bersisian jalan tol menuju lokasi ramai dengan segala barang yang tersedia. Pasar tradisional tempat ia membeli beras, garam dan tempe yang akan ia olah untuk makan malam bersama Ayah.

Ikan bolu, pammaissang’, lombok kecil, lombok keriting, bawang merah, sebotol kecil minyak penggorengan, garam, kunyit, dan beras untuk dimasak.

“Hm, oke, ikan masak Mandar dan nasi putih siap dimasak”, pikirnya.

Menu masakan khas yang sudah lama tidak dinikmatinya, sepeninggal ibunya yang menghembuskan nafas terakhirnya setahun sudah.

Pilihan lauk yang kini begitu karib dan setia menemaninya Rina dan ayahnya, hanya kerupuk dan sesekali tempe juga sesekali diselingi tahu.

Mula-mula ia membersihkan ikan, menghilangkan sisik, insang juga kotoran perut ikan yang dibeli. Setelah itu, dipotong menjadi lima bagian, lalu dibersihkannya berkali-kali hingga air bilasan ikan itu tidak lagi menyisakan warna merah dari darah ikan.

Begitu selesai membersihkan ikan itu, Rina senyum sendiri. Membayangkan wajah ayahnya yang lelah selepas memulung dan akhirnya bahagia melihat makanan yang tersaji di meja, walaupun hanya sepiring ikan bau peapi Mandar.

***

Berdua dengan ayah tinggal di rumah kecil itu membuatnya sering terasa sumpek. Tempat tinggal dengan atap rumbia berdinding tattaq dengan ruangan tak lebih besar dari tiga meter persegi.

Seharusnya ia sudah lama berontak, namun ia selalu iba ketika melihat lelaki tua dengan wajah teduh ayahnya. Ya, ayahnya yang di bibirnya selalu dengan senyuman serupa pelangi. Mungkin sebagai satu-satunya cara bersembunyi dari perih dan kerasnya kehidupan yang ia jalani bersama Rina anak semata wayangnya.

Sebagai anak tunggal yang ditinggal ibunya setelah didera bronkhitis menahun dan pelan menguras tubuhnya yang juga telah renta. Waktu itu, harapan Rian bersama ayahnya untuk membawa ibunya berobat ke rumah sakit adalah sesuatu musykil ditengah penghasilan ayahnya yang hanya bergantung pada hasil memulung.

“Sebenarnya ayah merasakan luka yang lebih perih dariku. Ya aku tahu”.

Ditinggal untuk selamanya oleh istri yang setiap waktu membantunya menjalani pekerjaan sebagai pemulung menjadi kesedihan mendalam baginya. Mengais sampah dari TPA satu ke TPA yang lain, mencari botol plastik dan menampungnya di karung usang yang dibawanya tiap pagi berkeliling. Hari-hari dengan makanan seadanya, bahkan kadang hanya air putih gratis. Itupun kucuran dari keran masjid.

Sering ia merasa bahwa kehidupan terlalu sulit untuk dijalani, namun bunuh diripun tak mungkin ia lakukan.

“Kali ini aku ingin memasak untuk ayah. Uang yang aku tabung sudah cukup untuk membeli ikan dan bumbu, meskipun uang itu untuk simpanan biaya melanjutkan sekolahku. Tapi aku ingin melihat perut Ayah terisi dengan makanan yang layak, sepulang ia bekerja. Aku kasihan pada Ayah”, gumam Rina ditengah kehidupannya yang serba kurang namun tak pula sanggup meredupkan niatnya untuk tetap bersekolah.

***

Ia pun melanjutkan aktifitasnya menyelesaikan masakan yang ia pelajari dari Ibunya. Menguliti bawang merah, membersihkan lombok keriting, dan lombok kecil kemudian dihaluskan dengan ulekan tua dengan sangat hati-hati. Setelah bumbu halus, kemudian dimasukkannya ke dalam kawali setelah ditambahkan kunyit dan garam. Tak lupa, ditambahkannya pula bawang dengan mengirisnya tipis-tipis hingga daunnya penuh sesak di dalam kawali.

Pammaissang direndam atau sekedar dicuci kemudian dicampurkan dengan bumbu yang telah halus itu. Diremas perahnya seluruh bumbu dengan tangannya hingga tercampur merata dan memasukkan sejumlah potongan ikan itu ke dalam kawali satu persatu.

“Menggunakan sendok sebenarnya lebih steril. Tetapi potongan ikan hanya akan dapat menyatu rata jika menggunakan tangan. Dan rasanya juga akan jauh lebih enak dengan menggunakan tangan”, begitu tutur ibu ketika mengajari Rina memasak bau peapi dulu.

Setelah semua ikan tercampur bumbu, ditambahkan air secukupnya dan sedikit minyak. Rina mulai menyalakan api dari kayu-kayu yang ia kumpulkan di sekitar rumahnya. Ikan dimasak selama kurang lebih dua puluh menit. Hingga akhirnya air dalam kuali mulai surut. Sesekali diaduk dan dicicipi agar rasanya pas.

Sambil menunggu, Rina mencuci beras untuk dimasak kemudian. Periuk yang berisi beras tadi di masak pula diatas tungku api yang satunya.

Ikan telah matang. Tinggal menunggu nasi dan Ayah akan pulang dari memulung. Sambil menunggu, Dian mencuci piring kotor yang berserakan di dapur. Pekerjaan pun beres, nasi siap untuk dihidangkan.

Jelang malam ayah pulang. Meski sedikit khawatir, mimik wajah Rina berubah seketika, sesungging senyum menghiasi bibinya. Rina gembira. Sambil menyapu peluh, Ayah menyandarkan satu karung penuh botol bekas ke dinding rumahnya. Wajahnya ikut berseri, ketika memasuki rumah, sepiring bau peapi dan nasi putih tersaji di meja. Ayah terharu, ia sempat menangis.

“Nak, Ayah terharu. Ayah tahu kau selalu ingin membahagiakanku”.

Kami berpelukan, seakan suasana ikut bersedih.

“Rani sayang Ayah, hanya Ayah yang Rani punyai di dunia ini. Ini masakan Rani, mari kita makan”.

Allahu akbar… allahu akbar… adzan pun berkumandang

“Ayah bersihkan badan terlebih dahulu, selesai sholat kita makan bersama, kata ayah”.

“baik yah, saya juga akan mengambil air wudhu”, jawabku.

Suap demi suap hingga tak tersisa sebutirpun nasipun di piring Ayah. Rani sungguh bahagia, bau peapi Mandar dan nasi putih ala kadarnya telah sukses membahagiakan orang yang sangat dikasihinya.


Catatan:
Bau Peapi: Ikan Masak Berkuah khas Masyarakat Mandar
Pammaissang: Asaman dari mangga cacah yang telah dijemur kering.
Kawali: Wadah untuk memasak ikan terbuat dari tanah liat yang dibakar.
Dinding Tattaq: Dinding bambu.

 

NAIM IRMAYANI

Akrab disapa comel, saat ini selaku direktur Pusat Kajian Perempuan Unasman, juga aktif membina pecinta alam, karang taruna, dan BUMDESa. Masih terus belajar penulisan karya sastra maupun karya ilmiah.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: