SEJAK dahulu tradisi melayat kepada sanak keluarga yang lagi berduka di daerah Kabupaten Mamasa, beberapa daerah masih memiliki tradisi yang unik dan masih dipertahankan. Tentu sikap kebersamaan dan gotong royong mereka selalu menjadi ciri khas. Kebisaan atau tradisi tersebut selalu menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang berlaku, sebagai warisan budaya leluhur yang tetap dijaga. Salah satunya adalah sebuah tradisi unik saat salah seorang warga atau tokoh yang wafat atau meninggal.
Tanpa melihat status atau kedudukan, secara serentak pihak keluarga yang ditinggalkan atau warga yang berada disekitaran rumah duka, mereka bersama berbondong-bondong, bahu membahu memikul potongan-potongan kayu bakar yang diambil dari hutan atau kebun milik seorang warga, lalu kemudian beramai-ramai akan dibawa ke rumah duka, sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak di dapur.
Tradisi ini dilakukan sebagai wujud rasa kepedulian warga bagi keluarga yang sedang beduka. Tradisi unik itu penting untuk dilestarikan. Mengingat laju perubahan zaman dengan masuknya budaya-budaya barat dan modern, serta perkembangan teknologi yang begitu cepat di dalam masyarakat.
Tradisi di kampung tersebut, selalu menjadi wadah mempererat hubungan keluarga. Hanya saja cukup ironi, pelan tradisi itu sedikit hilang oleh perubahan zaman yang tak bisa terhindarkan, jika itu tak dilakukan pelestarian kepada generasi selanjutnya.
Di Dusun Liawan Desa Tadisi Kecamatan Sumarorong Kabupaten Mamasa, Masyarakat disana menyebutnya dengan sebutan tradisi “Mekayu”, yang berarti “mengambil kayu”. Dalam istilah lain khusus bagi yang berduka tradisi itu disebut dengan nama “Sitetangan Kayu Sangbissak” yang memiliki arti “Pergi melayat disertai dengan membawa kayu bakar”
Tradisi membawa kayu dengan beramai-ramai oleh warga ke keluarga yang berduka, masih terlihat dan dilestarikan. Warga begitu kompak dengan sukarela melakukan tradisi itu. Hal itu dibuktikan saat salah seorang dikampung mereka meninggal dunia bernama Almarhum Yohanis Sippan, seorang tokoh masyarakat dan tetua kampung disana.
Warga Desa Tadisi dan beberapa keluarga dari kampung sebelah, rela memarkir kendaraannya demi untuk memperlihatka kembali tradisi ini. Mereka beramai-ramai dengan berjalan kaki sambil memikul kayu dengan penuh semangat dalam kebersamaan. Padahal, jika menggunakan kendaraan roda dua, justru akan lebih memudahkan bagi warga untuk mengangkat kayu dengan menggunakan kendaraannya masing-masing. Namun hal itu tidak dilakukan, demi menjaga tradisi di desanya.
Tradisi semacam ini telah lama berjalan, khususnya diwilayah II kabupaten Mamasa dari 3 kecamatan diantaranya Kecamatan Messawa, Sumarorong, Kecamatan Nosu dan Pana. Menjadi sebuah pemandangan unik, karena beberapa puluh orang warga saat di rumah duka mencoba untuk mengembalikan tradisi ini, hampir semua tamu yang datang melayat, melihat iring-iringan warga di Dusun Liawan yang datang melayat. Langsung saja kegiatan itu menjadi tontonan unik lalu menjadi sebuah diskusi tetua kampung disana, untuk membincang tentang tradisi leluhur mereka yang hampir punah itu.
Kepala Desa Tadisi, merasa sangat antusias menanggapi adanya pelestarian tradisi di Desanya. Dirinya mengajak kepada warganya khususnya generasi muda untuk bisa menghidupkan tradisi itu, karena selain tidak terdapat di daerah lain, tradisi itu juga sangat membantu bagi keluarga yang sedang berduka.
“Kayu-kayu itu juga akan digunakan untuk berbagai keperluan disekitar rumah duka selama kegiatan kedukaan berlangsung. Memang sekarang sudah banyak yang memakai tabung gas untuk memasak, namun keluarga yang berduka kadang harus mengeluarkan biaya yang besar. Selain itu juga, beberapa kegiatan di rumah duka ada yang tak bisa dilakukan dengan menggunakan tabung gas”. Tutur Paulus.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ambe’ Reta salah seorang tetua kampung desa di Tadisi. Dirinya mengungkapkan jika tradisi semacam itu sesungguhnya telah berlangsung cukup lama.
“Sejak dulu dari orang tua kita di kampung, tradisi ini sangat melekat di masyarakat dan tidak pernah terlewatkan jika ada kedukaan. Saya masih ingat jelas, sekitaran tahun 1970 sampai dengan tahun 2000, tradisi itu masih terpelihara sangat baik. Namun zaman sudah berubah, jadi sudah jarang kita jumpai” jelas Ambe Reta tokoh di Desa Tadisi itu.
Lebih jauh Tetua Kampung itu berucap, bahwa sepintas tradisi itu memang terlihat masih sangat kuno. Namun menurutnya, perlu direnungkan tentang asas manfaat kayu-kayu itu ketika telah berada di rumah duka, tentu sangat membantu bagi yang berduka dan itu sangat ringan dilakukan karena dengan beramai-ramai. Lanjut Kata Ambe’ Reta lagi, bahwa tradisi itu sebenarnya hanya wajib dilakukan oleh orang dikampung itu sendiri, tapi tidak menutup kemungkinan tetangga kampung lainnya juga biasa datang melayat dan turut serta dalam tradisi ini.
“Akhir-akhir ini saya lihat, setiap ada keluarga yang berduka, mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengambil kayu bakar. Sementara di kampung kita ini, ada tradisi nenek moyang kita yang sangat baik untuk dihidupkan kembali”. Terang sesepuh Ambe’ Reta.
Selain Ambe’ Reta, Tokoh masyarakat lainnya juga, Semuel Senga’, mengungkapkan hal yang sama, tentang pentingnya tradisi kampung selalu untuk dijaga dan dilestarikan.
“Saya selaku masyarakat disini dan juga orang yang dituakan, tentunya kita sangat mengharapkan tradisi itu bisa masyarakat dihidupkan kembali. Memang jika kita melihat sepintas, hal itu seperti tidak berarti, tetapi coba kita lihat betapa berguna tradisi ini dijaga. Apalagi sekarang sudah hampir semua masyarakat memiliki kendaraan, itu jauh lebih menolong seandainya tradisi ini dihidupkan kembali”. harap Semuel Senga’. (**)
PENULIS: TADIUS SARRIN