
SETIAP kali ada pergantian bupati/walikota atau gubernur, pekerjaan utama yang dilakukan sebelum dan saat memulai bertugas adalah membentuk ‘kabinet.’ Para pejabat dimutasi. Muka lama diganti muka baru untuk memimpin suatu lembaga/SKPD atau bertukar posisi. Hakekat mutasi adalah menempatkan seorang pejabat sesuai keahliannya, profesinya, kecakapannya, kapasitasnya agar mampu menerjemahkan program sang ‘nakhoda’.
Dinamika mutasi biasanya lebih kuat dihembuskan oleh mereka-mereka yang masuk sebagai tim sukses pasangan yang berhasil memangku jabatan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Isu itu juga terkadang sengaja dihembuskan oleh orang dekat atau sanak keluarga dari kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan modus tawar menawar ‘harga’ atau proyek-proyek.
Di sini kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mewaspadai, mencermati dengan saksama sebelum melakukan mutasi pejabat yang akan memimpin satu Lembaga agar memrioritaskan pejabat profesional, berintelektual, kemampuan kemasyarakatan, loyalitas dan totalitas untuk masuk dalam jajaran ‘kabinet.’
Selain kajian persyaratan dan administrasi yang dilakukan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), juga kepribadian yang dimiliki calon pejabat itu. Jika kualifikasi ini menjadi tolok ukur niscaya daerah ini memiliki pemimpin-pemimpin yang handal, yang mampu memajukan pembangunan dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan karena orang dekat, kerabat atau tim sukses sebagai bentuk balas jasa.
Penulis mencoba mengurai terkait Mutasi di lingkungan kerja Aparatur Sipil Negara yang merupakan salah satu upaya pengembangan karier pegawai melalui pemindahan karyawan pada posisi yang lebih tepat dengan pekerjaan yang sesuai agar produktivitas kerjanya menjadi meningkat, memberikan kepuasan kerja serta memberikan prestasi yang sebesar besarnya.
Berdasarkan Peraturan BKN RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi, disebutkan bahwa mutasi dilakukan atas dasar kesesuaian antara kompetensi ASN dengan persyaratan jabatan, klasifikasi jabatan dan pola karier, dengan memperhatikan kebutuhan organisasi.
Melalui kebijakan mutasi diharapkan kualitas SDM yang dimiliki oleh setiap organisasi dapat terjamin serta dapat dimanfaatkan secara optimal. Lebih lanjut diuraikan, secanggih apapun peralatan yang dimiliki oleh organisasi tidak akan bermanfaat jika tidak didukung oleh SDM handal, professional, terampil dan mempunyai kinerja yang tinggi.
Dalam sebuah organisasi pemerintahan, mutasi merupakan hal biasa dalam upaya memberikan kesempatan kepada pegawai agar memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang lebih dan menyeluruh, berkaitan dengan jabatannya dengan jalan berpindah dari suatu pekerjaan atau unit kerja ke pekerjaan lain sehingga diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai tersebut. Pemindahan atau mutasi merupakan suatu kegiatan rutin dalam suatu organisasi untuk dapat melaksanakan prinsip “the right man and the right place” atau “orang yang tepat dan tempat yang tepat”.
Sebenarnya penafsiran konsep tersebut bukan hanya dilihat bagaimana menempatkan seorang pegawai sesuai dengan tempat dan kemampuannya, namun juga harus dilihat sebaliknya bagaimana seorang pemimpin menempatkan kompetensi ilmu yang dimilikinya sesuai dengan kepemilikan keputusan yang dilakukannya.
Pelaksanaan mutasi dilandaskan pada beberapa dasar atau landasan. Menurut pendapat Hasibuan (2002, h.102-103) menyebutkan bahwa ada tiga dasar/landasan pelaksanaan mutasi pegawai yang kita kenal yaitu:
a. Merit system. Merit system adalah mutasi pegawai yang didasarkan atas landasan yang bersifat ilmiah, objektif, dan hasil prestasi kerjanya. Merit system atau career system ini merupakan dasar mutasi yang baik karena output dan produktivitas kerja meningkat, semangat kerja meningkat, jumlah kesalahan yang diperbuat menurun, absensi dan disiplin pegawai semakin baik, jumlah kecelakaan akan menurun.
b. Seniority system. Seniority system adalah mutasi pegawai yang didasarkan atas landasan masa kerja, dan pengalaman kerja dari pegawai bersangkutan. Sistem mutasi seperti ini tidak objektif karena kecakapan orang yang dimutasikan berdasarkan senioritas belum tentu mampu memangku jabatan baru.
c. Spoiled system. Spoiled system adalah mutasi pegawai yang didasarkan atas landasan kekeluargaan/kepentingan kelompok/relasi. Sistem mutasi seperti ini kurang baik karena didasarkan atas pertimbangan suka atau tidak suka (like or dislike)
Adapun faktor pendukung pelaksanaan mutasi pegawai yaitu antara lain adanya komitmen dari pimpinan yang terlibat faktor pendukung pelaksanaan mutasi pegawai. Komitmen pimpinan ini merupakan unsur penting didalam mengambil suatu kebijakan termasuk didalamnya penempatan pola mutasi dengan berbagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan mutasi itu sendiri.
Selain itu, yang menjadi faktor pendukung adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum dari pelaksanaan mutasi. Faktor lain-lain yang bisa menjadi pendukung untuk dilakukannya mutasi seperti kemanusian,keamanan, kenyamanan , konflik kepentingan, balas jasa, sentiment politik dan lain lainnya.
Selain itu, faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan mutasi pegawai adalah adanya unsur subjektif dalam menilai kinerja dan perilaku seorang pegawai. Faktor penghambat pelaksanaan mutasi pegawai tersebut berpotensi mengandung unsur subjektif dalam penilaiannya sehingga dengan adanya unsur subjektif tersebut, dapat memunculkan spoiled system.
Selain itu, faktor penghambat lainnya adalah seniority system. Faktor penghambat pelaksanaan mutasi pegawai yang masih didasarkan pada pertimbangan pada masa kerja, pengalaman kerja (seniority system) dari pegawai yang bersangkutan yang belum tentu mampu atau mumpuni untuk memangku jabatan yang lowong.
Samsudin (2006) menjelaskan mutasi ASN harus mempertimbangkan faktor-faktor yang dianggap objektif dan rasional dengan prinsip The Right Man on The Right Job, untuk meningkatkan moral kerja sebagai media kompetisi yang rasional untuk promosi, mengurangi laour turnover dan harus terkoordinasi. Adapun faktor-faktor tersebut yaitu:
a. Pertimbangan Berdasarkan Prinsip Profesionalisme. Dalam Pelaksanaan Mutasi Jabatan Pertimbangan penempatan pegawai yang di mutasi harus berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan agar mampu mendorong terciptanya birokrasi yang professional dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
b. Kompetensi. Kompetensi adalah seperangkat tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan tertentu yang menjadi syarat utama dan elemen kunci bagi lahirnya kepemimpinan yang efektif dan efisien. Secara umum kompetensi dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skill), atribut personal dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi.
c. Prestasi Kerja. Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas yang dibebankan padanya. Pada umumnya pretasi kerja seorang ASN dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan kesungguhan pegawai yang bersangkutan.
d. Jenjang Pangkat. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan seorang ASN berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian ASNl terhadap Negara, serta sebagai dorongan kepada Pegawai untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.
e. Tanpa Diskriminasi. Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang diwakili oleh individu berkenaan. Diskriminasi merupakan suatu perbuatan yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia. Ia berpuncak daripada kecenderungan manusia untuk membedabedakan manusia lainnya terkait dengan gender, suku, hingga agama.
f. Loyalitas. Pelaksanaan mutasi jabatan juga tak lepas dari pertimbangan loyalitas seorang ASN yang akan ditempatkan pada jabatan tertentu. Hasibuan (2007 : 111) juga telah menjelaskan beberapa syarat-syarat agar pegawai bisa diangkat pada jabatan tertentu (promosi) yaitu dengan menilai loyalitasnya dengan artian pegawai harus loyal dalam membela perusahaan atau korps dari tindakan yang merugikan, ini membuktikan bahwa dia ikut berpartisipasi aktif terhadap perusahaan atau korpsnya.
g. Hukuman Disiplin. Dalam pertimbangan mutasi jabatan perlu sangat dipertimbangkan terkait hukuman disiplin yang telah diputuskan. Penjatuhan hukuman disiplin sangat berpengaruh didalam penilaian karier seorang pegawai. Hukuman disiplin merupakan cerminan tercorengnya integritas dan profesionalisme pegawai didalam sebuah organisasi.
Mutasi jabatan dalam pemerintahan seringkali menjadi alat yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan strategis, baik itu untuk misi pembangunan daerah, sebagai bentuk balas jasa, atau bahkan untuk tujuan balas dendam. Masing-masing alasan memiliki dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif, terhadap kinerja pemerintahan dan moral para pejabat yang terlibat:
Misi Pembangunan Daerah adalah alasan yang paling positif dan konstruktif, karena bertujuan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan dan memajukan pembangunan daerah.
Balas Jasa sering digunakan sebagai penghargaan untuk pejabat yang telah menunjukkan loyalitas atau prestasi, meskipun bisa berisiko menurunkan kualitas manajemen jika lebih mengutamakan loyalitas daripada kompetensi.
Balas Dendam (Punishment atau Konflik Politik) adalah yang paling berisiko, karena dapat menyebabkan ketidakpuasan, merusak moral, dan menurunkan stabilitas birokrasi, yang akhirnya merugikan pemerintah itu sendiri.
Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa keputusan mutasi jabatan didasarkan pada prinsip transparansi, objektivitas, dan profesionalisme agar tidak merusak integritas pemerintahan dan kepercayaan publik.
*Penulis adalah, dosen ilmu komunikasi