CERPENGAGASAN

Tentang Yerusalem, Kateng dan Ajeng

HUJAN makin deras. Tidak ada indikasi bakal reda. Langit semakin gelap. Jalan jadi lengang. Hanya satu dua kendaraan yang mau berkompromi dengan hujan yang sedemikian derasnya itu. Air tergenang di atas jalan. Lama-lama genangannya akan semakin bervolume. Kalau hujan tak kunjung henti. Bukan mustahil banjir pun terjadi. Di teras bangunan yang berada di pinggir jalan beberapa orang berteduh di sana. Menunggu hujan menghentikan segala amarahnya yang meluap-luap.

Di dalam kafe sama sepinya, hanya ada beberapa pasang kekasih yang memanfaatkan momen hujan yang dinginnya menusuk tulang, untuk saling menunjukkan keromantisan. Salah satu dari pasangan itu adalah Kateng dan Ajeng. Hampir satu jam mereka terkurung dalam kafe itu. Hujan yang mereka tunggu redahya, masih awet. Makanan mereka sudah tandas, tersisa kopi yang mulai mendingin. Itu pun tinggal seperempat gelas lagi. Sedangkan obrolan mereka masih panjang, sama panjangnya dengan hujan yang turun belum jelas titik endingnya sampai di mana.

Kateng selalu mengaitkan datangnya cuaca buruk beberapa hari terakhir ini. Sebagai karma atas ucapan busuk si Kakek tua itu. Apa hubungannya klaim Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel dengan hujan yang melanda beberapa wilayah di Indonesia? Rasa-rasanya Kateng mengada-ada. Bisa saja ia mengaitkan semua itu lantaran efek emosinya yang tersulut, dibuat meradang dengan pernyataan si Kakek Tua nan peot itu.

Bukan hanya Kateng dan pihak muslim yang mengecam keras. Tapi pemimpin-pemimpin dari berbagai negara yang notabene bukan negara muslim pun mengutuk pernyataan si Kakek Tua itu. Sudah tidak bisa diloterir lagi. Jelas-jelas bertentangan dengan resolusi PBB.

Adanya pernyataan yang keluar dari mulut kurang ajar si Kakek Tua itu, mengindikasin bahwa Negeri Paman Sam bukan lagi sebagai mediator perdamaian Israel-Palestina. Lebih dari itu, Paman Sam mempertegas dirinya sebagai negara yang berpihak sepenuhnya pada Israel. Tidak berlebihan jika Hamas dibuat meradang. Menganggap pernyataan si Kakek tua itu  telah membuka gerbang neraka. Menambah panjang kekisruhan polemik timur tengah, kususnya Israel-Palestina. Yang ditakutkan apabila kondisi itu dibiarkan begitu saja. Maka bukan tidak mungkin pertikaian hebat pun terjadi.

Wajar umat Islam seantero dunia meradang. Walau bagaimana pun Yerusalem adalah kota yang disucikan. Bersama kota Mekah kelahiran Muhammad. Dan Madina, kota hijrahnya Muhammad. Adapun Yerusalem di sana ada Baitul Maqdis, kiblat pertama umat Islam. Tempat yang disinggahi Muhammad pada saat peristiwa Isra Mikraj. Sebuah kota yang banyak di jejaki para nabi-nabi terdahulu, nabi yang diimani oleh umat Islam. Kisahnya diabadikan dalam Quran.

Yerusalem pun sebagai bukti keperkasaan Umar bin Khattab beserta bala tentaranya yang membuat pasukan Romawi tak berkutik. Dan, peristiwa itu menjadi cikal bakal umat Islam menginjakkan kakinya di bumi para nabi itu. Penyerangan-penyerangan terus berlanjut silih berganti kaum kafir menduduki dan mengklaim Yerusalem adalah miliknya. Perang salib menjadi catatan kelam. Hingga Sultan Salahuddin Al-Ayyubi berhasil menaklukkan kembali kota suci itu.

Sejarah juga mencatat Yerusalem pernah direbut oleh bangsa Tatar. Tidak berselang lama kota suci kembali dalam genggaman umat Islam. Waktu terus bergulir negara barat tak bisa menahan dirinya untuk mengintervensi polemik Yerusalem. Hingga Yahudi mengklaim Yerusalem adalah ibu kota Israel. Sekalipun tak mendapat pengakuan dari dunia internasional.

Beberapa hari yang lalu, Si Kakek Tua itu berkoar-koar di atas podium. Terang-terangan mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Banyak orang dibuat meradang. Menyayangkan pernyataan  si Kakek Tua itu.

“Apakah umat Islam hanya akan diam? Gaza sudah luluh lantak di banjiri air mata darah. Berapa banyak orang tak berdosa dibunuh secara kejam? Sekarang giliran Yerusalem akan diinjak-injak kaki serakah mereka. Sekarang giliran Masjdil Aqsa akan mereka kencingi. Masih adakah alasan umat Islam untuk bungkam?” Tegas Kateng pada Ajeng. Ia amat mengutuk pernyataan si Kakek Tua itu. Ajeng tak tinggal diam, ia pun menanggapi perkataan kekasihnya itu.

“Dan masih banyak rakyat Indonesia terpuruk. Kemiskinan merajalela, berapa banyak anak-anak dijangkiti busung lapar. Anak-anak putus sekolah, pengangguran di mana-mana. Penyakit difteri kian ganas. Tatkala rakyat butuh penanganan kesehatan. Di provinsi sana belasan dokter spesialis mengundurkan diri ketidak becusan kepemimpinan rumah sakit itu. Saat di tanah Jawa gencar-gencarnya membangun proyek megah menghabiskan dana milyaran rupiah. Di pelosok negeri masih gelap gulita tak ada listrik. Singkatnya bukan hanya tanah Palestina yang berkabung duka dan membutuhkan uluran tangan ini hari. Sejatinya saudara-saudara kita sebangsa setanah air juga berharap perhatian lebih,” jelas Ajeng. Yang mulai muak di suguhi emosi Kateng yang bersimpati berat pada keadaan Palestina.

Beberapa hari ini Ajeng memang sering diperdengarkan tentang Yerusalem oleh Kateng. Baik saat mereka telponan atau chatting. Selalu Yerusalem yang dibahas Kateng tak ada ujungnya hingga hari ini. Bagi Ajeng, Kateng sudah berubah, romantisnya hilang. Sejak si Kakek Tua itu memberikan pernyataan tentang Yerusalem adalah ibu kota Israel. Yang paling fatal  Kateng tidak ada lagi menyinggung untuk secepatnya menghalalkan Ajeng.

Bukan Ajeng tidak menginginkan Kateng mendukung Palestina, hanya saja Ajeng tidak ingin Kateng terlalu berlebihan. Berkoar-koar ke sana kemari tentang Palestina butuh uluran tangan. Sedang kita abai pada ketimpangan di sekeliling kita sendiri. Di media sosial  banyak orang berlomba-lomba menunjukkan simpatinya pada rakyat Palestina. Namun buta pada keadaan saudara sebangsa sendiri. Ajeng ingin porsi perhatian Kateng pada Palestina sama dengan perhatiaannya pada rakyat di negara sendiri. Tapi harapan Ajeng sirna. Ironisnya Kateng kurang peduli pada ketimpangan di sekelilingnya.

“Persoalan Yerusalem bukan hanya persoalan negara tapi ini menyangkut harga diri kita sebagai umat islam…”

“Persoalan ketimpangan yang terjadi di negeri kita apakah tidak menyangkut harga diri kita sebagai rakyat yang sebangsa dan setanah air?” Ucap Ajeng tegas dan keras. Pengunjung kafe yang lain memerhatikan Ajeng. Menyadari dirinya menjadi pusat perhatian. Ajeng mengontrol emosinya yang sudah terlanjur meluap. Ia menyingkirkan anak rambutnya yang mengganggu wajahnya. Ia pun menyuruput kopinya untuk menenangkan perasaannya.

“Kamu tidak suka kalau saya bersimpati pada Palestina?” Tanya Kateng datar. Suaranya hampir tak tertangkap oleh Ajeng. Lantaran suara hujan jauh lebih besar.

“Kamu bersimpati saya pun begitu.”

“Tampaknya kamu tidak suka,”

“Itu karena kamu berlebihan,”

“Berlebihan bagaimana? Saya kira itu wajar. Kamunya saja yang terlalu berlebihan menanggapi,”

“Kenapa tidak sekalian ke Palestina saja? Kalau berkoar-koar di sini dan di media sosial nggak ada gunanya. Jangan hanya simpati di bibir saja tapi tindakan yang perlu,”

“Kok kamu bilang begitu?”

“Kenapa? Kamu marah?” Mata Ajeng melotot.

“Harusnya kita sama-sama pendukung Palestina dari kebingasan mereka.”

“Masing-masing kita punya cara,”

“Makanya dari itu maklumi saya.”

“Kamu terlalu berlebihan,”

“Apa karena saya tidak pernah menyinggung hubungan kita lagi?”

“Iya. Kalau kamu berkenan, hubungan kita diakhiri saja sekarang,” Ajeng memukul meja. Lalu keluar dari kafe. Kateng tidak ingat apa-apa lagi. Bergegas mengejar Ajeng. Melakukan pembayaran pun tidak. Di luar hujan semakin deras. Kateng selalu mengaitkan hujan ini adalah karma dari ucapan busuk si Kakek Tua itu.

Rupanya Ajeng berhenti di teras kafe. Memandangi air yang tumpah dari langit. Ia  tidak berani berkompromi dengan hujan deras. Langit makin gelap. Benar saja jalan sudah diselimuti air. Orang-orang yang berteduh di teras bangunan di pinggir jalan, wajahnya kian resah, hujan yang ia tunggu redahnya belum memberikan kepastian.

Kateng menarik punggung Ajeng. Ajeng masih menunjukkan muka tak sedap di pandang. Ia ngambeg. Tak peduli lagi berapa banyak pasang mata yang menyaksikan mereka di teras kafe itu. Kateng menarik Ajeng lalu mendekap erat tubuhnya. “Demi Yerusalem kota nan suci. Aku mencintaimu dengan sungguh. Dan, aku tidak ingin karena Yerusalem hubungan kita berakhir,” tegas Kateng pada Ajeng.(**)


MAWAN SASTRA aktif sebagai penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen dan puisi diberbagai media termasuk di media sosial dan blog

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: