Datangnya Bura’ Manus
PERLAHAN terdengar suara rintih tangisan mendayu dari teman Ku’ding diatas Lepa-lepa. Air laut begitu tenang, angin sejenak berhenti menyapa lima pelaut yang terdampar dalam dinginnya di bawah bulan purnama, sinarnya tepancar menusuk mata yang berkaca-kaca. Tujuh hari berlalu mereka terdampar diatas sampan dengan kepasrahan mengikuti arus yang tak menentu
Setiap harinya berganti malam, lima awak kapal Ba’go saling bergantian mendapatkan giliran untuk istrihat diatas Lepa-lepa menikmati tidur sesaat meski didera kecemasan. Membayangkan diatas ranjang bersama istri dan anaknya. Sementara rasa lapar terus dilerainya disepanjang malam sampai datangnya sang surya menusuk tubuhnya yang mulai legam
Tiba pagi yang cerah, mereka semua terbangun melihat sekeliling hanya telihat luas lautan yang tak bertepi. Sampan mereka berada di ilo-ilo (laut tenang diantara ombak biasanya berkumpul sampah dan rumput laut), secerca harapan terbesit diantara mereka. Menanti Bura’ manus hinggap di sampan mereka tumpangi
“Diang rappang ee, coba ita lao. Diang ari issinna mala diande,” ucap Ku’ding pada temannya yang berada di atas sampan.
Benar saja, tangisan semalam telah didengarkan Tuhan dengan mengirimkan kenikmatan pagi untuk mereka yang sedang dilanda derita. Teman Ku’ding medapati sebatang kayu lapuk dibawahnya berisi kepting berukuran kecil. Sontak mereka bergegas mengambilnya menaikkannya diatas Sampan. Rasa lapar tak terhindarkan, Kepiting-kepiting itu langsung dimakan mentah. Mereka berjumlah lima orang tentu makanan itu dirasa belum cukup, maka kayu lapuk ikut dimakan.
Rumput dan kayu lapuk berserkan diatas hamparan laut, Ku’ding dkk mengumpulkan lalu menaikkannya di Sampan, memilih rumput yang layak di makan sebagai bekal dalam penantian panjang hingga datangnya pertolongan. Selain itu, juga mengambil setangkai daun kelapa kering. Sebuah keputusan tepat untuk bertahan hidup ditengah kesengsaraan. Sejak kapal Ku’ding karam seminggu yang lalu, baru kali ini mulut mereka mampu mengunyah. Selama ini hanya menikmati air laut, dan kayu-kayu kecil.
Alhasil, tubuh mereka mulai kurus, fisik yang lemah namun jiwanya tak sedikit pun berkurang. Ku’ding tetap semangat, menyerahkan kepada keputusan Tuhan akan bagaimana ujung perjuangannya di laut. Entah mereka mampu menaklukkan lautan atau merekalah yang ditaklukkan oleh lautan.
#Bersambung