ABDUL MUTTALIBKOLOM

Tragedi Bangun Sahur

TRADISI di bulan Ramadan sangatlah beragam. Tapi tragedi yang dialami artis Zaskia Adya Mecca atas tradisi membangunkan orang sahur lewat pengeras suara di masjid membuat tersadar, ternyata niat baik saja tidak cukup, jika model penyampaiannya keliru akan rentang menuai soal.

Tentu soalnya bukan pada toa masjid. Apalagi soal vibrasi suara yang meninggi. Bukan pula soal suara yang fals. Karena suara sumbang mungkin masih bisa diterima, tapi suara yang teriak serupa kesurupan ketika membangungkan orang sahur, pasti terdengar buruk di telinga.

Jadi masalahnya bisa jadi terletak pada hukum harmoni. Hukum ini jika diringkas dapat menjadi dua soal. Soal pertama, secara teknis hukum harmoni sedianya bekerja sesuai standar operasional sistem (SOP) dalam manilai intonasi, artikulasi bahkan kontrol pick suara ketika berhadapan dengan pelantang suara masjid.

Kriteria suara merdu, syahdu, dan suara yang mendayu lirih, mutlak dipahami sebelum menjadi petugas sahur atau takmir masjid. Kalau perlu petugas sahur harus diseleksi terlebih dahulu. Secara ketat, transparan dan menghidari praktek kongkalikong. Ini tentu bukan perkara mudah. Mengingat peran sosial kemasyarakatan semacam ini sering tidak menjanjikan kesejahteraan materi.

Kebanyakan justru hanya memenuhi panggilan nurani makanya sering disebut: sukarela. Soal kedua, secara ideologis hukum harmoni tidak hanya mengurusi soal intoleransi yang dipicu dari biasnya pemahaman agama, yang belakangan ini justru melahirkan serangkain aksi teror. Karena selain sikap intoleran, faktanya bangsa ini masih harus berkutat pada tata cara membangungkan sahur.

Padahal urusan bangun membangunkan sahur dapat dimaknai sebagai sebentuk persinggungan sosial antara dua entitas. Jika merujuk ke narasi berita viral itu, entitas pertama yang hendak dibangungkan namanya Zaskia Adya Mecca. Entitas kedua yang membangunkan, namanya justru Ramadan. Nama entitas ini bisa siapa saja dan peristiwa ini bisa terjadi di mana saja.

Namun yang menarik, jangan-jangan kedua entitas ini sejak awal tidak saling mengenali. Bisa dibayangkan jika yang sementara tidur dan yang hendak membangunkan sahur bukan hanya tidak saling mengenali, tetapi juga tidak saling memahami, meski tinggal di dalam satu lingkungan atau kompleks.

Di sini lah titik rawannya. Masa orang tidur dan orang yang sudah bangun hendak melakukan peristiwa komunikasi, betapa rumitnya. Jika dipaksakan pasti akan mengalami kebuntuan menalar. Sehingga lewat peristiwa sahur yang terlanjur viral itu keduanya sudah bisa saling bertemu.

Saling mengenal, saling meluapkan harapan, memberi masukan dan eloknya sudah bisa belajar untuk saling memahami kemauan antara satu dengan yang lainnya.

Selain menahan lapar dan dahaga di bulan puasa, ternyata perjuangan menakar volume suara penting dihayati. Karena faktanya tinggi dan rendahnya suara masih sangat sulit untuk dijinakkan.

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: