CERPENGAGASAN

Pulangnya Aristoteles Muda

MASIH melekat dalam pikiran Elika akan sosok Dinal. Laki-laki yang mengidolakan Aristoteles. Anehnya lagi hal-hal yang menyangkut Aristoteles hanya sedikit yang ia ketahui. Yang ia tahu kalau Aristoteles hanyalah seorang filsuf yang berguru pada Plato, dan Plato berguru pada Socrates, mentok sampai di situ.

Pemikiran-pemikiran filsafat dari Aristoteles  satu pun tak pernah terdengar keluar dari mulutnya, yang ada hanyalah klaimnya kalau ia adalah Aristoteles muda. Ia mahasiswa matematika, namun suka sastra mengidolakan seorang filsuf, sedikit aneh bukan?

Malam minggu, satu hari sebelum ia menghilang. Dinal menyempatkan berkunjung kerumah Elika. Elika masih ingat betul kejadian itu, Dinal mengenakan kameja kotak-kotak coklat yang lusuh, dengan rambut ikal acak-acakan menutupi telinganya. Malam itu gerimis, ia berjalan dari indekosnya menuju rumah Elika yang berjarak satu kilometer.

“Lik, kamu mungkin sedikit kaget kedatanganku malam ini. Sebelumnya pun saya tidak menginfokanmu. Saya hanya ingin meyakinkanmu kalau saya memang Aristoteles muda. Jika dalam ajaran Hindu dikenal reinkarnasi, maka akulah Aristoteles. Kalau kau masih ragu  akan kubacakan sebuah puisi karanganku.”

Belum pernah Elika mendengar puisi seperti itu. Tidak seromantis puisi Aku Ingin karangan Sapardi Djoko Damono. Namun Elika dengan terpaksa berbohong kalau puisi Dinal  romantis dan ia suka.

“Dalam puisi ini ada tiga hal yang perlu kau tahu, Lik. Yang pertama, mungkin kamu sudah bosan mendengarnya kalau saya adalah Aristoteles muda.” Dinal berhenti sejenak menghela nafas panjang, dengan memandangi lekat-lekat wajah Elika nan ayu.

“Yang kedua harus kamu tahu, kalau saya mencintaimu, sungguh! Dan percayalah!”

Dinal diam beberapa detik, tak bosan-bosannya menatap ke Elika. Elika tampak malu-malu, baru kali ini ia ditatap Dinal seaneh itu.

“Terakhir, sampai kapan pun saya tidak ingin menjadi pacarmu. Tapi percayalah saya bisa menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab buatmu,” seketika Elika mengernyitkan dahinya.

“Dimatamu ada pesona Cleopatra. Bolehkah saya menyangkutkan anak rambutmu ke telingamu?,” tanpa menunggu persetujuan Elika, beberapa helai rambut Elika yang menyentuh pipinya disangkutkan ke pangkal daun telinganya. Elika sangat heran akan perlakuan Dinal malam itu, tidak seperti malam-malam biasanya.

“Kalau besok kita tidak bertemu lagi. Aku ingin kau tidak mencariku. Karena memang saya tidak akan kemana-mana,” Elika tidak bisa menahan senyumannya.

Esoknya pun Dinal tak nampak lagi, bak hilang ditelang bumi. Kamar indekosnya tertutup rapat-rapat. Di kampus pun tidak ada kabar. Sebulan, dua bulan bahkan dua tahun kemudian, kabar Dinal tidak terdengar lagi. Elika tidak bisa menutupi perasaan rindunya akan sosok laki-laki aneh itu.

Bagi Elika, Dinal ada sosok aktivis, kritis dan idealis. Ia penganut paham sosialisme garis keras. Banyak kelebihan dari diri Dinal, sayangnya semua itu tidak diakui orang-orang.  Elikalah orang pertama dan terakhir mengakui kehebatan tersembunyi yang ada pada Dinal.

“Lik, kau tahu Sutan Syahrir? Soe Hok Gie? Mereka itu tokoh pemuda yang berhaluan sosialis. Dan aku pun berpihak pada mereka.”

“Lik, berpuluh-puluh tahun kita merdeka, kata sejahtera masih jauh dari pengharapan. Aku sangat kecewa, Lik akan hal itu. Bagiku yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat.”

Paling membuat Elika bingung, kenapa Dinal yang idealis nan kritis tak ingin berorganisasi. Hal tersebut pernah ditanyakan padanya, Dinal menjawab.

“Lik, adakalanya kita sebagai makhluk individualis dan ada saatnya sebagai makhluk sosial, kedua hal tersebut tidak bisa dipungkiri lagi. Namun perlu saya tekankan padamu, takutnya nanti ada dusta di antara kita. Selama ini mungkin kamu tidak tahu alasanku kenapa tidak bergabung satupun organisasi di kampus kita. Alasan yang pertama, mungkin saya memang ditakdirkan untuk tidak ikut organisasi manapun. Buktinya di matematika saya dikucilkan dan dianggap mahasiswa sastra. Dan di sastra, saya dianggap tak berbakat malahan diakui lebih cocok bergabung sama anak filsafat. Lain lagi di filsafat saya malahan sangat diakui sebagai matematika bangat.

Memang begitu cara mereka memperlakukan aku. Di himpunan eksternal kampus pun saya dituduh pengacau, perusuh, malahan dianggap serpihan-serpihan PKI. Alasan yang kedua, saya ingin buat organisasi sendiri. Saya kira kamu sudah mengerti.”

Sedari kecil Dinal memang dianggap sebagai keturunan antek-antek PKI, kakeknya anggota PKI ulung yang selamat dari pembantaian. Hal itulah yang membuat ia dikucilkan di lingkungannya. Bahkan saat  mendaftar SMA dulu, ada lima sekolah yang menolaknya dengan alasan yang sama. Di kampus pun begitu, ia dikucilkan layaknya orang asing. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang salah dengan dirinya?

“Lik, sebenarnya bukan saya tak suka demo untuk menyuarakan aspirasi, saya diam bukan berarti menerima mentah-mentah semua kebijakan pemerintah. Mungkin kau tidak tahu kalau dalam diriku ada banyak keresahan, ada banyak keinginan, ada banyak unek-unek yang telah lama saya simpan sendiri. Untuk saat ini saya belum bisa, terasa mulut saya dibungkam oleh mereka. Tapi percayalah! Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan kesempatan kepada saya untuk berbicara, membela hak-hak rakyat. Melawan pemerintah yang sewenang-wenang menindas rakyat kecil. Melawan mereka para koruptor sang perampok uang rakyat.”

Dinal terdiam beberapa detik saja,  kemudian melanjutkan celotehnya.

“Hidup ini sejatinya seperti kepingan-kepingan puzzle. Untuk bisa utuh, terkadang kita harus mati-matian mencari potongan yang lain. Bisa jadi separuh  potongan kehidupanmu ada di seberang pulau sana dan di ujung negeri sana. Semuanya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, jauh sebelum kita lahir. Untuk bisa utuh kita harus berusaha menyatukannya. Kita tidak akan tahu banyak hal, jika kita hanya mentok di sini saja. Dunia sangat luas, Lik. Sungguh sangat ruginya kita, jika dunia yang luasnya sekian, hanya kota kecil ini yang bisa kita pijak.”

Celoteh Dinal yang tak ada habisnya mewarnai waktu sore Elika di pinggir jalan yang sedang menunggu angkot. Elika sama sekali tidak bosan mendengarnya.

Laki-laki aneh itu benar-benar berhasil mencuri perhatian Elika. Padahal kalau dipikir-pikir, penampilannya ala kadarnya saja. Tampannya biasa-biasa saja. Jauh di belakang ketampanan yang dimiliki Tom Cruise, satu-satunya aktor yang Elika idolakan . Entah kenapa, setiap untaian kata yang terucap dari bibir Dinal, ia benar-benar menyimak dan terpikat. Bahkan ia tidak ingin melewatkan satu kata pun jika Dinal sedang berbicara. Disamping  menganggap Dinal teman yang baik, dia juga menganggapnya sebagai guru walaupun Elika enggan mengatakannya di hadapan Dinal. Ada banyak pelajaran kehidupan yang dipetik Elika tatkala bersama Dinal.

Dinal adalah satu dari sekian laki-laki yang beruntung di dunia ini. Dan tidak berlebihan kalau dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki beruntung yang bisa merampas waktu malam Minggu Elika. Padahal Elika tipikal wanita yang phobia dengan laki-laki yang bertamu ke rumahnya di malam minggu. Tapi tidak dengan Dinal, bahkan sebelum Dinal menghilang dari kehidupannya, hampir setiap malam Minggu ia bertamu ke rumah Elika. Karena baginya Dinal sosok laki-laki yang beda, sangat banyak bedanya dengan laki-laki kebanyakan yang dikenalnya.

Ada satu momen yang paling Elika ingat saat bersama Dinal, dan sampai kapan pun momen itu tidak akan terlupakan. Saat itu, menjelang malam. Matahari mulai kepembaringan, spektrum langit pun tampak mulai kabur. Tidak satu pun angkot berlalu lalang di jalan. Kebetulan beberapa jam sebelumnya jalan itu diblokade pendemo. Entah mereka menuntut apa lagi, sampai-sampai demo anarkis terjadi. Konflik antara pendemo dan aparat tak terhindarkan lagi. Kejadian seperti itu memang sering terulang di negeri ini.

Tanpa ada rasa bosan tergambar dari raut wajahnya. Dinal masih setia menemani Elika menunggu angkot. Malahan sudah menjadi kebiasaan di antara mereka, jika kebetulan jadwal kuliahnya bersamaan.

“Kayaknya angkot tidak ada lagi. Malam pun tampak semakin dekat. Apa tidak sebaiknya kamu naik ojek saja?” Tanya Dinal yang duduk di samping Elika pada sebuah bangku panjang yang tertanam dipinggir jalan.

“Kamu tahu kan, aku tidak bisa naik ojek sembarang. Apalagi orangnya nggak saya tahu. Takutnya nanti saya diapa-apakan.”

“Itu sangkaan kamu saja. Bagiku semua tukang ojek itu baik dan tidak akan mungkin mencelakakan pelanggangnya. Kalau pun ada seperti yang kau sangkakan itu bukan tukang ojek sungguhan, tapi tukang ojek ecek-ecek.”

Elika hanya terdiam. Beberapa kali ia menatap jam yang melekat di pergelangan tangannya.

“Andaikan saja aku punya motor, tentu dari tadi kamu sudah sampai di rumahmu,” ucapan Dinal seperti itu sering terulang saat lagi menemani Elika menunggu angkot.

Hebatnya Dinal yang tidak pernah kehabisan ide. Dugaannya angkot tidak akan ada lagi. Dia menuju ke pangkalan ojek yang hanya berjarak seratus meter dari posisinya semula. Kebetulan di pangkalan itu hanya tersisa satu tukang ojek, itu pun sudah ingin pulang. Terlihat ia mulai menstarter motornya. Dengan sigap Dinal mencegatnya. Kejadian itu tak luput dari pandangan Elika.

“Boleh pinjam motornya nggak Bang? Kebetulan teman saya mau pulang. Dari tadi dia nungguin angkot tapi tak ada.”

“Kalau begitu biar saya antar saja sekalian?”

Dinal menjelaskan semuanya pada tukang ojek tersebut. Awalnya tukang ojek itu menolak dan bersikeras untuk ingin pulang. Namun setelah negosiasi yang berbelit-belit. Tukang ojek itu bersedia dengan catatan dibayar 50.000 plus handphone dan KTP Dinal diserahkan untuk jaga-jaga, takutnya Dinal nanti malah kabur membawa lari motornya.

Elika tidak bisa menutupi wajah sumringahnya tatkala motor supra yang ditunggangi Dinal berdiri gagah di hadapannya.

“Bagaimana kamu bisa pinjam motor ini?” Tanya Elika tersenyum

“Mungkin tukang ojeknya sadar, kalau laki-laki yang meminjam motornya adalah Aristoteles muda,” ucap Dinal.

“Oya, Lik sebelum kita berangkat ada satu hal yang harus kau tahu”

“Apa itu?”

“Kamu cantik hari ini, itu saja”  Motor itupun melaju dengan mulus.

***

Malam sudah semakin larut. Elika mencoba mengalihkan pikirannya yang tenggelam dalam kenangannya bersama Dinal dahulu. Sedari tadi ia selalu menatap dua foto yang ada di tangannya. Foto yang satu adalah foto Dinal, dan yang satunya lagi foto Marwan tunangannya. Bulan depan mereka akan melangsungkan pernikahan.

Jika Dinal laki-laki aneh penuh dengan misteri namun selalu memberikan kenyamanan pada Elika, maka Marwan adalah laki-laki tampan lulusan akuntansi yang akan memiliki Elika. Kedua laki-laki itu yang membuat hidup Elika lebih berwarna. Kehilangan Dinal dalam hidupnya, mendatangkan Marwan yang  memupuk bunga yang mulai layu.

“Memang beginilah kehidupan, Lik. Terkadang kita menginginkan di sana, tapi Tuhan menakdirkan kita di sini. Kadang kita  ingin A, tapi Tuhan memberi kita B. Tapi percayalah apa yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik.” Itu adalah satu dari sekian ucapan Dinal yang selalu ia ingat. Tampaknya ucapan itu terjadi pada dirinya sekarang. Bukan ia tidak mencintai Marwan, malahan ia sangat mencintainya. Tapi hatinya tidak akan pernah bohong kalau dari dulu Elika ingin Dinal yang menjadi pendamping hidupnya kelak. Apalah daya skenario Tuhan tidak selamanya sama dengan keinginannya.

Minggu pagi, dari luar rumahnya terdengar suara ketukan pintu. Elika berjalan pelan dan membuka pintu. Laki-laki jangkung berdiri di hadapannya, dengan kameja kotak-kotak berwarna merah maron. Wajah laki-laki itu tidak asing baginya, hanya saja brewok dan rambut ikal sebahu yang ada pada laki-laki itu membuatnya rada-rada lupa.

“Pesona Cleopatra di matamu belum pudar,” ucap laki-laki itu tersenyum hingga giginya terlihat. Mendengar kalimat itu, Elika seketika teringat. Elika tak bisa menahan dirinya untuk menjatuhkan pelukannya pada Dinal.  Sekaligus melepaskan segudang rasa rindu yang menjamur dalam dirinya.

“Kamu ke mana saja dua tahun lebih?” Tanya Elika tidak bosan-bosannya memandangi wajah Dinal yang duduk di sampingnya.

“Bagimu dua tahun lebih saya tak ada, tapi bagiku hanya beberapa jam saja. Tidak kah kau ingat terkhir kali saya kesini adalah malam minggu, dan saya kembali minggu pagi. Saya tidak kemana-mana, Lik. hanya mencari kepingan puzzle hidupku. Memang benar dugaanku kalau di luar sana kita akan menemukan banyak hal. Aku ingin mengajakmu…” Belum selesai Dinal berucap, Elika langsung memotong.

“Aku sangat merindukanmu, percayalah! Apa kamu tidak merindukanku?”

“Laki-laki mana yang tidak akan merindukan pesona Cleopatra yang tak akan pudar oleh zaman.”

Elika tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, jika dirayu dengan kata-kata seperti itu.  Bagaimana tidak laki-laki aneh yang selalu mengklaim dirinya Aristoteles muda kini kembali pulang.

“Oya Lik, saya ingin membaca puisiku untukmu. Maukah kau mendengarnya?” Elika mengangguk. Tangan mereka berpegangan Lalu ia tenggelam dalam suara Dinal yang membacakan puisi. Ia tidak bisa berbohong lagi. Kalau puisi yang didengarnya memang bagus, tidak seperti puisi-puisi yang dibaca sebelumnya.

“Dalam puisi ini ada tiga hal yang harus kamu tahu. Yang pertama, kalau aku bukanlah Aristoteles. Di dunia ini hanya ada satu Aristoteles yaitu itu Aristoteles itu sendiri. Betapa berdosanya saya jika terus-terusan mengklaim sebagai Aristoteles muda.”

“Bagiku kamu tetap Aristoteles muda,” potong Elika. Dinal mengabaikannya.

“Yang kedua yang harus kamu tahu, kalau kamu masih cantik.” Elika tersenyum mendengarnya.

“Dan yang terakhir…”

Dinal menghela nafas panjang. Tampak Elika menunggu apa yang akan diucapkan Dinal selanjutnya.

“Aku ingin kau menjadi istriku. Aku ingin kita menikah. Maukah kau menikah dengan laki-laki biasa sepertiku?“


MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: