GAGASANKOLOMMS TAJUDDINOPINITERKINI

Bau Mara’e, Puarang dan Puasa

PUASA ramadan sebentar lagi datang. Aromanya begitu terasa. Tetapi ia tidak sama seperti aroma ikan kering (baca: bau mara’e) yang menyengat dan mewabah di seantero kampung saat kita membakarnya di rumah kita yang berdinding gamacca (anyaman bambu).

Karena puasa ramadan bukan soal makanan dan hidangan yang mencubit selera lidah kita. Puasa juga bukan hanya soal sirup, mudik, ngabuburit dan leduman yang ternyata tidak mempan merusak konsentrasi puarang (biawak) yang konon memang budeg telinganya itu.

Apalagi puasa tak hanya soal razia warung segala warung yang buka. Mulai dari warung makan hingga warung remang-remang. Juga, puasa bukan hanya soal seberapa banyak rakaat tarwih yang kita amalkan.

Puasa adalah ujian nyata kita dalam menakar kesalehan. Baik kesalehan transendental maupun kesalehan sosial kita. Bahwa puasa juga bukan soal sejarah dan memori kebangkitan sepotong lammang (semacam lemper dari ketan) yang saat jelang buka, disiram air gula aren dan sedikit serbuk parutan kelapa yang belum begitu tua.

Tetapi puasa secara sosiologis juga adalah keseruan hidangan dan kampung halaman dan keguyuban keluarga kecil yang tak berurusan dengan miskin kayanya seseorang. Puasa adalah milik mereka yang diminta Tuhan untuk menjedahkan perutnya dari kemaruknya melahap segala hal.

Sampai disini, puasa adalah cara Tuhan mengajari kita pentingnya solidaritas sesama yang dilengkapi dengan zakat agar kita menemui fitrah dan kesucian.

Lalu adakah suasana puasa akan kembali sama seperti ramadan kita di waktu-waktu yang lampau. Dengan segenap kedahsyatan kultural dan tradisinya? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan ditengah kondisi dunia yang tengah dibebani ketakutan akan wabah virus.

Dari kenyataan atas pertanyaan ini, maka sekali lagi, puasa menjadi momentum kita untuk menguji kemampuan kita mengerem laku kemaruk dan nafsu kita. Termasuk sejumlah nafsu kita untuk mudik, shalat berjamaah ditengah pendemik dan menempatkan puasa sama dengan puasa-puasa sebelumnya.

Dan jawaban dari semua itu adalah biarlah kita berpuasa dengan tidak ikut mempuasakan kesabaran kita. Ayo mari berpuasa di bulan ramadan ditemani kesabaran dan keridhaan kita menerima bencana.

Semoga keridhaan, kesabaran, kehausan dan kelaparan kita, kelak ikut melapangkan jalan mudiknya virus kembali kepada habitat dan ketiadaannya. Dan lalu kita bisa sama berseru selamat jalan kepada virus-virus itu.

Seraya membuka lebar tangan kita dan berucap lirih pula santun, marhaban ya ramadan. Marhaban ya idul fitri.

Boyang, 23 April 2020

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: