Mall dan Lelucon yang Tak Lucu
PERNAKAH anda dikirimi video viral mementum peresmian dibukanya Mall itu. Video pendek yang mungkin sedang dimaksudkan hendak menayangkan kelucuan yang menggelikan tatkala begitu banyak orang yang sedang antri untuk belajar menaiki tangga skalator.
Ya, video yang semoga dan insya Allah tidak direkam pula ditonton oleh kita yang sedang belajar menutup mata untuk membaca dengan jernih diri kita yang sebenarnya juga lucu pula menggelikan. Kita sebenarnya lucu dan menggelikan tersebab kita tidak sadar bahwa yang sedang kita tonton dan atau yang kita rekam itu bukanlah kelucuan yang mesti ditertawakan.
Sebab apapun yang baru bagi setiap makhluk, sejatinya juga akan dipelajari, dicoba dan dieksprementasikan agar paham, khatam dan paham juga pasih. Dan begitulah makhluk, selalu memiliki kecenderungan untuk mencoba dan mempelajari sesuatu yang baru. Demikian pula bagi pembelajar menaiki eskalator itu adalah upaya untuk menegaskan hakikat kemakhlukannya yang tunduk dan patuh pada kesejatiannya untuk mengolah kebaruan dan mempelajari apa yang tidak atau belum dimengerti dan dipahami secara baik.
Saya tidak sedang membela siapa-siapa, tidak sedang membela pembelajar skalator itu, tetapi juga tidak sedang membela perekam dan penonton video itu. Bahkan tidak sedang membela diri sebagai penulis catatan yang tidak akan pernah penting ini. Juga tidak sedang membela penjelasan penting tidak tidaknya tulisan ini dituliskan.
Yang hendak saya katakan, dalam tulisan ini adalah, betulkan kita telah membutuhkan sebuah mall untuk menegaskan diri kita sebagai makluk moderen, atau adakah mall telah kita butuhkan sebagai penjelasan bahwa sungguh tidak lagi ada ruang merefresh kesuntukan kita. Kesuntukan kita pada ruang hidup yang tidak lagi menawarkan ruang refreshing, setelah semua ruang dijejali dengan pembangunan gedung dan bangunan yang menghimpit wilayah bermain kita di peradaban yang luar bisa anehnya ini.
Mall adalah prestasi pembangunan yang berorientasikan ekonomi dengan mendalilkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan sebagai jurus utamanya. Dan kita terhipnotis olehnya, sedang di ruang lain, para pedagang kita akan tersaruk-saruk nasibnya sekedar untuk mencari para pembeli yang enggan lagi masuk ke dalam pasar tradisional tempat kita menghamparkan tikar menjajakan dagangan.
Alasan klisenya, di pasar tradisional itu tidak ada air conditioner yang menyebarkan kewangian dan kedinginan yang sriwing-sriwing. Selain jalan becek dan berkubang tatkala hujan datang mengguyur. Tak ada pelayan yang wangi berseragam apik dan murah senyum melemparkan ketulusan yang mesti diteliti palsu atau genuine. Ditambah kesemrawutan lalu lintas kendaraan dan parkir yang luar biasa kacaunya.
Dan mall tampil sebagai antitesa itu. Mall dihadirkan sebagai petunjuk nyata kemoderenan kita. Juga sebagai simbol kedahsyatan tata kelola manajemen perekonomian kita. Dan skalatator adalah sub sistem paling kecil dari sarana standar sebuah mall. Dan karenanya kita melucu dengan kegelian pada kita yang tengah belajar mengakrabi komederenan kita, seraya bergerak maju melangkah meninggalkan laku tradisional kita entah primitif ataukah sudah moderen.
Tapi sudahlah, siapa sih yang lahir bertumbuh dan langsung paham cara menaiki skalator, saya dan anda para pembaca yang budiman adalah sama manusia pembelajar yang mestinya tak mentertawakan kelucuan kita dalam merespon kebaruan itu.
Walau rasanya juga tak salah jika itu kita anggap kelucuan yang menggelikan, tersebab demikianlah hukumnya, tragedi juga adalah komedi. Namun saya, yang juga awalnya adalah pembelajar skalator juga adalah manusia lumrah yang lahir dan besar bertumbuh dalam kedunguan dan sekaligus kelucuan. Tersebab satu kaki saya sedang belajar melangkah dan menapakkan kaki pada dunia kemoderenan. Sedang satu kaki sisanya juga masih tetap kokoh berpijak dan tertinggal pada ruang primitif dan atau tradisional.
Dan sungguh, kini saya dan mungkin juga anda, tengah memasuki pusaran kelucuan dan kegelian yang jika dihayat-hayati justru harus membanggakan. Dan dengan hebat, bersiap untuk merayakan keberadaan kita sebagai makluk primitif, jika iya. Atauk makluk tradisional yang berani berteriak lantang, saya hebat karena saya primitif dan tradisional. Dan karena itu saya wajib belajar menaiki skalator sebagai kebudayaan dan sejarah baru peradaban saya.