BUKAN main lamanya, bayangkan sudah delapan tahun Muliadi menjadi tenaga honorer di salah satu sekolah menengah pertama negeri. Sampai sekarang, saat usianya sudah menjelang 32 tahun. Kabar baik yang selama ini ia dambakan belum juga sampai padanya. Mengenai pengangkatan dirinya sebagai pegawai negeri. Pengabdian apa lagi yang kurang dari seorang Muliadi? Dedikasi bagaimana lagi yang harus ditunjukkan seorang Muliadi. Totalitas seperti apa yang belum diperlihatkan seorang Muliadi? Dasar hidup di negeri yang kurang peduli pada kesejahteraan honorer. Beginilah jadinya. Muliadi menjadi salah satu dari sekian banyaknya tumbal kurang pedulinya pemerintah terhadap kesejahteraan honorer. Katanya negara memajukan kesejahteraan umum? Omong kosong!
“Enam ratus ribu perbulan mana cukup, Mul. Harga kasur yang dibeli mamaku saja lebih mahal dari gajimu sebulan. Mendinglah kau cari kerjaan lain saja. Tidak akan bisa kau mapan kalau hanya mengandalkan gaji honorer,” ketus Faisal kerabatnya. Mereka berdua sedari kecil sudah menjadi sahabat. Hanya saja persoalan nasib pada akhirnya yang membedakan mereka. Muliadi tetap konstan sebagai tenaga honorer. Sedangkan Faisal sukses menjadi pengusaha. Jika Muliadi masih hidup membujang di usia kepala tiga, Faisal sudah punya istri cantik dan dikarunia dua orang anak. Omset yang diperoleh Faisal dalam tiga hari dua kali lebih banyak daripada penghasilan Muliadi dalam sebulan sebagai tenaga honorer.
“Menjadi seorang guru adalah cita-citaku sedari kecil, Bung. Aku tidak akan meninggalkannya. Persoalan aku honorer dan minimnya gaji yang kuperoleh. Aku hanya bisa bersabar. Dan menyerahkan semuanya pada Tuhan. Bukankah Dia lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya?”
“Iya aku tahu, Mul. Tapi sudah delapan tahun lho kamu mengabdi. Tapi nasib baik sampai sekarang tidak datang-datang juga. Kau mau menunggu sampai berapa tahun lagi? Hah?” sedari dulu Faisal memang kerap kali menggoda Muliadi untuk tidak menjadi honorer lagi. Hanya saja Muliadi tetap bertahan pada komitmennya untuk tetap menjadi guru. Sudah banyak tawaran pekerjaan yang diberikan Faisal pada kerabatnya itu. Pernah ia meminta pada Muliadi untuk mengurusi salah satu tokonya. Dasar Muliadi yang tetap ingin bertahan menjadi guru. Tawaran itu ia tolak mentah-mentah.
“Yang terpenting kenyamanan, Bung. Aku nyaman jadi seorang guru….”
“Juga nyaman menjadi honorer? Enam ratus ribu perbulan? Pegawai di tokoku saja aku gaji dua jutaan sebulan. Enam ratus perbulan, kamu pikir akan bisa menikahi Salmiah?”
“Urusan menikah dan honorer tidak ada kaitannya, Bung. Jadi jangan sangkut pautkan itu!”
“Dimana-mana kalau menikah itu butuh duit, Mul. Kalau kau hanya mengandalkan penghasilanmu sebagai honorer. Menunggu sepuluh tahun pun kau tidak bisa mempersunting kekasihmu yang notabene perempuan terpandang dari keluarga yang tajir.”
Muliadi hanya bungkam mendengar penuturan kerabatnya. Faisal selalu saja seperti itu tatkala Muliadi berkunjung ke rumahnya. Bukan apanya, Faisal sebenarnya sangat kasihan pada Muliadi kerabatnya itu. Lantaran nasibnya menjadi guru honorer tak tentu arah sampai sekarang. Enam ratus perbulan, upah yang sangat minim, jauh dari angka UMR bagi seorang guru seperti Muliadi. Guru yang totalitas pada tugas yang ia jalani.
Muliadi hanya bisa bersabar dan terus bersabar. Menanti nasib yang lebih baik yang dikirimkan Tuhan dalam hidupnya. Sebenarnya Muliadi tidak terlalu mempersoalkan dirinya yang sampai sekarang belum terangkat jadi pegawai negeri. Ada satu beban berat yang menghantui pikirannya beberapa hari terakhir.
Tentang kekasihnya, Salmiah yang selalu menanyakan kesediaan Muliadi untuk melamarnya. Bukan apanya sudah sekian tahun lamanya mereka menjadi sepasang kekasih. Namun sampai detik ini belum ada kepastian nyata yang diberikan Muliadi mengenai hubungan keduanya akan dikemanakan.
Bukan Muliadi tidak mencintai Salmiah sehingga ia selalu menunda-nunda untuk melamarnya. Tapi persoalan dirinya yang hanya tenaga honorer sedangkan Salmiah seorang dosen berstatus PNS. Hal itulah yang membuat Muliadi merasa belum pantas untuk mempersunting Salmiah. Apalagi ia tahu, kekasihnya itu terlahir dari keluarga terpandang dan tajir. Muliadi belum siap mendapat semprotan-semprotan yang tidak mengenakkan dari keluarga Salmiah. Bertamu di rumahnya saja. Kerap kali Muliadi ditanyai, kapan terangkat jadi PNS? Mau menunggu sampai usia kepala empat?
Amat tak elok rasanya dosen secantik dan secerdas Salmiah bersuamikan seorang guru honorer. Upah enam ratus ribu sebulan, jauh dari angka UMR. Bisikan seperti itulah yang selalu terngiang di telinga Muliadi. Membuatnya semakin pesimis cintanya bakal berlanjut ke pelaminan. Di satu sisi ia sangat mencintai Salmiah. Di sisi lain ia juga tidak ingin membuat kekasihnya berlama-lama dalam penungguan.
“Apakah aku pernah menuntut padamu untuk jadi PNS dulu baru kita menikah? Tidak pernah aku seperti itu. Menikah dan karir bisa berjalan seiring, Mas. Kau tak usah hiraukan itu! Apakah kamu takut penghasilanmu tidak bisa menafkahiku nantinya? Ataukah kamu minder sama keluargaku? Jika memang kau mencintaiku. Tentunya kau tidak akan mempersoalkan semua itu,” gerutu Salmiah dua hari yang lalu. Saat Muliadi menjemputnya di kampus.
“Bersabarlah sedikit! Kamu mau kan menungguku? Tidak lama lagi aku akan melamarmu. Percayalah!” Muliadi mengusap tangan Salmiah meyakinkannya.
“Dari kemarin-kemarin kau selalu berkata seperti itu. Tapi pada akhirnya belum ada kepastian juga. Usia kita sekarang sudah kepala tiga. Aku harus menunggu berap tahun lagi? Jika lima tahun lagi kau belum terangkat jadi PNS apakah kau juga masih enggan berani melamarku?” Salmiah menunjukkan mimik wajah jengkel. Kalau sudah seperti itu, Muliadi hanya akan diam.
***
“Namanya perempuan juga ada batas kesabarannya, Mul. Boleh saja Salmiah beberapa tahun terakhir ini bisa bersabar, setia menunggumu. Tapi kita tidak pernah tahu apakah besok ia masih seperti itu lagi. Yang aku khawatirkan Salmiah akan menikah dengan laki-laki lain,” lanjut Faisal pada Muliadi. Mereka masih duduk berdua di teras rumah. Sembari menunggu waktu magrib yang tidak lama lagi akan datang.
“Aku lebih tahu Salmiah orangnya kayak bagiamana daripada kamu, Bung. Dia tidak mungkin mau menghianati cintanya sama aku. Dia tipikal perempuan yang setia dan mencintai apa adanya bukan karena ada apanya. Jika seandainya dia perempuan yang gila harta misalnya. Dari dulu dia tidak bakalan mau punya kekasih sepertiku yang hanya seorang guru honorer. Jadi singkirkan kekhawatiranmu itu, Bung!”
“Kan siapa tahu, Mul. Siapa tahu saja Salmiah menikah dengan laki-laki lain. Hidup itu dinamis, kita tidak pernah tahu pasti, hari esok akan bagaimana.”
“Tidak mungkin! Tidak mungkin Salmiah akan menikah dengan laki-laki lain.” Muliadi menepis anggapan Faisal.
“Siapa tahu kedua orang tuanya menjodohkannya dengan laki-laki lain.”
“Itu kan siapa tahu.”
“Makanya sebelum benar-benar terjadi. Cepatlah kau lamar dia! Jangan tunggu sampai kau mapan dulu, sampai kau jadi PNS. Banyak orang dinaungi keberkahan hidup setelah menikah. Bisa saja setelah kau menikah. Kau bisa cepat-cepat terangkat jadi PNS. Jangan risaukan penghasilanmu yang kecil. Perempuan seperti kekasihmu itu tidak akan pernah mempersoalkan hal demikian.”
“Aku tidak pernah mempermasalahkan itu, Bung. Keluarga Salmiahlah yang membuat kakiku terasa berat untuk melangkah, untuk melamarnya. Mengingat mereka dari keluarga yang mapan. Salmiah seorang dosen berstatus PNS sedangkan aku, hanya guru honorer yang jeritan hidupnya tak pernah didengar oleh para penguasa. Aku menyadari siapa diriku. Alangkah lebih baiknya setelah aku terangkat jadi PNS barulah aku menikahi Salmiah. Dengan begitu kami seiring.”
“Aku tidak sepakat denganmu. Berani mencitai harus berani menikahi. Kau laki-laki yang sudah dewasa, Mul bukan anak ABG labil lagi.”
“Memangya siapa yang tidak berani? Hah?”
“Buktinya kau sudah bertahun-bertahun menjadikan Salmiah sebagai kekasihmu. Tapi sampai detik ini kau masih takut untuk menikahinya. Lantaran kau merisaukan statusmu. Laki-laki yang berani tidak akan mungkin membiarkan kekasihnya menunggu terlalu lama.”
***
Hari-hari terus berlalu. Kehidupan Muliadi tetap konstan seperti hari-hari yang kemarin. Nasib baik yang dirindukan kedatangannya belum juga menghampirinya. Muliadi percaya untuk mempercepat datangnya nasib baik itu harus dijemput dengan perbuatan yang baik-baik pula. Totalitas dan dedikasinya sebagai seorang guru tidak akan pernah luntur untuk mendidik murid-muridnya. Sekalipun pengorbanan dan pengabdiannya masih dipandang sebelah mata para penguasa. Ah, malangnya nasib honorer. Yang merindukan kesejahteraan untuk kehidupan yang layak.
Dan benar saja kekhawtiran Faisal tentang Salmiah tambatan hati Muliadi. Kendatipun Salmiah mungkin bisa bersabar menunggu Muliadi untuk menikahinya. Tapi pihak keluarganya sudah tidak sabaran lagi untuk ingin segera menikahkannya. Mereka tidak ingin anaknya menua dalam penungguan. Sementara belum ada tanda-tanda kalau Muliadi bakal terangkat jadi pegawai negeri.
Pada akhirnya Salmiah dijodohkan dengan seorang laki-laki konglomerat. Salmiah sudah tak kuasa menolak lagi. Walaupun sepenuh hatinya ada pada Muliadi. Ia masih mencintai Muliadi, laki-laki biasa namun amat luar biasa di matanya. Karena keadaanlah yang membuatnya tidak mungkin terus-terusan bertahan. Sehingga Salmiah harus rela dan ikhlas meninggalkannya.
Mendengar kabar itu, Muliadi hanya bisa berlapang dada. Mau membrontak bagaimana lagi? Ia sadar dirinya yang salah. Lantaran terlalu mengulur-ulur waktu untuk menikahi Salmiah. Tidak sadar terlalu lama mengulur. Sehingga kekasihnya dimiliki laki-laki lain. Muliadi tidak sepenuhnya salah dalam tragedi itu. Andaikan sedari dulu nasib baik menghampirinya. Dengan hal ini jeritan hatinya sebagai tenaga honorer terdengar oleh mereka yang pura-pura tuli dan selalu menutup telinga. Bisa saja dari dulu Muliadi akan menikahi Salmiah. Namun persoalan takdir siapa yang tahu pada akhirnya.
Entahlah, berapa purnama lagi Muliadi harus menunggu kabar baik soal pengangkatan dirinya sebagai pegawai negeri. Dan berapa lama lagi dirinya akan membujang seperti itu. Apakah memang honorer ditakdirkan tak cepat menikah?***
MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog