KOLOMMS TAJUDDIN

Kaco, Embikan Kambing dan Simulakra

KACO sungguh pusing bukan alang kepalang, saat itu adzan mangari’ sudah bergema di musallah yang tak begitu jauh dari rumahnya. Tetapi bukan soal politik uang, atau berita hoax dan debat para calon pemimpin. Bukan pula soal pengadaan surat suara dan kotak suara apalagi kotak pandora yang berisi uang yang akan menyelamatkan masa depannya bersama anak cucu tujuh turunannya kebawah.

Tetapi kepusingan Kaco kali ini, tampaknya berkaitan erat dengan suara embikan kambing dari bawah kolong rumahya yang sudah berteriak-teriak hendak dikasih makan. Sedang malam telah menjemput.

Cicci, istri Kaco satu-satunyapun telah berteriak lantang dari bawah sumur rumahnya seusai wudhu meminta Kaco agar tak tuli mendengar embikan kambing miliknya yang telah berteriak-teriak itu.



Genap sudah kepusingan Kaco, tersebab teriakan Cicci tak kunjung kalah kencangnya dengan embikan kambingnya. Belum lagi ditambah dengan kagaulannya soal pilihan-pilihan politiknya, hendak dijatuhkan kemana saat pemilihan kapala banua yang sebentar lagi akan digelar dikappunna.

Adakah Kaco akan memilih sosok yang begitu kencang berteriak serupa kambingnya, ataukah akan memilih sosok yang teriakannya serupa Cicci yang volume pekikannya jauh melebihi embikan kambingnya itu.

Dan ditengah kegalauannya itu, imajinasi Kaco mendadak berkelana ke soal ketatanegaraan, juga soal-soal konstitusi dan filsafat yang belakangan membuat ia menjadi kebingungan dengan pikiran dan imajinasinya yang cenderung simulakra berpotensi sebagai kebohongan pikiran yang manipulatif.

Sebagimana yang pernah disetir oleh Jean Paul Baudrillard yang berkutat pada teori sosial postmodern dan menyatakan, suatu kebohongan berupa tanda, atau image yang dibangun seseorang yang memiliki sifat pada kontennya yang jauh dari realitas asli orang tersebut.

Yah, dunia yang ditandai dengan simulatif. Keaslian dan dunia kultural yang cepat lenyap itu membuat Baudrillard cenderung lebih menyukai pesona dunia. Tetapi, dunia simulasi adalah hilangnya pesona secara mutlak dan bahkan memalukan.



Ah, Kaco sungguh kebingungan dengan pikirannya sendiri, dan rasa-rasaya pilihannya untuk menjadi pujangga yang filosof tampaknya harus berhenti. Karena jangankan merenungi teori simulakra dan soal-soal konstitusi, postmoderen serta pilihan politik ditengah musim pemilihan saja ia telah cukup bingung.

Bahkan lebih jauh dari itu, untuk memikirkan dan mengalihkan kebingungannya dari embikan kambingnya saja yang lupa dicarikan makanan di gunung sebelah rumahnya saja, dirinya telah cukup stres. Atau bahkan bawelnya Cicci juga tak cukup bisa menjadikannya sebagai pemenang yang bisa dengan santai keluar dari problem-problem hidup yang baginya sungguh tidak remeh.

Dan kesimpulan akhirnya, jelang malam itu, Kaco memilih menyusul istrinya mengambil air wudhu, dan bersegera melaksanakan shalat berjamaah dengan Cicci. Yang baginya, selain sebagai kaharusan dari kewajiban dan kebutuhan menghambaanya, tampaknya juga akan dijadikan medium untuk melatih tingkat fokusin dan kekhusyu-aannya. Bagaimana ia mampu melaksanakan sholat ditengah suara embikan kambing yang memekik-mekik minta diberi makan.

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: