KOLOMMS TAJUDDIN

Tosora, Catatan Perjalanan Cinta dan Jejak Sujud Para Pecinta

JELANG sore itu, binar matahari begitu bersahabat. Tanah masih lembab dan tampak basah menjadi penanda bahwa malam atau subuh hari beberapa jam yang lampau hujan turun mengguyur tanah itu. Saat itu kalender penanggalan menunjuk hari Sabtu tanggal Empat bulan September tahun Dua Ribu Dua Puluh Satu.

Usai shalat ashar, sepanjang mata memandang tampak sawah meluas. Berada sedikit agak tersembunyi dari keramaian, sebuah makam tua dengan batu nisan yang dingin. Juga di dalam kawasan makam tua itu, masih juga memancang bangunan masjid terbuat dari batu alam yang tampak kian menua dimakan usia dan kian uzur.

Namun aura keindahan sebagai masjid kuno yang tua, tempat jamaah beribadah di era-nya masih tersisa. Kedamaian memancar dan menyusup pelan masuk ke dalam diri kami, dan juga mungkin kepada semua peziarah yang datang.

Adalah komplek makam Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini atau yang belakang dikenal sebagai makam Tosora. Sebuah makam kuno yang berada di Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo.

Penulis yang datang bersama sejumlah saudara, berziarah dan dengan dibimbing langsung Habib Zaky Djafar Thaha Al Mahdali, seakan kembali menemukan kegairahan spritual yang indah. Kami berlima seakan saling berduskusi dalam diam.

Sama mencari berkah dan kebaikan untuk bekal sekaligus kiblat tata laku spritual yang akan kami jalani ditengah kehidupan yang kian banal.

Tidak ada diskusi panjang dan tanpa panduan, saat kami melihat Saiyyed Zaky–begitu kami biasa menyapanya– telah duduk dan bersimpuh disamping makam, seketika kamipun langsung mendekat ke sisi kanan dan kirinya, seraya mencoba mengikuti bacaan tahlil dan doa yang dirafalkannya sebisa yang kami mampu.

Dada kami berdegup, entah takjub ataukah mencoba meresap rasakan aura kebaikan dan nilai spritulitas yang terpancar dan memenuhi semua ruang di kompleks makam itu. Bacaan kami amat terbatas, hanya mengamini yang bisa kami lakukan, itu karena kami memang kerdil, dan terlanjur jauh jatuh terjebak ke dalam labirin kehidupan kemoderenan yang tak pula tuntas.

Seusai mengikuti tahlil dan sejumlah bacaan yang sungguh sedikit kami ketahui itu, diantara kami, lalu pelan berdiri dan bergerak mengitari kompleks makam itu. Kembali mencoba mencecap tandas kegairan laku spritual waliyullah yang ilmunya ada di pucuk sedang kami menukik ke akar-pun tak juga sampai.

Juga tanpa dipandu, secara bergantian kami lalu masuk ke dalam kubah tua yang kami yakini tempat imam dulu memimpin shalat di dalam masjid kuno itu. Bergantian kami lalu sujud, kembali untuk menggenapkan keyakinan kami, bahwa dulu waliyullah, pernah sujud dan shalat ditempat itu. Dan sungguh kami-pun melakukan itu, semoga jejak sujud kami bisa disambungkan dengan jejak sujud waliyullah itu.

Kami tidak memiliki literatur yang memadai tentang makam itu, kecuali amat sedikit yang kami temukan saat kami klik smarphone kami. Tetapi satu hal yang sungguh kami yakini betul, bahwa menafak tilasi tapak jejak orang baik, terlebih waliyullah penganjur Islam adalah laku baik yang semoga kelak, kami juga mendapati cipratan ilmu dan kebaikannya yang kelak bisa kami sambungkan kepada anak dan cucu kami.

Doa-doa, dizikir, shalawat sesuai dengan takaran pengetahuan kami-pun pelan kami lantunkan. Dengan pelan pula, air mata menetes, Mungkin karena sesal setelah mata dan diri kami telah begitu jauh membaur dengan dosa-dosa juga kemaksiatan. Tubuh kami terasa kian begitu kerdil ditengah tumpukan dosa dan laku buruk kehidupan kami. Jauh panggang dari kedahsyatan makrifat dan ketulus ikhlasan para pendahulu kami dalam mengembangkan Islam dan kebaikan.

Tarhim masjid segera berkumandang, penanda magrib akan segera datang, pelan kamipun bergerak pulang meninggalkan komplek makam itu. Sejauh mata kami memandang, begitu banyak sawah juga danau-danau kecil yang tampak disamping kanan kiri kami. Sepanjang jalan, tak ada diskusi yang berat. Mata kami terkantuk-kantuk.

Ditemani seruan adzan dari sejumlah masjid, kamipun tiba di kota Sengkang. Sebelum akhirnya kami bergerak menuju Sidrap lalu Parepare dan kembali menyusuri pesisir pantai bertolak menuju Mandar. Tanah tempat kami lahir dan berdiam juga tanah tempat kami diajari tentang laku baik mencintai para pecintaNya.

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: