
HARI itu, Kaco duduk di sudut rumah kecil mereka yang sederhana. Ia memandangi langit yang mulai berwarna jingga, menandakan sore menjelang malam. Matanya melirik ke rak pakaian yang kosong, hanya ada beberapa potong baju lama yang mulai usang. Ia tahu, bulan Ramadan sudah hampir berakhir, dan Idul Fitri segera tiba. Namun, dalam hatinya, ia merasakan kehampaan yang begitu dalam.
Kaco adalah anak yang sederhana, tinggal bersama ibunya, Sitti, di sebuah gubuk di pinggir kota Polewali. Ayahnya sudah lama pergi, meninggalkan mereka tanpa kabar, hanya menyisakan kenangan pahit yang tak bisa dihapus. Kaco tahu ibunya bekerja keras sebagai buruh cuci dan tukang masak di rumah tetangga. Setiap hari, Sitti pulang larut malam dengan tubuh lelah, namun tetap tersenyum untuk anaknya. Namun, di balik senyum itu, Kaco tahu ada keletihan yang tak terungkapkan.
“Bu, kapan kita bisa beli baju lebaran?” tanya Kaco suatu hari saat ibunya sedang menjemur pakaian.
Sitti berhenti sejenak, wajahnya nampak berpikir. Ia tahu anaknya sangat menginginkan baju baru untuk merayakan Idul Fitri. Namun, keadaan mereka tidak memungkinkan. “Baju lebaran itu bukan hal yang penting, Kaco. Yang terpenting adalah kita bisa berkumpul bersama, berdoa, dan mensyukuri apa yang ada,” jawab Sitti dengan lembut.
Kaco menunduk. Ia mengerti apa yang dimaksud ibunya. Namun, di dalam hatinya, keinginan untuk memiliki baju baru begitu kuat. Semua teman-temannya di sekolah sudah membeli baju baru untuk lebaran. Mereka bercerita tentang warna-warni pakaian baru mereka dengan semangat, sementara Kaco hanya bisa diam, memendam rasa kecewa.
Beberapa hari sebelum lebaran, Sitti datang membawa sebuah bungkusan kecil. “Kaco, ini ada sesuatu untukmu,” katanya dengan senyum yang penuh makna. Kaco menerima bungkusan itu dengan harapan yang tinggi, pikirannya membayangkan baju baru yang sudah lama ia impikan.
Namun, saat ia membuka bungkusan itu, matanya mulai berkaca-kaca. Di dalamnya, terdapat sepotong baju bekas yang sudah dipakai ibunya. Baju itu memang masih layak pakai, namun tidak baru dan tidak semewah yang ia harapkan.
“Ibu, ini…” Kaco terdiam. Ia menatap baju itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa sedih, kecewa, namun juga rasa terima kasih yang mengalir begitu saja.
Sitti melihat ekspresi Kaco dan langsung memeluknya erat. “Kaco, maafkan ibu. Ibu tidak mampu memberimu yang terbaik tahun ini. Tapi, ingatlah, yang terpenting adalah kebersamaan kita. Baju ini ibu jahitkan dengan cinta, supaya kamu tetap bisa merasa bahagia di lebaran nanti.”
Kaco terdiam. Dalam pelukan ibunya, ia merasa hangat, meskipun hatinya merasa perih. Ia tahu, ibunya telah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik untuknya, meskipun dalam keterbatasan.
Malam itu, Kaco hanya bisa merenung. Ia mengenakan baju bekas yang diberikan ibunya, meski dengan hati yang berat. Ketika mendengar suara takbir pertama kali di pagi Idul Fitri, ia teringat kata-kata ibunya: “Yang terpenting adalah kebersamaan kita.”
Kaco menatap ibunya yang tengah sholat dengan khusyuk, wajahnya penuh ketenangan. Meskipun tak ada baju baru yang ia kenakan, Kaco merasa bahwa kebahagiaan bukanlah tentang pakaian, tetapi tentang cinta dan kasih sayang yang ia terima dari ibunya.
Pada hari lebaran itu, Kaco berjalan keluar rumah dengan senyuman kecil di wajahnya. Baju yang ia kenakan mungkin bukan yang terbaik, tetapi dalam hatinya ia merasa bangga. Ia tahu, kebahagiaan sejati datang dari hati yang penuh syukur, bukan dari penampilan luar.
MADATTE, 20 Ramadhan 1446 H.