GAGASANOPINI

Subsidi Pupuk Untuk Petani Kakao, Benarkah Solusi Yang Tepat?

SEBAGAI anak petani yang bergerak di bidang perkebunan sudah bosan rasanya telinga ini mendengar keluhan, baik itu melalui mulut orang tua sendiri, maupun lewat mulut tetangga (red, bisik-bisik) tapi kedengaran juga, hahahahh…

Sulawesi barat contohnya, salah satu pemasok terbesar kakao di wilayah Indonesia Timur, dan menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi petani dan pengusaha lokal maupun mancanegara. Olehnya itu, keberlangsungan hidup masyarakat Sulbar sangat besar ditentukan oleh kelangsungan hidup tanaman Kakao.

Salah satu Daerah yang ada di Kabupaten Polewali Mandar, Kecamatan Binuang, Desa Amola, tepatnya di Dusun Tanete. Yang mayoritas kehidupan sehari-hari masyarakatnya berstatus sebagai Petani (red, Kakao), tentunya menyandarkan hidupnya pada hasil panen yang baik.

Namun tak bisa dipungkiri, bahwa setiap pekerjaan pasti ada sisi tidak baiknya. Begitupun dengan petani, bahkan ada pepatah yang mengatakan “kalau menanam padi jangan harap gulma tak akan tumbuh”, artinya setiap pekerjaan pasti ada rintangannya, mulai dari busuk buah Kakao, sampai pada kematian tanaman.

Salah satu ikhtiar petani dalam menyelamatkan tanamannya adalah dengan melakukan sambung samping. Dengan harapan tanaman dapat berproduksi dengan lebih baik lagi. Namun usaha para petani dengan cara seperti yang diatas, memuculkan masalah baru, seperti terserangnya tanaman penyakit busuk buah, yang lambat laun penyakit
buah tidak dapat lagi di kendalikan.

Akibatnya, sebagian petani yang sudah lelah bekerja namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan yang telah dirindukan oleh para petani yang malang itu. Akhirnya memilih jadi perantau demi mempertahankan keberlangsunagan hidup. Tapi sebagian lagi memilih tetap tinggal dengan keyakinan bahwa kakao pasti akan baik jika dirawat dengan sungguh-sungguh. Walaupun tenaga tak sekuat dulu lagi, dengan usia rata-rata mereka sudah berkepala 50 sampai 70 tahunan.

Jika kita bertanya pada mereka (red, petani) apa penyebab tanaman kakao tak kunjung baik, maka akan muncul jawaban bermacam-macam. Seperti ada yang bilang, mungkin karena kekurangan pupuk dan disebabkan karena burung telah habis sehingga tak ada lagi yang membantu petani dalam memberantas hama pada lahan.

Dan kalau ditanya lagi apa yang menyebabkan burung habis? maka jawabannya beragam juga. Namun kebanyakan menjawab penyebabnya adalah “senapan”. Lalu siapa yang harus disalahkan? Tak usah menyalahkan siapa-siapa, seba apa gunanya juga menyalahkan orang lain, toh burung juga sudah habis punah. Jadi sekarang tinggal satu
permaslahan lagi yang belum terjawab, yaitu masalah kekurangan pupuk.

Belakangan ini, telah ada bantuan dari pemerintah sebagai wujud kepeduliannya terhadap petani. Seperti bantuan pupuk gratis yang disalurkan melalui kelompok-kelompok tani. Sebagai jawaban atas keresahan batin yang sudah bergejolak sejak lama mengenai nasib tanaman kakao dan petani yang hidupnya terkatung-katung. Namun benarkah jawabannya adalah pupuk, mari kita lihat.

Pupuk sudah berkarung-karung ditabur pada tanaman, tapi kakao masih tetap busuk malah semakin parah ataukah kita ingin berdalih lagi bahwa, mungkin karena tak disemprot. Heeee… “siapa bilang” hampir setiap minggu petani Amola melakukan penyemprotan, tak percaya!. Silahkan datang sendiri di dusun Tanete dan tanyakan sendiri berapa kali anda melakukan penyemprotan dalam seminggu?.

Jika penyebab busuk buah kakao itu adalah karena disebabkan kekurangan pupuk maka alternative yang dapat diberikan pemerintah JIka benar-benar peduli terhadap petani dan lingkungan “itu pun kalau peduli”, yaitu: berikan setiap petani beberapa Ekor Kambing Untuk dipelihara oleh Masing-masing petani, “kambingkan mempunyai
kotoran dan kotorannya itulah yang digunakan sebagai pupuk”.

Istilahnya petani memproduksi sendiri pupuk sesuai kebutuhannya sendiri. Melalui mesin yang kenalpotnya tak mengeluarkan polusi hanya suara Mbek…mbek…(kambing), sekaligus pemerintah tak perlu
repot mengeluarkan anggaran setiap tahunnya, bayangkan jika harga pupuk perkarungnya itu seharga 35.000x 25 orang setiap kelompok x jumlah kelompok disleuruh Indonesia.

Berapa coba, silahkan hitung sendiri, kaliankan punya kalkulator masa saya yang harus hitungkan, itu hanya hitungan dalam setahun, belum 5-10 tahun yang akan datang. Huuh milyaran. Maka Tinggal buktikan jika pemerintah memang peduli masyarakat (petani) dan lingkungan.

Cukup sekali saja pemerintah menyuplai beberapa ekor kambing kesetaip petani dan masalah clear. Tinggal diajarkan bagaimana cara pemeliharaan kambing yang baik dan benar. Dan kalau masalah pemeliharaan kambing yang baik dan benar, serahkan pada dinas peternakan, masa mereka tak paham soal pemeliharaan ternak dengan baik dan benar, kalau mereka tak faham ngapain digaji, bikin rugi Negara saja!!

Dan yang terakhir masih masalah kakao. Kakao menjadi seperti diatas (tak beres) dikarenakan harga jualnya yang sangat rendah sehingga petani tak semangat dalam bekerja. Andai harganya mahal petani akan semangat dalam bekerja, kalau soal harga kira-kira apa penyebabnya ya? Silahkan Tanya om google. heheh…


AMRI CICERO Konsern menulis soal-soal  sosial dan kemasyarakat termasuk hal ihwal yang terkait dengan pertanian


*) Opini penulis diatas adalah tanggungjawab penulis seperti yang tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi TAYANG9.COM

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: