KOLOM

Hutang Dalam Hati

Fatsun Politik Kanne Baca

GEMPA bumi melanda Sulawesi Barat pada 14 dan 15 Januari lalu. Gempa yang bermagnitudo 5,9 dan 6,2 memporak porandakan sebagian wilayah Majene dan Kota Mamuju. Bangunan-bangunan megah milik pemerintah rubuh seketika. Tak terkecuali bangunan vital lainnya, seperti rumah sakit, sekolah, dan hotel-hotel besar.

Di tanah santri, seperti biasanya barung-barung (bale-bale bambu) adalah tempat mengobrol, berdiskusi dan berdebat terkait kabar berita dan issue-issue aktual. Tak terkecuali pasca gempa itu, barung-barung kembali diisi dengan perbincangan hangat terkait gempa.

Mulai dari nostalgia gempa tahun 1967 yang memaksa sebagian warga tanah santri mengungsi ke beberapa daerah. Hingga cerita, soal susahnya penghidupan pasca gempa itu. Saking sulitnya, konon untuk makan saja anak-anak harus mengumpulkan ka’lappang (biji mangga) untuk diolah menjadi campuran beras untuk kemudian dimasak.

Selain bernostalgia, obrolan lain yang muncul dan lebih spekulatif pun bermunculan. Termasuk anggapan yang mencoba mengkaitkan gempa bumi dengan perilaku manusia. Soal kerusakan lingkungan karena tangan-tangan serakah manusia. Bahkan sesekali obrolan itu juga mengutip ayat-ayat Al-Quran.

Pada kesempatan lain, obrolan malah mengaitkan bencana dengan para pemimpin politik yang acapkali hanya bisa mengumbar janji dalam kampanye, namun lupa menunaikannya. Mereka menuduh, gempa terjadi karena janji-janji politik para politisi yang tak kunjung ditunaikan. Akhirnya alam ini menegur dengan bencana.

Mendengar obrolan yang sengit dan mulai panas itu, Kanne Baca menyela dan menyampaikan satu kisah seorang ibu tua yang sangat takut pada janjinya. Tujuannya tentu saja untuk mendinginkan suasana obrolan yang mulai memanas kala itu.

Kanne Baca, membuka ceritanya dengan tawa khasnya, lalu bertutur;

Dulu, setelah pulang dari panyingkiran (pengungsian). Tiba tiba seorang ibu tua meminta anaknya untuk segera membuat kolak pisang. Saat itu juga.

Tak pelak, anaknya yang hatinya masih diliputi ketakutan karena berada dalam suasana yang semrawut sepulang dari pengungsian itupun kebingungan, dan lalu mempertanyakan maksud dari keinginan ibunya itu.

“Ibu, kenapa harus sekarang bikin kolaknya?”.

Ibunya menjawab, “mumpung saya sedang mengingatnya takut saya lupa lagi nanti”.

“Memangnya kenapa ibu?” sang anak menimpali.

“Kanne Baca pernah kesini sebelum gempa dan mencari kolak pisang. Saat itu kolaknya sudah habis, waktu itu saya bilang dalam hati, akan membuatkannya nanti. Saya merasa berhutang. Karena dalam hati, saya sudah terlanjur berjanji akan membuatkannya kolak”.

Anaknya yang sok itu, kemudian menyarankan, “kenapa mesti takut dengan janji yang hanya terbetik di dalam hati ibu. Bukankah, Kanne Baca juga tidak tahu kalau ibu berjanji akan membuatkannya kolak pisang?”.

“Iya, tapi Tuhan tahu apa yang ada di dalam hati saya”, jawab Ibunya.

Mendengar cerita yang dikisahkan Kanne Baca di barung-barung itu, obrolan mereka seketika terhenti dan berganti hening.

Tetapi Kanne Baca kembali meneruskannya, “dulu janji dalam hati saja menjadi hutang yang harus ditunaikan, apatalagi, jika janji-janji itu diumbar teriakkan melalui pengeras suara, TV dan radio serta di akun-akun media sosial para pendukung”.

Kanne baca menutup obrolannya. Mereka yang di barung-barung itu terperangah.

Mari kita pulang, kopi sudah dingin di rumah!

Pambusuang, 03-03-2021

BRO CHIKO

Penikmat Kopi Hangat dan Dingin juga Boleh

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: