GAGASANOPINISALAHUDDIN SOPU

Manusia Pongah karena Tak Mengenali Dirinya

KARYA-karya besar manusia yang monumental, banyak menghiasi kota-kota besar di dunia, dan memberikan kesan bahwa anak manusia telah menghasilkan kemajuan budaya yang sangat pesat, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang dimiliknya.

Di antara karya manusia yang fenomenal antara lain adalah, Menara Eiffel di Prancis, menara Pisa di Italia, Candi Borobudur di Indonesia, Masjid Taj Mahl di India, Acropolis di Athena, Tembok Besar di China, Piramida di Mesir dan banyak lagi karya anak manusia yang monumental dan fenomental, tersebar di kota-kota besar di dunia.

Apakah manusia pernah menyatakan, bahwa “segala puji kepada Allah swt” yang telah meniupkan sifat ma’ani Tuhan (yakni, sifat hidup, kekuatan, kemauan, berilmu, mendengar, melihat, dan berbicara) ke dalam diri manusia?,
Kemudian, ketika manusia bisa membuat bangunan yang dikagumi oleh manusia sendiri, apakah manusia “memuji Allah” yang telah memberikan ilmu?
Dan ketika berhasil membuat karya yang monumental, bagaimana reaksi manusia terhadap dirinya sendiri? Bukankah “rasa Pongah” itu akan muncul, karena berhasil mengukir karya yang agung, dan *dipuja-puja * oleh turunannya?

Apalagi, manusia yang hidup di era revolusi industri 4.0, — yang merupakan kolaborasi antara teknologi siber dan teknologi otomatisasi, dan konsepnya berpusat pada sistem “otomatisasi”–, lebih luar biasa lagi, karena semua karya manusia, didukung oleh sistem elektronik digital.

Karya anak manusia yang didasarkan pada sistem elektronik digital diantaranya adalah, Robot, lap top, hand phone, CCTV, termasuk peralatan tempur tentara, dan sebagainya, yang telah menjadi kebutuhan primer dalam mendukung aktivitas manusia menghasilkan sebuah karya.

Apakah manusia menyadari, bahwa karena sifat ma’ani Tuhan yang ditiupkan ke dalam diri manusia, sehingga bisa sehebat itu, menghasilkan karya yang diagungkan manusia?

Pernakah manusia bertanya, kepada dirinya sendiri, bahwa mengapa manusia bisa membuat karya sehebat robot? Atau, mengapa manusia bisa menghasilkan *pesawat ulang- alik *(space shuttle) yang bisa bolak-balik, dari bumi ke laboratorium angkasa, dan sebaliknya? Jika tidak pernah, maka sifat pongah yang dimiliki manusia adalah sebuah keniscayaan.

Apa implikasinya?

Manusia merasa, tidak ada aktivitas manusia yang tidak bisa dikerjakan.
Semua dapat diselesaikan, dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan rekayasa kekuatan akalnya.

Keberhasilan demi keberhasilan dialami oleh manusia melalui kerja keras, dan pantang menyerah, membuat mereka “pongah”, karena sebuah karya yang telah dipersembahkan kepada dunia.

Ketidakberhasilan, bukanlah sebuah kegagalan, tetapi hanyalah salah satu tahapan dari sekian tahapan yang harus dilewati, untuk mencapai sebuah kesempurnaan sebuah karya nyata.

Apakah manuasia akan melibatkan Tuhan dalam menghasilkan karya nyata?

Dunia barat, merupakan pusat pengembangan ilmu dan teknologi saat ini, hampir *tidak ada kata Tuhan * dalam urusan menghasilakn sebuah karya nyata.

Ketika sampai ke titik ini, manusia akan berkesimpulan, bahwa kekuatan ilmu pengetahuanlah yang akan menyelesaikan setiap persoalan hidupnya. Inilah yang sering disebut “Scientism” (Saintisme), yakni orang yang percaya secara berlebihan kepada kekuatan ilmu pengetahuan.

Di dunia barat sekarang ini, banyak manusia yang menanggalkan kepercayaannya (agamanya), menjadi seorang saintisme, dan tidak beragama.

Berdasarkan fakta yang ada di lapangan saat ini, tidak mustahil bagi orang yang beragama Islam pun, akan berprilaku seperti Saintisme sungguhpun tidak meninggalkan agamanya secara formal.

Indikasi itu, banyak terlihat dikalangan pengagum ilmu pengetahuan dan teknologi. Hampir sebahagian besar aktivitasnya, diukur dengan keberhasilan ilmu pengetahuan. Ketika manusia sakit, yang pertama muncul di pikirannya adalah daftar nama dokter spesialis, daftar nama obat dan daftar nama klinik atau rumah sakit. Pernahkah manusia berkonsultasi dulu kepada Tuhan, “pemilik penyakit”, yang dengan izinnya, hambanya terkena penyakit? Kan, lagi-lagi tidak.

Ketika membuat sebuah kegitan apa saja, semua didasarkan pada ilmu pengetahuan.
Yang dilakukan empunya kegitan adalah mendaftar orang ahli di bidangnya sesuai jenis kegiatannya, susunan kegiatan mencerminkan “berkelas sains”, yang hadir adalah orang-orang yang professional di bidangnya.

Pemilik hajatan, juga memohon kepada Tuhan Yang Kuasa, tetapi agar kegitannya berlangsung sukses di hadapan manusia, dengan berharap mendapat pujian dan penghargaan dari manusia.
Sementara “ajaran Islam” tidak menjadi prioritas dalam terlaksananya sebuah kegiatan manusia, dan cendrung menjadi “asesoris kegiatan.

Yang saya ingin garis bawahi, bahwa manusia cenderung *mengabaikan Tuhan * disetiap aktivitasnya. Maha suci Allah Yang Mengetahui segala aktivitas yang dilakukan manusia.

SALAHUDDIN SOPU

Dosen Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: