GAGASANOPINI

Anies Tutup Alexis, “Gubuk Derita” Bagaimana Nasibnya?

JIKA kita menyebut Alexis, tentunya akan langsung tertuju pada suatu tempat hiburan yang berada di Ibu Kota Jakarta. Itupun dikenal karena pemberitaannya yang massif nan lebay. Yups…Alexis merupakan tempat hiburan yang dianggap mempunyai pengaruh besar dalam soal dunia por*ti*usi yang dihuni oleh puluhan wanita baik lokal maupun asing.

Hal inilah yang membuat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sedikit gerah dan berjanji akan menutup tempat hiburan itu dalam janji kampanye politiknya. Dan pak Anies membuktikan itu. Ia dengan tegas tidak memeberi perpanjangan operasi Alexis. Anies berdalih jika Alexis merupakan salah satu tempat hiburan yang sekaligus menjadi ladang porstitusi. Sebuah bisnis yang dianggap melanggar norma asusila di masyarakat.

Pak Anies ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang ramah, santun dan religius sebagai Ibu Kota yang majemuk. Berbagai suku, ras, agama, golongan dan budaya. Ada keturunan Cina, Arab, India. Terus dimana Pribuminya pak? seperti ucapan bapak saat pidato pelantikannya sebagai Gubernur.

Dimasa kepemimpinan gubernur Bang Yos, Fauzi Wibowo, hingga Ahok, Alexis tidak pernah disorot media dalam pemberitaan. Alexis hanya merupakan tempat hiburan seperti yang lainnya. Namun apa dasar dan landasan Pak Anies begitu getol ingin menutup Alexis, bahkan menjadi janji politiknya saat kampanye. Penutupan Alexis jangan dipolitisasi ya pak?

Penulis jauh tinggal dari hiruk pikuk kota megapolitan Jakarta. Dan meyakini jika Alexis bukan satu-satunya sarang porstitusi. Masih banyak tempat yang bersiwileran di wilayah Jakarta. Penulis bahkan meragukan kapasitas pak Anies untuk menyelesaikan persoalan itu. Namun jangan sampai penutupan Alexis memunculkan masalah baru. Apa yang dilakukan pak Anies ketika Alexis tidak ber operasi lagi? para karyawan mau diapakan, para pelaku porstitusi (jika memang ada) akan dikemanakan? itulah pertanyaan yang cukup sedehana kepada mantan rektor Paramadina itu.

Lain Alexis di Jakarta, lain pula “Gubuk Derita” yang ada di salah satu kabupaten di Sulbar. Lah kok! apa hubungannya Alexis dan “Gubuk Derita”?. Tunggu dulu, untuk membandingkan Alexis dengan “Gubuk Derita” bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, jaraknya saja uda jauhan.

Bicara soal fasilitas, bagaikan bumi dan langit. Alexis berada di tengah-tengah kota Jakarta dilengkapi fasilitas kelas kakap, ruang spa, ruang pijat, kolam renang dll. Pengunjung betul-betul dimanjakan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ditambah pesona para gadis bule yang berada di Alexis, mempertegas jika Alexis merupakan tempat yang dianggap komplit.

Sedangkan “Gubuk Derita” yang pengoperasiannya sejak puluhan tahun silam. Letaknya berada di pinggiran pemukiman warga, berseblahan dengan hamparan tanah kosong yang dulunya digunakan sebagai lahan pertanian warga setempat. Penulis sedikit dangkal mengenai asal muasal penggunaan nama “Gubuk Derita”. Namun dari namanya, sudah mewakili bagaimana gambaran dan kondisi gubuk derita yang sebenarnya. Alhasil nama Gubuk Derita menjadi tersohor, orang-orang akan tertuju pada suatu tempat yang diisi oleh beberapa wanita yang profsinya mirip-mirip dengan Alexis.

Dari perbedaan itulah muncul sebuah kesamaan Antara Alexis dengan “Gubuk Derita”, yaitu sama-sama menjadi tempat hiburan (por*ti*usi). Memberi kenyamanan setiap pengunjung, demi kepuasan secara lahir bathin.

Numun dari kesamaan itu pulalah, apakah “Gubuk Derita” akan sama nasibnya dengan Alexis, yang aktifitasnya dihentikan gara-gara ada indikasi persoalan yang disebutkan diatas? Kita tinggal menanti nasib Gubuk Derita, apakah eksistensinya sejak puluhan tahun akan berhenti, dengan ketegasan seperti pak Anies?Namun, ketika menutupnya, berikan mereka kejelasan terutama bagi orang-orang yang mencari nafkah di area “Gubuk Derita”.

Konon katanya, keberadaan Gubuk Derita sering menjadi sasaran operasi razia dari petugas, baik dari Satpol PP ataupun dari kepolisian. Mereka memeberi himbauan agar tidak ada lagi praktek-praktek yang dianggap melanggar, baik secara hukum adat atapun regulasi pemerintah Daerah.

Untuk memberi tanda titik pada tulisan ini, penulis hanya menyarankan, jauh sabang hari sebelum ngotot ingin menutup “Gubuk Derita” seperti apa yang dilakukan pak Anies, ada baiknya disediakan lahan yang dianggap layak demi kelangsungan hidup bagi mereka yang terlibat di wilayah Gubuk itu. Mereka harus difasilitasi dan wajib mendapat perlindungan baik sosial ataupun hukum.

Jangan terlantarkan mereka, karena 1001 alasan mereka mencari nafkah degan jalan seperti itu. Penulis mempercayai jika mereka melakukanya bukan semata karena na*su, namun semata karena ia berada di dunia yang terkadang ada sisi kejamnya.

Dan jangan sampai pekerjaan mereka lebih mulia dibanding dengan oknum anggota DPRD yang ditengarai korupsi !!!

NASRUL MASSE

Anak pelaut yang ingin menulis dan membaca di daratan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: