Manusia, Kodok dan Politik
MANUSIA tidak saja memiliki kebudayaan, tetapi juga memiliki sejarah. Maka seorang penulis yang baik adalah penulis yang memahami bahwa setiap wajah yang ia temui dalam kehidupannya memiliki sejarahnya sendiri, karenanya ia tidak akan menempatkan manusia disekitarnya sekedar sebagai makhluk, tetapi ia akan menempatkanya sebagai sebuah rangkaian sejarah panjang yang penting untuk diulik, dibedah dan digali untuk kemudian disepuh menjadi semacam tulisan yang laik baca. Karena setiap manusia memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.
Menulis manusia, tentu saja dimaksudkan agar manusia yang membacanya memahaminya sebagai manusia lainnya tidak hanya sekedar ketetapan dan ketentuan kemanusiaannya yang secara kebetulan dilahirkan sebagai manusia. Tidak dicetak sebagai kodok, tiang listrik, bau tappi’ atau bau peapi, apalagi batu.
Nah, di dalam sejarahnya itulah, manusia memiliki kecederungan kemanusiaannya, ia bisa melengkapi dirinya dengan jatuh cinta atau jatuh hati, juga patah hati, dan bahkan bisa makan hati atas iklim kenyataan yang melingkarinya. Manusia bisa dipahami dalam kacamata antropologis, tetapi juga bisa dipahami dalam kacamata sosiologis historis dan lain sebagainya.
Sampai dititik ini seorang penulis mutlak memiliki ketajaman dan kemampuan untuk merenungi kehidupan. Selain itu tentu saja juga meniscayakan dirinya untuk dengan cermat memiliki kemampuan untuk membaca setiap gejala dan penomena termasuk nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada setiap manusia. Demikianlah manusia tak bolehlah ditempatkan hanya sekedar data statistik, apalagi kalkulasi angka yang matematik untuk dihitung-hitung sebagai objek kuasa kepentingan politis sesaat yang serba instan dan pragmatis.
Pertanyaan berikutnya adalah, adakah politik kita hari ini juga menempatkan dan memahami manusia dalam berbagai spektrum semacam itu. Adakah politik kita hari ini tidak hanya menempatkan manusia sebagai barang dagangan belaka. Yah, manusia yang hanya dipinjam kelingkingnya untuk dicat dengan warna tinta bagi penegas tabiat kerakusan kekuasaan kita.
Jika begini adanya, maka politisi yang juga adalah manusia itu, sebaiknya, jika tidak seharusnya, juga menempatkan manusia dalam kerangka beragam spektrum, ia mesti dipandang sebagai saudara se-ordo dan se-makhluk-nya yang idealnya juga dimanusiakan, tidak dipertukarkan dan dibeli dengan harga yang akan menginjak-injak nilai-nilai kemunusiaannya.
Sebaliknya, kita yang tak secara kebetulan menjadi manusia ini, dan dipercaya Tuhan menjadi pemegang kedaulatan ini tidaklah dengan gampang membanting harga yang akan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan kita tak lebih sebagai kodok, tiang listrik, bau tappi’ atau bau peapi, apalagi batu.
Demikianlah semoga setiap event pemilu, tidak hanya sekedar menjadi momentum bagi kita untuk memutus retaskan buhul sosial kemanusiaan kita. Sehingga pada setiap kenduri politik kita, apapun levelnya, tak lalu berakhir menjadi pesta kebengalan, kebejatan yang menyeruakkan aroma busuk kita. Sebagai politisi busuk, pun pemilih busuk.
Dan kelak, biarlah nasib kita sebagai warga sebuah negara dan bangsa yang besar ini tidak berakhir menjadi kodok yang galau, kecele dan patah hati tergilas oleh kesalahan kita memahami diri kita sebagai manusia.