
“AKU tidak mau pusing, bagaimana jadinya jika suamimu tahu kalau aku adalah pacarmu. Pada intinya cinta adalah persoalan kebahagiaan dan kenyamanan. Aku bahagia denganmu. Apakah kau juga merasakan hal yang sama, sayangku?” Tanyaku pada Sriwahyuni. Kedua matanya lekat-lekat menatap bola mataku. Kuelus bibir manisnya. Setelah itu kedua bibir kami bergumul.
Aku tidak ingat pasti ini untuk berapa kalinya aku menyentuh bibirnya. Yang kuingat setiap suami Sriwahyuni tidak ada di rumah, saat itulah ia buru-buru menghubungiku. Sesegera mungkin aku bergegas menghampirinya. Lalu kami akan saling mencampuri satu sama lain. Tidak ada lagi urat malu di antara kami. Segenap pakaian kami tanggalkan dari tubuh masing-masing. Kami telanjang satu adegan yang terlarang kami lakonkan.
“Apa yang ada pada dirimu tidak kutemukan dari diri laki-laki manapun. Terlebih-terlebih dari suamiku. Bersamamu aku bahagia. Kau memberiku kepuasan yang tidak pernah diberikan oleh suamiku dan belasan laki-laki yang pernah tidur denganku. Aku mencintaimu, sayangku,” ucap Sriwahyuni dengan tatapan menggoda. Dengan ganasnya bibirnya kembali ia hentakkan ke bibirku.
“Seluruh tubuhku hari ini adalah milikmu. Maka jangan pernah ragu untuk kau jamah,” lanjutnya. Sriwahyuni menaiki tubuhku, ia meraih tanganku untuk kulekatkan pada payudaranya. Babak baru hubungan terlarang pun kami lakukan.
Sriwahyuni adalah perempuan yang paling beruntung bisa merenggut perjakaku. Sedangkan aku sedikit malang. Lantaran diriku hanyalah laki-laki kesebelas yang pernah bersetubuh dengannya. Tapi karena kehadiranku ia tidak pernah lagi mencari laki-laki lain hanya untuk menemukan kepuasaan batinnya yang tidak pernah ia dapati dari suaminya.
Sriwahyuni pernah tidur dengan suami tetangga, Pak RT hingga mantan kepala desa. Yang paling anyar dan membuahkan desas-desus hampir terliput di salah satu media. Tentang perselingkuhannya dengan pejabat daerah. Dasar media yang gila uang. Disogok sedikit mereka tutup mulut.
Kutatap jam dinding di kamarnya. Menunjukkan pukul lima sore. Beberapa menit lagi suaminya akan pulang. Sedangkan kami masih asyik di atas ranjang. Seprei tidak karuan, seperti rambut panjangnya yang nampak kusut. Nafasnya bergemuruh, semakin aku bernafsu mendengarnya. Kulihat matanya ada kenikmatan besar ia rasakan. Setelah semuanya usai. Kupakai kembali bajuku. Sedangkan Sriwahyuni masih tergolek lemas di atas tempat tidur.
Kukecup bibirnya sekali lagi, lalu kututupi tubuhnya yang telanjang dengan selimut. “Hanya sampai di sini episode kebersamaan kita, sayangku. Besok ataupun lusa aku tidak akan kembali lagi,” bisikku padanya. Ia tidak bereaksi apa-apa, tampak menikmati sisa-sisa persetubuhan kami. Mungkin ia hanya menganggapku bercanda. Karena sudah sering kali kalimat seperti itu kukatakan padanya. Kenyataannya aku tetap kembali padanya. Setiap ia menghubungiku.
***
Setelah kejadian itu aku benar-benar menghilang dalam kehidupan Sriwahyuni. Dan sore itu adalah persetubuhan terakhir di antara kami. Bisa saja ia berharap besoknya aku akan kembali padanya. Padahal pada kenyataannya aku pergi meninggalkannya. Aku sadar, betapa berdosanya diriku jika terus-terusan bersetubuh dengannya. Walau bagaimana pun juga Sriwahyuni adalah istri orang.
Buah dari kesadaranku, aku menikah dengan seorang perempuan. Tidak kalah cantik dari Sriwahyuni. Ia bernama Srikandi. Namun pernikahan kami tercederai lantaran malam pertama harusnya ia masih suci. Tapi kenyataannya tidak, Srikandi bukan seorang perawan lagi. Aku benar-benar tidak menyangka akan hal itu. Padahal selama kami pacaran, aku sama sekali tidak pernah menyentuh kulitnya. Aku tidak ingin memperlihatkan kebinatanganku pada Srikandi sebagaimana yang sering kulakukan pada Sriwahyuni. Aku mencintainya sepenuh hati dan tidak semestinya ia aku kotori. Tapi ternyata ia terlebih dahulu mengotori dirinya dengan laki-laki lain.
Sejak kutahu Srikandi tidak perawan lagi aku memutuskan untuk tidak mencampurinya. Aku memang manusia egois. Aku tidak bisa menerima masa lalunya yang buruk itu. Padahal masa laluku juga sangat buruk. Aku bukan perjaka lagi, kenapa aku tidak bisa ikhlas jika Srikandi tidak perawan? Pertanyaan seperti itulah yang sering terlintas di benakku.
“Semua memang kesalahanku, Mas. Harusnya sebelum kita menikah hal ini kuceritakan padamu. Tentangku yang sudah direnggut kehormatanku oleh laki-laki lain….” Ucap Srikandi terisak di atas ranjang dengan memakai pakaian lingerie tipis berwarna merah. Hingga pakaian dalamnya tertangkap oleh penglihatanku. Aku benar-benar tidak bernafsu melihatnya berpakaian seksi seperti itu.
“Berapa banyak laki-laki yang pernah tidur denganmu?” Tanyaku dengan nada keras. Srikandi menatap bola mataku lekat-lekat. Matanya tampak basah. Rambut panjangnya ia urai. Tercium parfumnya yang semerbak. Keperhatikan buah dadanya yang masih dibalut kutang. Ahh, sayangnya buah dada seindah itu, sudah pernah disentuh oleh laki-laki lain. Harusnya Srikandi bisa menjaga kehormatannya untuk aku, untuk suaminya.
“Itu tidak penting untuk kau tahu, Mas. Itu bagian dari masa laluku yang kelam. Kupikir kau tidak akan mempermasalahkan masa laluku. Sebagaimana aku tidak mempermasalahkan masa lalumu. Aku tidak pernah mau tahu sebelum kita menikah adakah kau pernah tidur dengan perempuan lain. Karena masa lalu tetaplah masa lalu. Hari ini dan esok tubuhku adalah untukmu. Begitupun sebaliknya. Kau suamiku, Mas betapa tidak eloknya jika kau enggan setubuhi aku hanya karena aku tidak perawan lagi.” Srikandi masih meneteskan air mata.
Aku merasa jijik mendengar perkataannya itu. Terlebih-lebih menatap wajah cantiknya. Aku memutuskan meninggalkannya malam itu. Saat-saat seperti itulah aku merindukan sosok Sriwahyuni. Bagaimana keadaannya? Adakah ia merindukan diriku? Sudah teramat lama kami tidak saling bertemu. Adakah ia sedih? Lantaran lelaki terhebatnya pergi begitu saja.
Empat bulan aku hidup bersama Srikandi. Hanya sekali kami saling mencampuri. Hanya malam pertama saja. Itu pun tidak sampai klimaks. Malam-malam selanjutnynya kami hanya satu atap, satu ranjang. Sudah berapa kali Srikandi menggodaku untuk aku setubuhi. Kadang ia sengaja menampakkan tubuhnya yang telanjang di hadapanku. Kerap kali diam-diam ia memuluk dan menciumku saat aku berbaring di sampingnya. Tapi aku tidak bisa mencampurinya. Masa lalunya yang kelam benar-benar tidak bisa aku lupakan. Aku tidak rela tubuh indahnya pernah disentuh oleh laki-laki lain.
Kami pun bercerai baik-baik. Apa artinya rumah tangga jika tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Aku tidak ingin menambah dosaku pada Srikandi lantaran enggan kupenuhi haknya sebagai istriku.
Satu tahun berselang. Aku kembali menikahi perempuan lain dan kami masih bersama sampai sekarang ini. Ia adalah Sriastuti. Darinya aku merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Wajahnya mungkin tak secantik Srikandi. Tapi satu yang kusyukuri dan kusuka darinya aku mendapatinya masih dalam keadaan suci. Dirinya saja bisa ia jaga, apalagi untuk menjaga suaminya dan anak-anaknya kelak.
Rumah tangga kami harmonis. Tapi belumlah sempurna. Lantaran kami belum dikarunia momongan. Aku sering mengaitkan tertundanya momongan di keluarga kami. Lantaran masa laluku yang benar-benar kelam. Aku kadang merasa bersalah dan merasa tidak pantas menjadi suami Sriastuti. Perempuan sebaik dia, sesuci dia harus mendapatkan suami bejat sepertiku. Bahkan Sriastuti tidak pernah mempermasalahkan masa laluku itu.
“Maafkan aku sejauh ini belum bisa memberikan momongan untukmu,” ucapnya suatu malam memeluk tubuhku. Kubelai rambutnya dan kukecup keningnya. “Jangan risaukan itu, sayang! Kita baiknya menyerahkan semuanya sama Tuhan. Dialah yang lebih tahu mana baiknya untuk kita. Hadirkan kesabaran Siti Sarah dalam dirimu. Hingga ia diberi kabar gembira oleh Tuhan akan kelahiran Ishak.”
***
Sore hari, aku dikejutkan dengan kehadiran Sriwahyuni datang ke rumahku. Membawa dua orang anak kecil. Tiga tahun aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Entah ia memperoleh alamat tempat tinggalku dari mana. Aku dibuat syok dengan kedatangannya, sekujur tubuhku gemetaran. Aku tidak rela jika Sriastuti tahu kalau perempuan yang sekarang berdiri di hadapannya adalah Sriwahyuni. Sriastuti terlalu baik untuk mengetahui masa laluku bersama Sriwahyuni.
Aku kikuk mulutku kaku. Prakkk!!! Tamparan keras menghantam pipiku dari tangan Sriwahyuni. Tangan yang tiga tahun lalu membelai lembut wajahku. Tangan yang tiga tahun lalu menyodorkan kemaluanku ke selangkangannya. Kini tangan itu ia hantamkan dengan sangat keras. Sriastuti terperanjat kaget dengan sikap Sriwahyuni yang lancang seperti itu.
“Maafkan aku! Tamparan itu hanyalah ungkapan kekesalanku, setelah kau menghilang dari hidupku,” ucap Sriwahyuni.
“Siapa kedua anak itu?” Tanyaku heran. Sriwahyuni tersenyum senang padaku.
“Kedua anak ini adalah anakmu, yang aku lahirkan.” Aku betul-betul tidak menerima perkataan Sriwahyuni. Bagaimana mungkin bayi yang berada dalam gendongannya, serta anak laki-laki yang berdiri di sampingnya kutaksir berumur satu tahun adalah anakku? Bagaimana mungkin Sriwahyuni mengandung sementara aku menyetubuhinya tiga tahun yang lalu? Sangat tidak bisa kuterima kalau kedua anak itu adalah anakku.
“Tidak! Dia bukan anakku.”
“Terserah kamu mau mengakuinya atau tidak pada kenyataannya mereka adalah anakmu. Tidakkah kau lihat kedua wajah anak ini sangat mirip denganmu. Apa itu masih kurang membuatmu percaya? Kalau kau masih komplain, apakah kamu mau melakukan tes DNA?”
“Mereka bukan anakku. Mereka adalah anak laki-laki yang pernah bersetubuh denganmu.”
“Kamu adalah laki-laki terakhir yang menyetubuhiku. Setelah suamiku tahu betapa bobroknya diriku. Aku ditinggal olehnya. Aku hidup sendiri hanya berharap satu hal engkau kembali datang padaku. Dan bersedia menikahiku. Tapi harapanku hanyalah angan-angan semata. Kau tak pernah lagi hadir dalam hidupku. Namun Tuhan punya rencana yang lebih indah. Aku hamil dan anak yang kukandung adalah anakmu. Kabar gembira ini harus kusampaikan padamu.”
Mulutku bungkam tak bisa berkutik sepatah kata lagi. Sriastuti hanya tertunduk. Entah bagaimana yang ia rasakan saat ini.
“Aku tidak mau pusing, apakah sekarang kamu sudah punya istri atau tidak. sebagaimana kamu tidak mau pusing menyetubuhiku padahal kau tahu aku sudah menjadi istri laki-laki lain. Aku hanya ingin satu hal darimu. Untuk menutupi kesalahan masa lalu yang pernah kita lakukan. Nikahi aku kemudian kita bersama-bersama membesarkan anak kita. Dan yang tak kalah penting penuhi hakku sebagai istri untuk kau setubuhi. Karena aku merindukanmu, sayangku.”(**)
MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog