INDONESIA adalah negara yang memiliki beragam budaya, suku, agama dan ras yang sangat memungkinkan terjadinya konflik dalam berbangsa. Sebagaimana teori konflik menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) bahwa “Konflik adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan sosial yang akan berlaku dalam semua aspek kehidupan karena adanya ketidak sepakatan dalam masyarakat”.
Tentunya semua itu ditepis dengan ideologi PANCASILA sebagai perekat dan cita-cita bangsa menuju negara yang berketuhanan, berprikemanusian, menjaga persatuan, musyawarah, dan berkeadilan.
Seharusnya sebagian nilai Pancasila ini teraktual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, akan tetapi aktualnya masih jauh dari harapan dalam ruang lingkup sosial. Dimana fahaman radikalisme menyebar dimana-mana. Sehingga sikap intoleran merajalela dan bukankah kesalahan terbesar dalam suatu kepercayaan ketika menganggap kepercayaan kita yg paling benar, sehingga berbuat zalim terhadap yang lain.
Syurga belum tentu milikmu dan belum tentu milikku serta belum tentu miliknya, maka tidak usah kita saling melukai sebab “kepastian” syurga bukan milik kita. Sedangkan toleransi seakan hanya ditemukan disudut negeri ini yang sebagian dari mereka tak memahami bagaimana subtansi dari nilai2 pancasila itu sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai, nyawa manusia senilai dengan semut yang semudah dibasmi begitu saja.
Begitupun beberapa anak negeri yang berada di wilayah pinggiran bangsa besar ini, yang sampai detik ini masih berjibaku dengan kerasnya kehidupan untuk bangkit dari ketertinggalan peradaban. Mereka masih jauh dari kata merdeka, walau sejak 73 tahun yang silam, kata itu telah diproklamirkan oleh bangsa ini.
Ketertinggalan pendidikan, ekonomi sampai pada infrastruktur adalah gambaran yang sangat lumrah terlihat di bangsa ini. Sebuah pemandangan yang sangat memilukan yang katanya pemerataan pembangunan.
Berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini, berita korupsi di layar tv terjadi diberbagai daerah, angka kemiskinan dan persentasi gizi buruk yang cukup tinggi, serta ancaman teroris yang sangat membuat resah warga. Ketakutan dan rasa ketidak nyamanan tidak hanya pada kota-kota besar, namun kini rasa itu telah hadir di wilayah-wilayah pinggiran bangsa ini. Kondisi ini sudah cukup menjadi gambaran jika bangsa ini lagi “sakit”.
Masyarakat yang berada dipinggiran bangsa ini memanglah benar tertinggal, namun mereka masih mampu menjaga amanah para pendahulu mereka. Rasa saling menghargai dan saling menghormati terhadap perbedaan adalah sesuatu yang mereka junjung tinggi sebagai dasar dalam menata kehidupan bermasyarakat mereka untuk menjaga yang namanya keutuhan. Berharap kondisi itu tetap bertahan dan politik kotor tidak menodainya.
Makna persatuan secara subtansial hampir tidak bisa ditemukan, karena persatuan hanya dibangun atas kepentingan politik yang sama. Musyawarah tak lagi didapatkan, sebab suara Tuhan tak lagi didengar, masyarakat menjerit atas kebijakan-kebijakan yang katanya pro terhadapa rakyat. Keadilan tercederai dengan adanya praktek hukum ibarat jaring laba-laba menangkap yang kecil, namun robek ketika berhadapan dengan sesuatu yang besar.
Dalam fungsional Struktural cukup kita menjadi manusia agar kita bahagia dan kerja kita bermanfaat untuk nusa dan bangsa, bahagia dunia dan akhirat. (*)
RUSDI ADITYA, Mantan Ketua Komisariat FKIP HMI Cabang Polewali Mandar dan Sekjen Lentera Abadi Sulbar
*) Opini penulis diatas adalah tanggungjawab penulis seperti yang tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi TAYANG9.COM