Konsistensi Ala Hoja
SEORANG darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan dari Nasruddin Hoja. Hoja bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktik. Darwis itu pun bersedia menemani Hoja dan melihat perilakunya.
Suatu malam Hoja menggosok-gosok kayu untuk membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. “Mengapa api itu kau tiup?” tanya sang darwis. “Agar lebih besar apinya, dan lebih panas,” jawab Hoja.
Setelah api besar, Hoja memasak sop. Sop menjadi panas. Hoja menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkok untuk bagiannya, kemudian meniup-niup sopnya.
“Mengapa sop itu kau tiup?” tanya sang darwis. “Agar lebih dingin dan enak dimakan,” jawab Hoja.
”Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu,” ketus si darwis. “Engkau tidak bisa konsisten dalam pengetahuanmu.”
***
Dalam setiap perbuatan yang kita lakukan selalu ada niat yang mendahuluinya. Dan pada setiap niat dapat dipastikan selalu mengandung keinginan dan tujuan. Tetapi niat bukanlah sederet daftar keinginan yang berjejer rapi laksana sebuah parade atau carnaval di jalan raya. Niat bersifat abstrak yang bersemayam dalam alam pikiran alias alam sadar. Karena itu niat menjadi tanda dari kesadaran, dan kesadaran hanya bisa lahir dari pengetahuan.
Jika ada perbuatan atau tindakan manusia yang dilakukan tanpa niat, dapat dipastikan itu terjadi di luar kendali kesadaran dan pengetahuannya. Ia berada dalam kendali unsur eksternal, misalnya kerasukan jin atau setan, mabuk, ekstase, kecanduan, dan sebagainya. Selebihnya adalah karena tindakan instingtif yang umumnya berlaku pada binatang, dan tindakan mekanistis yang berlaku pada mesin-mesin yang tak berjiwa.
Dari kerangka itulah nampaknya kita bisa memasuki kisah Nasruddin Hoja dan seorang bijak (darwis) di atas; bagaimana kita dapat memahami konsistensi?
Konsisten merupakan kata serapan dari bahasa inggris, adalah kata sifat yang berarti; tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; atau ajek. Juga diartikan selaras atau sesuai, misalnya pada kalimat; perbuatan hendaknya konsisten (sesuai, selaras) dengan ucapan. Kata konsisten juga lebih sering disamakan dengan terma istiqamah atau teguh pendirian.
Antonim dari konsisten adalah berubah atau goyah. Berubah berarti menjadi lain atau menjadi berbeda dari semula, juga berarti beralih menjadi sesuatu yang lain, atau berarti berganti terutama tentang arah. Sedangkan goyah berarti tidak kukuh, terutama dalam hal letak dan posisi benda tertentu. Juga berarti tidak tetap atau tidak teguh, terkait dengan pendirian, keyakinan, dan kedudukan seseorang.
Hoja hendak mengajarkan kepada kita beberapa hal. Pertama, bahwa secara mendasar konsistensi berkait erat dengan pengetahuan, dan pengetahuan memiliki tingkatan. Pengetahuan yang lebih rendah akan sulit mencapai pengetahuan di atasnya yang lebih kompleks. Semakin spesifik semakin mudah, tetapi membuat pengetahuan kita semakin sempit, dan rentan melahirkan pertentangan-pertentangan.
Seorang anak berwisata ke Kebun Angin PLTB Sidrap melihat deretan kipas raksasa, dan ia berkesimpulan bahwa hembusan anginlah yang membuat kipas bergerak. Pada kesempatan lain ia masuk ke sebuah ruangan dingin dan melihat kipas angin bekerja. Ia menyimpulkan bahwa gerakan kipaslah yang menyebabkan hembusan angin. Pada titik ini, ia menemukan inkonsistensi pada pengetahuannya. Tetapi ketika ia memperoleh informasi tentang proses perubahan energi, ia akan berkesimpulan bahwa perubahanlah yang berjalan secara konsisten.
Kedua, berdsar pada pengetahuan, konsistensi berkait dengan niat yang di dalamnya terkandung keinginan, tujuan, dan alasan. Bukan niat jika tidak memenuhi tiga unsur tersebut. Misalnya dalam niat; “Saya ingin maju menjadi pemimpin // untuk membangun daerah ini // demi kemajuan bangsa dan negara”. Niat tersebut ketika diikrarkan di hadapan orang, ia menjadi janji. Dengan begitu konsistensi berhubungan dengan niat, dan komitmen berhubungan dengan janji-janji.
Ketiga, cara dan tindakan boleh berubah sebagaimana Hoja menggunakan angin untuk membesarkan nyala api dan angin pula untuk mendinginkan sop yang panas. Hoja memiliki pengetahuan tentang karakter dan fungsi angin, api, dan air, sehingga cara dan tindakannya dapat berubah secara sistematis untuk mencapai tujuan. Cara dan tindakan dapat berubah-ubah dalam mencapai tujuan, tetapi secara moral dibatasi oleh konsistensi dan komitmen.
Sepenting apakah sikap konsisten dalam kehidupan, baik secara individu maupun secara sosial? Kita bisa membayangkan betapa repotnya seseorang yang menginginkan hidup tetapi tidak mengenal sebab asal kehidupannya dan tidak mengerti akan ke mana ia pada akhirnya. Layaknya hewan yang hanya mengerti makan, minum dan birahi, atau tumbuhan yang hanya sekedar menghisap sari tanah.
Secara sosial lebih kacau lagi, suatu masyarakat yang berkeinginan hidup berbangsa dan bernegara secara merdeka tetapi tidak memiliki kemampuan intelektual, tidak punya alasan-alasan historis, kultural, filosofis dan yuruidis. Tidak punya cita dan tujuan ideal yang ingin dicapai.
Konsistensi merupakan sikap yang awalnya bebas dari nilai. Ia menjadi positif atau negatif ketika bersentuhan dengan hidup manusia. Ada orang yang konsisten dengan prilaku-prilaku positif. Di sini konsistensi bernilai baik dan inkonsistensi bernilai buruk. Tetapi juga ada orang yang konsisten dengan prilaku-prilaku negatif. Di sini konsistensi bernilai buruk dan inkonsistensi bernilai baik.
Dalam cerita lain dikisahkan, suatu hari Hoja bertemu seseorang. “Berapa umurmu Hoja?” Tanya orang itu. “Empat puluh tahun!” jawab Hoja. “Tapi, bukankah beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama?”
“Aku konsisten!” tegas Hoja.
Banga, 10 April 2022