ABDUL MUTTALIBCERPEN

Taxi

Suatu hari nanti dan itu adalah hari ini.

Hari yang telah datang tergesa membawa pagi dengan senyum paling indah, meski sejak semalam Tantri dan Samar baru bisa terlelap di kereta selepas jalan seharian dan nonton konser sebuah band indie yang norak namun luar biasa eksis di usia yang ke 52 tahun. Nama band-nya cukup nyeleneh tapi lirik lagunya mampu menggugah kesadaran tentang indahnya perbedaan kayakinan pada Tuhan.

Perbedaan yang selalu ada dan semestinya bisa menyatukan. Tapi itu masalah lain, sekarang Tantri dan Samar seolah berpisah ribuan mil jaraknya, meski sebenarnya mereka hanya sepelemparan kerling mata dengan duduk bersisian di atas Taxi. Taxi yang kini melaju memperjelas hitungan argo perpisahan.



Hendak kemana taxi ini melaju? Pertanyaan yang sejak tadi membetot pikiran keduanya. “Sebenarnya masih ada waktu dua jam buat ngopi sebelum pesawatku berangkat,” terang Samar terbata. Sedang Tantri masih tetap asik berhias dengan menyapu pipinya dengan spon bedak yang sepertinya selalu setia menemaninya tiap kali berpergian. Entah tujuannya kemana?

Seperti hari ini. Tanpa konsep sebelumnya, Tantri telah berada di taxi yang membawanya bersama seorang lelaki yang sebulan lalu baru dikenalnya via handphone dan diakuinya, di awal, telah berhasil hadirkan kembali riang tawa yang telah lama meraib di wajah ayunya. Meski Tantri sadar raut wajahnya kini, hanya isyaratkan, bahwa sepertinya taxi ini bukanlah tumpangan yang kelak mampu membawanya ke dunia yang selama ini diiminginya.

Tantri merasa bukanlah seorang putri yang mesti setia menunggu jemputan pangeran dengan kereta kencana dengan dua belas kuda putih yang siap menghelanya bersama pangeran pujaan hati menuju kerajaan maha megah nan teduh.

Bukan. Karena mereka kini hanya berada di sebuah taxi. Taxi reot nan usang terlihat dari beberapa cat pintu-nya mulai terkelupas. Taxi yang tadi pagi menghampiri dengan nego kenes memintai bayaran Rp. 100.000, ribu untuk mengantar mereka ke bandara Juanda tanpa perlu menyalakan argo. Walau akhirnya Tantri dan Samar sepakat argo diaktifkan biar mereka bisa leluasa menjelajahi rasa dari pertemuan pertama yang tiap hitungan argo kian terasa ganjil.



Sejak bertemu mereka hanya bisa saling meraba sikap. Improfisasi bahasa tak mempan, malah kadang terlihat norak dan berlebihan. Kejengkelan demi kejengkelan atas nasib percintaan yang telah mereka lalui sebelumnya berupaya mereka tutupi dengan tawa. Hampa. Terkadang mereka menarik nafas dan terdiam setelah cekikikan atas suatu soal yang tak jelas akar masalahnya, yang seolah kian mempertegas bahwa mereka sebenarnya ingin meraung dan meratap.

“Saya pikir alismu dulu tebal,” seru Tantri yang seketika buyarkan keheningan Samar yang sejak tadi mengamati jalan layang yang dilalui taxi yang mereka tumpangi. Di benak Samar, yang terbayang percintaannya yang lalu yang seolah tak pernah lewati jalan bebas hambatan. Dan lucunya pertemuannya dengan Tantri yang sebenarnya telah lama dirancang; hadir dan masih terkesan begitu mendadak.

Semendadak pagi yang datang tanpa beri isyarat pada embun. “Saya mengira bibirmu saja yang indah, ternyata sorot matamu lebih teduh menyejukkan,” tukas Samar seolah menegaskan perbincangan mereka yang kian terasa aneh. Begitulah setiap kali mereka membuka perbincangan, seolah hanya saling menangkap lintasan pikiran yang berseliweran di kepala tanpa perlu ditimbang lontaran ucapannya merupakan jawaban atau malah pertanyaan.



Intinya mereka tak lagi perduli batasan jawaban dan pertanyaan. Mereka hanya ingin merasakan hal yang pernah dirasakan dengan kekasih yang telah tinggalkan sejarah usang dan luka yang masih menganga di hati. Dulu mereka mampu merasakan tiap helaan nafas dan degub gugup saat bersisian dengan kekasih mereka. Tapi kini dengan Samar? Tapi kini dengan Tantri? Kemana perginya perasaan itu?

“Aku ingin memelukmu,” seru Samar dan ditanggapi Tantri dengan mendekatkan dan merelakan tubuhnya untuk dipeluk Samar. “Berapa menit yang biasa kau butuhkan buat memeluk?” tanya Tantri seketika membuat Samar tak bisa menempatkan rasa di detik itu. Apakah harus tersenyum ataukah kembali mengencangkan pelukannya? Samar terlihat kesulitan mencari degub ganjil yang biasa menggoda jika tengah mendekap kekasihnya dulu.



“Pak, AC-nya sudah boleh dinyalakan, saya telah selesai merokok, “ terang Samar ke Sopir taxi yang sejak tadi mengamati keanehan sikap penumpangnya dari kaca spion. “Orang ini saling mendekap tapi kok terasa tak menikmati semuanya, “ benak sopir taxi berkomentar. AC taxi telah dinyalakan tapi gerah di hati Tantri dan Samar tak jua melenyap.

Tubuh mereka terus saling mendekap tapi beban kenangan lampau akan kekasih mereka seolah memenjarakan mereka di pulau sepi yang dibatasi samudra penantian. Bunyi klakson dan seliweran kendaraan di jalan yang mereka lewati dengan taxi tua itu kian menggila. Sesak. Jarum jam telah menunjukkan waktu sibuk di kota itu. Dari kaca taxi mereka tak henti mengamati kendaraan melaju, saling selip-mendahului tapi ada pula yang tetap bertahan pada kecepatan standar.

Sorot mata keduanya terlihat begitu sendu. Seolah menyayangkan, jarak tempuh hidup yang mestinya mereka lalui dengan tetap berjalan dan tak perlulah mengingat persimpangan macet yang telah dilewati. Begitulah selayaknya bersikap pada sejarah hidup yang tak semua harus jadi rujukan dalam membuat serangkain langkah baru. Kendati kisah cinta mereka yang dulu hanya mampu sisakan lebam di hati mereka saat ini.



“Kapan ke Mandar?” tanya Samar memecah kebisuan. Tantri terus diam, tapi malah kian melarut dalam pelukan Samar. “Pelukanmu cukup hangat, kau berlatih berapa lama memeluk sebelum kita bertemu?” seru Tantri yang ditanggapi Samar dengan senyum tertahan.

“Saya cuman memotong rambut, kuku biar telihat bersih dan klimis,” jawab Samar, ”Jadi kamu langsung praktek atau hanya menggunakanku buat jadi kelinci pelukan percobaan, hah?” sergah Tantri disambut tawa mereka yang kembali memburai. Tapi seketika itu pula mereka kembali diam. Seolah tak sadar beberapa detik lalu mereka tertawa begitu lepas.

“Pasti saya ke Mandar.”
“Kapan.”
“Entah.”
“Sehari sebelum kiamat tetap dinanti.”

Pelukan Samar kian kencang. Tantri kian merelakan setiap sendi tubuhnya dilumat kehangatan pelukan Samar, seraya sesekali Samar mengecup dagu dan mata terkatup Tantri. Ciuman yang ganjil dan terasa menyengat. Didihkan getar aneh yang tiba-tiba muncul dan menjalar di tubuh Samar.

“Kau harum.”
“Oh.. itu perlu.”
“Kenapa perlu?”
“Kenapa pula harus bertanya?”
“Perlu resep.”
“Ha-ha-ha-ha-ha…”



Kail telah dibuang Samar. Tantri menyambar kail dengan senyum termanis. Mereka saling mereguk haru. Kini mereka telah menyatu dalam dekap. Tak ada lagi bahasa. Apakah mereka menikmatinya? Mereka hanya bisa terseyum. Indah. Tapi belum pasti kalau semuanya layak dikenang. Beberapa jam kedepan Samar kembali pada kenyataan. Meninggalkan bandara Juanda dan kembali ke Mandar.

Tantri pun akan kembali terlempar ke gerbong kereta nasib lalui tiap terminal kekecewaan yang kelak mengantarnya menuju kotanya yang teduh. Kendati sebelum berpisah Samar tak lupa mengecup dengan hangat tai lalat di pipi kanan Tantri cukup lama. Tantri meringis geli.



Sebuah kekeliruan jika melamar Tantri saat itu, tukas Samar dalam hati sebelum bergegas menuju pesawat. Kenapa harus melamar jika mahar semanis madu telah dicecap lewat kenangan maha indah di atas taxi yang tak pernah berhenti bergerak mengantar segenap harapan penumpangnya.
Suatu hari nanti dan itu adalah hari ini…

Yogyakarta – Mandar, 08.09.11

Catatan : Tafsir berbeda dari film “If Only”.

Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat di harian Radar Sulbar edisi, Sabtu 24 September 2011

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: