Dondori dan Kisah Seekor Lalat
DONDORI dalam bahasa Mandar sering diartikan bulu perindu, jika di terjemahkan secara bebas (seolah) ada pertautan makna antara rindu dan dondori. Mungkin serupa kopi dan susu yang tengah diaduk di dalam gelas.
Gelas itu dapat bermakna tempat yang sering disebut kafe. Kafe bagi kaum milenial dapat bermakna tempat bertemunya beragam hajat. Entah itu hajat memadu kasih dengan orang terkasih, mengulas kerinduan bersama sahabat, marajut persaudaraan dengan teman baru, atau dapat bermakna persinggahan sementara.
Bukankah hidup memang persinggahan sementara, alias: “Sekedar singgah meneguk air?” kata orang-orang arif. Mungkin nilai ini yang melatari sahabat Arifin Hatta menamai Kafenya Dondori, tempat bertemunya orang dari beragam latar belakang.
Tidak hanya kiai, politisi, dosen, birokrat, kontraktor, petugas pajak, seniman, eksekutif muda, wartawan, praktisi, mahasiswa dan para perindu yang seolah di pertemukan di dalam satu adukan.
Bisa dikata letak kafe Dondori bukan pusat, tapi mustahil dinilai di luar atmosfir pembangunan kota Majene yang tengah giat bersolek.
Coba sebut nama beberapa kafe di kota Majene, mungkin Kafe Dondori disebut paling belakang tetapi Kafe Dondori sulit di katakan terbelakang karena ajek dipenuhi atmosfir diskusi atas isu-isu terkini. Mulai dari ihwal politik, game online, gosip sampai masalah percintaan.
Tak heran, jika para pengunjungnya sering menganggap Kafe Dondori sebagai ruang privat yang bisa jadi bermakna ruang publik bagi para petandang lainnya. Mungkin sepadan dengan ruang tengah bagi sebuah rumah.
Kaidah ruang tengah tentu tak ekstrim kiri dan tidak memihak polarisasi kaum kanan. Ruang tengah layaknya display tatakrama yang memuat semangat egaliter yang berpotensi memicu hadirnya nilai solidaritas antar sesama pengunjung.
Jadi, Kafe Dondori tidak hanya bermakna ruang melepas penat dengan meluruhkan dahaga dengan menyeduh kopi, teh dan beragam varian minuman kekinian, akan tetapi, sudah menjadi ruang reflektif di suatu sore yang mendung kala daku menyeduh teh tarik.
Momen indah yang sekiranya turut dinikmati seekor lalat yang singgah di bibir gelas. Seekor lalat yang seketika mengingatkan daku atas kisah seekor lalat yang sudah dengan sengaja dibiarkan meneguk (sampai kenyang) tinta dari mata pena Imam Al Ghazali Radhiyallahu anhu.
Lalat yang sering dianggap lebih menggirangi bau sampah, dibanding aroma sari putik bunga yang justru pada kisah itu hadir seperti metafor, semacam amsal atas semerbak wangi tinta pengetahuan yang ternyata sudah tandas diteguk seekor lalat dari mata pena kebijaksanaan sang Hujjatul Islam.