Azimat Tiga Biji Tai Kambing

SUDAH banyak peristiwa heroik yang dituturkan, namun cerita heroik dari seorang demonstran seolah kembali mengingatkan, bahwa nilai kepemimpinan tak cukup terlahir dari derita rakyat, tapi ikut ditopang keyakinan batin yang kuat.
Makanya sebelum berangkat ke Jakarta, sang demonstran tidak lupa bertandang dan sowan ke kiainya di kampung. Kiai yang tak hanya memberikan berkah, nasihat, tapi juga ikut memberikan azimat keselamatan.
Berkat azimat itu, ia kini layaknya kuda sembrani yang gesit, lincah dan berapi-api ketika berorasi di tengah lautan manusia. Selain kulitnya licin dan mengeras, lidahnya pun terasa begitu piawai merangkai kata saat berorasi.
Membuat segala kebijakan minor pemerintah ia kritisi dengan bahasa santun tapi terasa menohok. Belum lagi, segala jenis pagar berhasil ia terobos; entah itu pagar berduri, pagar betis petugas dan pagar ayu demonstran wanita yang diam-diam sudah mengidolakannya.
Dalam sekejap ia menjadi buah bibir, tidak hanya bagi sesama demonstran tapi juga para petugas. Betapa tidak, kobaran api serta pecahan kaca tidak bisa melukai kulitnya, bahkan tubuhnya terasa begitu ringan.
Saking ringannya ia dengan mudah meloncat, lindap dan melenting ke sana dan ke mari menghindari amarah demonstran dan petugas yang mulai saling menanduk; ricuh. Tidak terasa keringat mulai membasahi bajunya.
Ia perlahan mengambil nafas panjang seraya membatin di dalam hati, “Hebat betul azimat pemberian sang kiai. Kira-kira isinya apa?” Diiringi rasa penasaran akut, ia perlahan membuka azimat yang ia kenakan sebagai kalung yang terbuat dari kain berwarna putih.
Alangkah terkejutnya ia setelah melihat azimat yang tadinya begitu ia yakin, ternyata hanya berisi tiga biji tai kambing, itu pun tai kambing yang sudah mengering. Aduh. Pikirannya mulai buyar. Ia mulai diombang-ambing perasaan bimbang.
Masa sih azimat tiga biji tai kambing dapat membuat kulitnya licin, dan mengeras ketika menerobos kawat berduri dan kobaran api serta amarah yang kian menyala-nyala. Perasaan itu mulai berkecambah di hatinya, sebelum ia kembali menerjang titik kericuhan demo hari itu.
Namun naas, itu lah kali terakhir ia terlihat. Ia seolah hilang. Lenyap, berganti berita di televisi yang rutin mengabarkan tentang seseorang yang bukan demonstran, bukan pula petugas yang berhasil diselamatkan dari amuk massa dengan begitu heroik.
Catatan: Tulisan ini merupakan tafsir lain dari cerita yang dituturkan Habib Ahmad Fadlu Al Mahdaly