ABDUL MUTTALIBKOLOM

Panggilan Manusia Fitrah

SETINGGI apa pun sekolahmu jika panggilan mudik tiba, segeralah berkemas pulang untuk sekedar mamasak buras dan ketupat di rumah. Itulah drama kecil yang tiap tahun harus diterima pemudik, entah ia seorang suami, anak dan cucu.

Sekilas drama kecil itu terlihat sepele, seolah kehormatan suami tengah dilucuti dihadapan istri, seolah pencapaian ilmu seorang anak seketika lenyap dihadapan ibu, dan semua pencapaian penuh prestise seorang cucu dihadapan nenek hilang entah ke mana.

Pangkat boleh tinggi, kedudukan boleh mentereng, dan ilmu boleh mumpuni. Tetapi jika berhadapan dengan suara telepon yang datang dari rumah, “Sebentar jika pulang sekalian tukar gas dan beli galon ya! Buras dan ketupat sisa dimasak! Jangan lama, sampah di rumah harus segera dibakar!”

Daftar tugas berentet dari rumah seketika sanggup merubuhkan narasi kehebatan yang selama ini dibanggakan di lingkungan kerja. Kekayaan wacana di pergaulan sosial seketika runtuh. Ilmu yang selama ini dibanggakan di forum-forum ilmiah mendadak lenyap tiada berbekas.

Rumah dan ibu sebagai magnetnya dengan sangat mudah mengembalikan kesadaran menjadi manusia biasa. Utamanya di momen akhir Ramadan yang puncaknya hendak menyongsong panggilan manusia fitrah.

Manusia yang terus belajar melepaskan jerat pangkat, tipuan ilmu dan sihir kehormatan yang sebulan lamanya hendak dilawan dengan ibadah puasa. Nah, rumah layaknya instrumen kunci dari ilmu peragihan puasa. Sedianya tiada topeng di sana, tiada ambisi berlebihan di sana.

Karena rumah dan ibu sebagai pusat pembelajaran nilai yang begitu dekat, sederhana dan membumi, ternyata saban waktu justru banyak mengajarkan ilmu langit yang kerap tak terduga.

Ilmu yang sanggup mengembalikan nilai manusia yang azali. Manusia yang sering terlihat dekil, congkak dipenuhi kebanggaan atas pencapaian simbol, pangkat dan kehormatan. Maka tak heran jika Andregurutta KH Sanusi Baco (alm) pernah memberikan pesan sederhana di sebuah acara.

“Jika engkau seorang kepala desa camat, atau bahkan dosen jangan bawa pangkat dan statusnya sampai ke rumah. Karena jangan sampai, ibu, istri dan anakmu terlihat seperti bawahan dan mahasiswa yang dengan gampang engkau suruh.”

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: