CERPENGAGASAN

Pilingan Tasbih Haji Kaco

BENAR saja. Ini cerita tentang Haji Kaco yang pagi ini duduk nelangsa dan serius melamun di barung-barung teras rumah panggungnya. Seraya menyeruput kopi ditemani dua potong balundake’ sisa barakka’ acara syukuran yang dihadiri tadi malam di rumah Kindo’ Tarmina. Sesungging senyum tampak mulai mereda di bibirnya. Ia membetulkan posisi kopiahnya yang sudah tampak mulai kusam di makan usai. Tasbihnya masih setia berpiling di tangannya. Tak ada jurus ampuh yang bisa menghentikan lamunannya. Mengalir begitu saja, seperti air bah sungai Mandar yang datang tiba-tiba membelah kota kecil Tinambung. Tak ada kekuatan yang mampu menghentikannya.

Haji Kaco tidak punya pilihan lain, selain memiling tasbih dan menatap daun pisang yang bergoyang ditimpa angin di depan rumahnya. Tentu saja ditemani lamunannya yang kian memanjang meriap dari hulu mencari muara yang tak kunjung sampai. Mulutnya sesekali terbuka lebar oleh kantuk yang menyerangnya. Pagi ini adalah pagi yang malas. Tak ada kucing yang meloncat di atas kamar mandi yang beratapkan rumbiah di samping rumahnya. Kucing yang dua hari lalu meloncat setelah diusir Haji Kaco sesaat setelah berhasil menggondol sepotong bau tappi’ yang dijemur istrinya di atas atap kamar mandinya.

Dua hari lalu yang maradang. Haji Kaco tak bisa berbuat banyak, sebab setelah kucing Kindo’ Tarmina, tetangganya itu berlari kencang dan menghilang ke belakang rumahnya menginjak daun sukun dan daun mangga kering yang berjatuhan oleh angin timur dan kemarau yang panjang. Haji Kaco hendak mengejar kucing sialan itu. Namun langkahnya terhenti. Ia sadar bukan salah kucing itu yang berhasil menggondol bau tappi’, tetapi dirinyalah yang gagal memegang kepercayaan istrinya untuk mengawasi bau tappi’ itu.

Sesuai rencana, bau tappi’ itu akan disantap bersama doayu bue kesenangannya. Namun nasib makan malamnya berkata lain. Makan malam Haji Kaco bersama istrinya terpaksa harus berakhir hanya bertemankan bau peapi dan doayu bue. Tanpa bau tappi’.

***

Sungguh. Cerita ini tidak sedang berupaya mundur ke dua hari yang lalu, tetapi ini adalah cerita tentang Haji Kaco yang gagal menjadi kepala desa di kampungnya. Hanya lantaran Haji Kaco ketahuan memiliki catatan buruk yang melekat kuat dalam memori warga kampungnya. Haji Kaco yang terpaksa pensiun atau tepatnya dipensiun dinikan dari jabatannya sebaga imam kampung. Lantaran ketahuan salah urus. Atau tepatnya keliru membagi daging hewan kurban.

Daging kurban yang semestinya akan diserahkan kepada Pua’ Uttar, namun oleh rasa iba dan kasihan, Haji Kaco justru memberikannya kepada Kindo’ Tarmina tetangga sebelah rumahnya yang baginya memang amat sangat layak untuk memperoleh jatah daging kurban. Pua’ Uttar yang dikenal peminum tuak dan sering membuat onar itu, akhirnya mengamuk. Oleh peristiwa itu, Haji Kaco turun pamor dan sebaliknya Pua’ Uttar kian naik daun dan popularitasnya semakin direkeng oleh warga kampung. Tak pelak lagi, oleh Pua’ Uttar, Haji Kaco diisukan bersekongkol dan membuat skenario bejat dengan Kindo Tarmina untuk mengalihkan jatah daging kurban yang semestinya menjadi bagiannya. Hasutan dilancarkan, sebagai bahagian dari amunisi dan taktik pembusukan politik terhadap Haji Kaco.

Warga kampung mulai terpedaya oleh hasutan meyakinkan Pua’ Uttar yang begitu piawai memainkan opini warga, bahkan tak sedikit warga kini telah mulai pula melupakan bahwa Pua’ Uttar adalah peminum tuak yang sering membuat kedamaian kampung mereka terusik. Dan oleh skenario Pua’ Uttar yang senyap, pelan dan terukur, Haji Kaco akhirnya kian terpuruk dan dipaksakan turun dari jabatannya sebagai Imam Kampung. Tetapi sebaliknya, Pua’ Uttar malah kian disenangi oleh warga kampung.

Tidak berhenti disitu, saat pemilihan kepala desapun Haji Kaco akhirnya dinyatakan gagal setelah perolehan suaranya kalah telak dengan Pua’ Uttar. Pua’ Uttar mendadak dieluk-elukkan sebagai orang baik yang diyakini akan membawa kebaikan. Mendapati kenyataan itu, Haji Kaco hanya diam dan bersabar. Dan pagi ini, Haji Kaco hanya bisa berdiam di atas teras rumah panggungnya. Bersama lamunannya yang mengular.

***

“Kegagalan ini sungguh manis. Kegagalan yang telah berhasil dengan gilang gemilang saudara-saudara,” sebut Haji Kaco dihadapan para pendukungnya sehari setelah dirinya dinyatakan kalah bertarung sebagai kepala desa dengan Pua’ Uttar.

“Ini adalah kegagalan yang baik hati dan mesti kita rayakan sebagai keberhasilan kita bersama untuk mampu menerima kegagalan. Kita tidak boleh membuat siasat bejat untuk menjatuhkan Pua’ Uttar. Apalagi tidak menerima Pua’ Uttar sebagai pemimpin kita di desa ini,” lanjut Haji Kaco, “bahkan kita tidak saja harus mendukung, namun kita juga wajib membantu Pua’ Uttar menjalankan semua program kerjanya di kampung kita ini”.

“Bagaimana jika program kerjanya mencelakai desa kita dan bahkan menguras habis kas desa untuk acara minum tuaknya?” tanya Samasu’ding, salah seorang pendukung Haji Kaco yang paling muda menginterupsi dan mengingatkan.

“Tidak untuk hal itu. Kita harus bersatu padu untuk kebaikan. Dan kewajiban kita salah satunya adalah membuat Pua’ Uttar sebagai kepala desa kita yang baru itu, menjadi orang baik yang akan serius mengurus kampung kita ini. Mengurus kita semua,” ucap Haji Kaco seraya memelintir tasbihnya.

“Kita harus meletakkan kepercayaan di pundak Pua’ Uttar, seraya mendoakannya agar kelak sukses mengurus kampung kita,” sebut Haji Kaco lagi, “bahwa kebaikan mungkin akan sedikit terlambat datangnya, namun ia akan tetap datang kalau doa kita serius dan dengan tulus kita layangkan untuk kebaikan Pua’ Uttar. Bukankah kebaikan Pua’ Uttar juga pelan akan menjadi kebaikan kita semua. Kebaikan kampung dan desa kita ini?”.

Menerima tuturan Haji Kaco yang santun dan berwibawah layaknya ketua partai politik itu walau minus aroma pencitraan, para pendukung Haji Kaco kemudian terdiam. Hingga akhirnya Kindo’ Tarmina yang juga menghadiri pertemuan di usai shalat isya itu, kemudian ikut angkat bicara.

“Maafkan saya Pak Haji, sungguh saya tidak menduga bahwa daging yang Pak Haji berikan kepada saya dulu itu, kini akan membuat nasib Pak Haji dan bahkan kampung kita seperti ini,” tutur Kindo’ Tarmina dalam nada penuh sesal. “Saya sungguh menyesal memaksakan kehendak saya yang menghiba untuk mendapatkan jatah daging kurban kala itu. Hingga akhirnya kini, kita terpaksa menerima Pua’ Uttar sebagai kepala desa. Saya sungguh bodoh dan salah Pak Haji. Maafkan saya”.

***

Pagi ini adalah pagi yang malas. Haji Kaco sungguh mengantuk. Mulutnya sesekali terbuka lebar oleh kantuk yang menyerangnya. Tapi Haji Kaco harus berhasil menggagalkan kantuknya agar tidak ambruk di barung-barung tempatnya kini duduk dan melamun. Ia kembali menyeruput sisa kopinya hingga tandas. Dan kembali membatin dalam lamunannya, “betul memang, ada banyak orang menangis setelah dirinya lupa cara tertawa. Namun saya tidak hanya harus ingat cara tertawa, tetapi juga harus pandai tertawa pada momentum yang semestinya saya harus menangis”.

Demikianlah, kini Haji Kaco hanya menginginkan satu hal dalam hidupnya. Menjadi orang baik yang pandai tertawa. Titik. Haji Kaco sungguh takut kembali menjadi Imam Kampung. Juga mencalonkan diri sebagai kepala desa. Apalagi kembali menjadi pembagi daging hewan kurban saat hari raya. Karena dirinya sungguh tak ingin kembali salah membagi. Seperti yang dilakukannya saat membagi daging hewan kurban kepada Kindo’ Tarmina tempo hari.

***

Sial. Haji Kaco ambruk dan tak kuat melawan. Ia menyerah kepada kantuknya. Bersama lamunannya, Ia tertidur di atas barung-barung teras rumahnya. Pagi menjelang siang, ditemani angin yang menggoyang daun pisang di depan rumahnya, juga menerpa sarung palekat yang dikenakannya. Haji Kaco sungguh pulas. Disisinya sisa kopi dalam gelas dan potongan balundake’ tampak mulai dilaleri lalat. Di tangan Haji Kaco tasbih berhenti berpiling. Mungkin dalam dengkurnya, Haji Kaco masih setia berdzikir.

Tinambung, 20 – 24 Oktober 2015


Catatan:
Barung-barung : Amben terbuat dari bambu
Balundake’ : Makanan khas Mandar terbuat dari ketan pulut dimasak bersama santan
Barakka’ : Bingkisan yang dibagikan kepada para tamu oleh tuan rumah pemilik hajat atau syukuran
Bau Tappi’ : Ikan laut yang dibelah dan diasinkan setelah dibaluri bumbu lada, cabe dan garam
Tinambung : Kecamatan di Polewali Mandar yang dibelah dan merupakan muara sungai Mandar
Doayu Bue : Sayur khas Mandar terbuat dari kacang hijau direbus bersama santan
Bau Peapi : Masakan ikan khas Mandar dimasak bersama kunyit dan asaman erasan mangga kering
Kindo’ : Ibu
Pua’ : Bapak

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: