CERPENGAGASAN

Puayi Rahamang, Jumat Seusai Pemilihan

KHATIB telah naik ke atas mimbar sembil menenteng tongkat lengkap dengan jubah kebesaran sang khatib. Saat itu Puayi Rahamang baru saja pulang mandi sunnah hari jumat di sungai yang berjarak hanya ratusan meter dari rumahnya.

Puayi Rahamang buru-buru. Dengan langkah lincah ia menaiki tangga rumahnya dan bersegera masuk ke dalam kamarnya. Mengambil kopiah hitam dan sarung. Juga tak lupa menyambar sajadah tua yang dibeli di Madinah saat menunaikan haji sembilan tahun yang lalu.

Beberapa menit kemudian, Puayi Rahamang telah berada di dalam masjid yang jaraknya memang tak begitu jauh dari rumahnya. Dengan ayunan tangan yang pasti ia mengangkat takbir menunaikan shalat sunnah qabliyah jumat.

Begitu selesai shalat sunnah, tasbih yang ada dalam saku bajunya dikeluarkan dan ia pilin seraya menundukkan wajahnya menatap sajadahnya. Terdengar keras suara khatib mengutip sejumlah dalil. Mulai dalil aqli hingga dalil naqli tentang pentingnya kesabaran.

Termasuk tentang makna sabar ditengah kondisi politik yang sedang gonjang ganjing. Puayi Rahamang masih sibuk merafal dzikir. Terdengar begitu jelas ungkapan khatib soal politik yang harusnya mempersaudarakan dan membuat mereka yang terpaksa gagal mendapatkan kursi kekuasaan harusnya bersabar.

Putaran tali tasbih Puayi Rahamang terhenti. Mukanya yang dari tadi menunduk, seketika menengadah dan menatap serius wajah sang khatib yang dengan gaya orator ulung memaparkan soal-soal kebangsaan, politik dalam perspektif Islam juga soal makna kesabaran.

Puayi Rahamang lalu terbayang wajah Pua Doya tim suksesnya yang gagal mengantarkannya menuju kursi empuk kekuasaan. Ia teringat janji suara yang dengan meyakinkan telah digaransi Pua Doya kepadanya, membuat kambing, sapi dan juga tiga petak perkebunan langsat dan durian miliknya harus melayang untuk biaya tim pemenangannya.

Air matanya pelan jatuh, oleh khutbah yang mengantarkannya kepada kenyataan kegagalan, rasa malu serta kekecewaan. Juga wajah Kindo Baya sekeluarga yang berumah di atas tanah milik Puayi Rahamang namun dalam kenyataannya, ia dan keluarganya lebih memilih orang lain.

Puayi Rahamang hendak memilin tasbihnya kembali, namun suara khatib itu telah begitu jauh menancap ke dalam gendang telinganya dan lalu menjadi suara yang tiada henti bergemuruh dalam batinnya. Tentang kekecewaan dan tentang sahabat, keluarganya bahkan tetanggannya yang tidak memilihnya.

Hingga usai sholat jumat itu, Puayi Rahamang pulang kembali ke rumahnya, jabat erat tangan keluarga, sahabat dan tetangganya usai sholat jumat itu semua menjadi terasa hambar dan penuh dengan kamuflase. Puayi Rahamang dalam batinnya teriris namun juga geli dan hendak tertawa sendiri.

Di rumahnya. Puayi Rahamang mendapati istrinya tengah menonton berita perolehan suara di tv. Membuat Puayi Rahamang tambah bingung. Suara-suara pembawa berita itu kembali menggema dari dalam tv, melesat masuk ke dalam gendang telinganya dan membuat ia menjadi kian hendak menangis sekaligus tertawa.

Lantang suara khatib tentang makna sabar, pentingnya silaturrahmi dan berita tv tentang perolehan suara juga kelebat wajah Pua Doya serta Kindo Baya berkelebat ganti berganti melesat dan kian tumpang tindih di dalam batok kepalanya.

Hingga tengah malam, Puayi Rahamang hanya bisa tergugu-gugu. Tidak ada suara yang bisa keluar dari bibirnya. Padahal istrinya sedang mau mendiskusikan banyak hal. Termasuk tentang kondisi ekonomi keluarganya pasca pemilihan yang gagal mengantarkan menjadi orang penting dan berkuasa itu.

Tanpa kata dan dalam ekspresi yang hambar, Puayi Rahamang keluar dari dalam kamarnya dan bergerak menuju ruang tamu rumahnya. Dan dengan pelan ia membuka pintu dan menapaki serta menuruni sejumlah anak tangga rumah panggung miliknya. Istrinya yang menyaksikan itu, kemudian hanya bisa diam dan dengan mengendap mengikutinya dari belakang.

Puayi Rahamang berjalan sendirian malam itu, istrinya kebingungan dan kian penasaran melihat tingkah suaminya itu. Dari belakang ia setia menguntit. Kian jauh Puayi Rahamang berjalan kian jauh pula istrinya menguntit dari belakang.

Hingga akhirnya Puayi Rahamang terhenti di depan sebuah gedung mewah. Di dalam gedung itu tampak perabotan yang luar biasa mewahnya. Sejumlah ruangan dengan kursi dan meja yang tertata rapi dilengkapi microphone kecil yang pleksibel. Sejumlah kudapan tertata apik di atas meja yang bertaplak warna keemasan. Kesiur angin pendingin tampak membuat suasana begitu dingin dengan wewangian yang semerbak.

Puayi Rahamang memasuki ruangan besar yang tertata begitu apik itu. Pelan ia naik ke atas podium yang berlogo sebuah wilayah dan daerah. Ditekukkannya microphone dan didekatkan ke bibirnya. Sedang lampu penerang menyorot terang ke arah podium itu.

Puayi Rahamang berteriak lantang. Demokrasi belum mati. Hidup rakyat. Hidup pilihan rakyat. Hidup Pua Doya. Hidup Kindo Baya. Silaturrahmi dan persaudaraan tidak akan terbunuh oleh politik dan kekuasaan. Rakyat tidak akan pernah bisa terbeli nuraninya. Hidup demokrasi. Hidup kehidupan.

Puayi Rahamang terus berpidato. Istrinya yang dari tadi mengikuti dengan seksama pidatonya itu, tampak terkesima. Dia tidak pernah membayangkan suaminya akan sehebat itu berpidato dalam nada yang begitu berapi-api pula bersemangat.

Sama persis dengan orasi para pahlawan seperti yang ia baca di buku-buku sejarah saat ia sekolah dulu. Tak sadar istri Puayi Rahamang meneteskan air matanya. Entah bahagia entah sedih.

Tengah malam itu, Puayi Rahamang terus berpidato. Saking berapi-apinya, pidatonya itu menjadi seperti orang yang sedang meracau dan tidak lagi begitu jelas. Terus ia meracau tiada henti. Sedang istrinya memilih berdiri dan bertepuk tangan. Puayi Rahamang terus meracau. Sedang istrinya terus bertepuk tangan.

Pagi, saat kantor di gedung mewah itu mulai terbuka, semua pegawai dan orang-orang yang ada di dalamnya digegerkan oleh tulisan yang memenuhi dinding dan langit-langit gedung itu. Ada tulisan demokrasi belum mati. Hidup rakyat. Hidup pilihan rakyat. Juga ada tulisan serupa kaligraphy, hidup Pua Doya. Hidup Kindo Baya. Silaturrahmi dan persaudaraan tidak akan terbunuh oleh politik dan kekuasaan.

Sedang di sisi depan podium dalam ruangan yang berpendingin tertulis tegas dalam huruf kapital sejumlah kalimat, rakyat tidak akan pernah bisa terbeli nuraninya. Hidup demokrasi. Hidup kehidupan.

Dan siang harinya, sejumlah media, radio dan tv memberitakan laporan hasil investigasinya yang menyimpulkan bahwa, luberan tulisan itu telah bisa dipastikan berasal dari kata-kata yang keluar dari bibir Puayi Rahamang saat berpidato di hadapan istrinya malam itu.

Polewali, 26 April 2019

*sebelumnya cerpen ini dimuat di harian radar sulbar edisi, Sabtu 27 April 2019

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: