SETIAP kali melewati jalan desa ini, ada rasa berkecamuk yang selalu menghantui. Jalan penghubung antar desa ini bagi banyak orang mungkin tidak berarti apa-apa. Tetap tidak bagiku. Jalan ini selalu mengingatkanku pada sebuah kecelakaan naas yang membuatku kehilangan seseorang.
Tante Farah namanya. Adik ibu yang ditabrak pengendara motor yang tidak bertanggung jawab. Sosok yang selama ini banyak mengajarkanku perihal dapur setelah ibu hampir tak punya waktu untukku karena sibuk bekerja.
Kala itu Tante Farah kehilangan banyak darah karena tak seorang pun menolongnya dan ditinggal kabur oleh pengendara sepeda motor itu. Kala itu, waktu menunjukkan pukul 20.00 malam, gerimis, suasana begitu sepi.
Tante Farah yang bekerja sebagai penjual kue pasoq itu, pamit ke warung membeli bahan kue untuk jualannya besok pagi. Begitulah setiap pagi, Tante Farah setiap pagi akan tergpoh-gopoh menuju warung tetangga untuk menitipkan kue buatannya.
Ya, kue pasoq, kue tradisional yang bentuknya lancip serupa paku. Sebab itu pulalah mungkin, kue itu disebut sebagai kue pasoq. Kue yang terbuat dari tepung beras, diaduk adonan dengan gula aren cair, serta santan yang kemudian dimasukkan ke dalam cetakan dari daun pisang yang sudah dibentuk seperti topi ulang tahun.
Kue lantas dikukus di dalam panci yang sudah dipasangi penyangga yang biasanya dibikin dari batang pisang. Adonan itu jangan sampai penuh di dalam cetakan. Karena setelah adonan kue itu matang, kita mesti menuang santan kental ke atasnya.
“Jangan lupa ya, untuk menambah garam ke dalam santan agar rasanya kian mantap”, tutur Tante Farah suatu ketika kepadaku.
Begitulah cara Tante Farah menerangkannya padaku, kepadaku ia begitu menginginkanku piawai membuat kue, kendati ia juga tidak menginginkanku untuk menjadi penjual kue.
“Kamu harus pandai masak dan membuat kue, sebagai bekal pengetahuan dasar seorang perempuan”, ujar Tante Farah.
Tante Farah bagitu adalah perempuan yang mandiri. Sama seperti ibuku yang juga mampu dan bisa menafkahi anaknya tanpa seorang suami. Bapak pergi karena tidak tahan dengan segala kekurangan yang kami hadapi.
Segala masakan dan cara membuat kue diajarkannya padaku, mulai dari beragam jenis sayur, cara mengolah ikan, hingga gorengan pendamping lauk. Jenis kue pun beragam, mulai dari kue kering, kue basah, aneka roti dan bolu.
Kecakapan memasak dipelajari saat Tante Farah bekerja di sebuah restoran milik pengusaha kaya raya asal Padang. Selain memiliki banyak rumah makan Padang, Ia juga memiliki dua restoran besar di dua kota yaitu Jakarta dan Makassar tempat tante Farah bekerja selama lima tahun.
Namun karena Ibu tidak memiliki siapa-siapa lagi untuk dimintai tolong menjagaku yang kala itu masih kecil, akhirnya tante Farah diminta untuk pulang kampung.
Tante Farah tipe orang yang periang, dewasa, penyayang dan ulet dalam bekerja, bos tempatnya bekerja sangat menyayangkan keputusannya untuk berhenti. Di tempat itu saja, Ia diberi kepercayaan sebagai manager dan menghandle semua pekerjaan ketika bosnya tidak berada di tempat.
Berbekal pengalaman memasak, Tante Farah sering mendapat pesanan nasi kotak dari tetangga yang mengadakan syukuran atau acara keluarga lainnya. Saya selalu setia menjadi orang yang disuruh-suruh mengambil segala yang dibutuhkan atau paling tidak belanja ke pasar.
Semua Ia lakukan tanpa beban sedikitpun. Hingga saat ini aku tak pernah menyangka Tante Farah akan pergi secepat ini. Meninggalkan saya yang masih butuh sosok sepertinya, meninggalkan Ibu yang belum membalas semua kebaikannya. Ibu melanjutkan usaha Tante Farah dan berhenti bekerja. Selamat tinggal Tante Farah.