Malam Minggu dalam Segelas Teh Tarik

mendengar blues dimainkan, perempuan berkawat gigi berambut pirang dan berbulu mata palsu menganggukkan kepalanya. jemari tangannya setia memainkan ponsel layar sentuh miliknya.
malam ini setia telah lama dibarter dengan segelas teh tarik dengan sisa gincu yang menempel dibibir gelasnya.
hidup tak lebih hanyalah cara menyiasati kenyataan agar tak tampak kusut oleh nasib yang payah dan tersaruk-saruk.
perempuan itu tampak tertunduk dihadapan lelakinya yang hidung dan telinganya bertindik dan bersubang perak. sesekali matanya menatap awas pada setiap lelaki yang lewat di sela kursi tempatnya duduk dengan kaki berselonjoran.
tak ada cengkrama yang ideal tentang peradaban yang kian gombal dan bebal. selain kepul asap rokok yang dihembuskan oleh bibirnya yang merah delima.
singgahlah sebentar disisiku, karena hidup telah lama menjadi serupa toilet tempat orang-orang antri buang hajat sambil bersiul girang dan gemas.
disini pasar segar telah lama berubah menjadi pasar kesegaran mata kasat. tepat saat pasar burung berubah menjadi pasar sarang burung. tempat walet bertengger dan meninggalkan air liurnya. serupa teh tarik yang tumpah dan yang basah.
senandungkanlah cinta pada malam agar tak rapuh. tentu saja, sebelum pagi datang menjemputmu. sebab sebelum pagi, bedak dan gincumu sudah harus engkau hapus dengan tissu atau dengan bibir lelakimu yang memeluk dengkurmu agar tak berubah menjadi igauan yang memekik dan memanggil nama tuhanmu.
Makassar, 15 Juni 2019