
PENGUASA dalam suatu wilayah, sekalipun kita sangat sering mengkritisinya dan bahkan mengolok-oloknya mereka juga tetap mampu menciptakan sesuatu. Suatu karya ciptaan tetaplah harus dihargai bagaimanapun bentuknya.
Untuk itu saya sangat mengapresiasi karya cipta para penguasa kita dengan mengucapkan banyak terimakasih. Karya cipta atau produk itu lebih sering kita kenal dengan istilah kambing hitam. Kambing hitam atau simple saja, kita sebutnya sebagai konflik yang diciptakan agar rakyat saling beradu dalam hal apapun.
Wirawan dalam teori-teori sosial dalam tiga paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku menyebutkan, bahwa adanya perbedaan kekuasaan dapat dipastikan menjadi sumber konflik dalam sebuah sistem sosial. Terutama masyarakat yang kompleks dan heterogen. Tidak hanya itu sumber daya yang langka di dalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi diantara pelaku ekonomi yang memperebutkannya dan bukan mustahil berujung pada pertikaian akibat persoalan distribusi sumber daya tersebut yang tidak pernah merata.
Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan salin bersaing. Kondisi semacam ini, dalam banyak kasus kerap menyebabkan terjadinya konflik terbuka (Wirawan, 2012).
Konflik-konflik yang diciptakan penguasa bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan mereka, dan yang akan saling bertarung demi segala sesuatu sudah pasti adalah rakyat melawan rakyat lainnya.
Tentunya ada banyak sekali produk kambing hitam yang telah diciptakan penguasa untuk mengamankan kepentingan pribadi mereka. Menghindari sulut kemarahan rakyat atas kesalahan yang sebenarnya mereka perbuat.
Salah satu contoh yang akan selalu hangat di kepala kita disebutkan oleh Satrio Wahono dalam kompasiana, bahwa kerusuhan mei 1998 yang harus mengkambing hitamkan etnis tionghoa yang ada di negeri kita. Kambing hitam bermula dari lebih dari satu orang atau kelompok menginginkan sumber daya yang sama sedangkan sumber daya tersebut sangat terbatas jumlahnya (Wahono, t.t.).
Untuk bisa memilikinya, maka terjadilah rivalitas antara kedua kubu yang pada saat itu kubu penguasa dan kubu rakyat. Dimana kedua kubu menginginkan satu tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Negara memilih versi kesejahteraan dengan pengorbanan kebebasan berpolitik, sementara rakyat memilih preferensi terhadap kesejahteraan plus liberasi politik.
Malangnya, kambing hitam itu mengambil rupa etnis tionghoa yang kesejahteraan ekonominya secara umum lebih baik dari massa lainnya. Ibarat etnis tionghoa adalah musuh bersama yang harus dikorbankan, maka meletuslah tragedi kekerasan terhadap etnis tionghoa pada 13-14 mei 1998.
Prosesi kambing hitam agaknya telah menjadi senjata utama kebanggan penguasa agar bisa melanggengkan segala macam nafsu mereka terhadap segala sesuatu. Pada tahun 2023 Wening Cahya dalam tribun-video.com menuliskan tanggapan seorang pengamat politik, terkait kasus perampasan tanah Rempang Melayu.
Dalam media tersebut menuliskan, bahwa penguasa pada saat itu memiliki ambisi untuk menjadikan infrastruktur sebagai legasi dirinya. Sehingga melahirkan konflik agraria dimana pulau rempang yang masih didomisili oleh masyarakat melayu Indonesia terkesan direbut paksa oleh penguasa untuk membangun infrastruktur negara tanpa memperhatikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Wulandari, 2023).
Pada tahun 2022 media Abdurrahman Syebubakar dalam media online indosatu.co mengeluarkan berita yang cukup silau dimata berjudul “kambing hitam itu bernama demokrasi”. Ia menyebutkan, bahwa pasca reformasi, sejumlah kalangan mendakwa demokrasi bertanggung jawab atas segala sengkarut di Indonesia.
Terlebih di era Jokowi yang represif dan korup, Indonesia mengalami berbagai kemorosotan, mulai dari lesunya pertumbuhan ekonom, meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, meroketnya utang negara, meningkatnya ketegangan sosial, hingga stagnasi pembangunan manusia dan anjloknya tingkat kebahagiaan” (Syebubakar, 2022).
Hal tersebut melahirkan forum-forum dan kelompok anti-demokrasi karena tidak mempercayai pemerintah dalam memipin sebuah negara. Pemerintah lebih cenderung membangun kerajaan dan kekayaan hanya untuk dinikmati oleh mereka dan para koleganya.
Untuk menghilangkan tuduhan tersebut maka penguasa mengeluarkan fatwa dan perintah kepada seluruh rakyat untuk memusuhi orang-orang yang tidak percaya pada kinerja pemerintah dan menyebutnya sebagai pengkhianat negara.
Penulis: Penikmat Seni dan Budaya Mandar