Pammase Ini, Bernama Lita’ Mandar

MANDAR banyak dipahami sebagai sebuah etnik yang memiliki peradaban sekaligus keunikan. Karenanya membuat saya dan mungkin anda, yang boleh jadi juga adalah orang Mandar akan merasa bangga sekaligus tidak pernah sukses sekedar untuk menghentikan kekaguman kita pada Mandar. Tidak hanya sekedar sebuah identitas kultural, tetapi juga nilai yang memandu sikap hidup manusia Mandar.
Bahkan Mandar juga diklaim memiliki kekayaan alam yang luar biasa dengan potensi tambang yang kalau tergali dengan kerakusan boleh jadi akan menjadi luar biasa kedahsyatannya dalam membinasakan. Dan dalam waktu yang bersamaan, tak begitu jauh di dalam lambung lita’ Mandar juga menyimpan sejumlah misteri, bahkan ancaman ketakutan pada gurat garis sesar aktif yang juga memiliki potensi luar biasa melipat kerutkan bumi bahkan menyedot segenap yang ada di atas permukaan lita’ Mandar.
Belum lagi gurat senyum manusia Mandar yang juga luar biasa ikhlasnya dalam menebar kebaikan kepada makhluk dan semesta. Kebaikan dan ketulusan yang tidak saja simbolik, tetapi kebaikan yang memang berangkat dari kedalaman ruhaniah manusia Mandar yang mensyaratkan dirinya untuk selalu baik dan benar.
Manusia Mandar, sependek pengetahuan penulis, selain digambarkan sebagai air atau sungai juga adalah mereka yang selalu menempatkan dirinya sebagai uai marandang tempat bercermin diri bagi orang yang ada disekitarnya.
Artinya orang Mandar sejati adalah ia yang sangat mampu menempatkan dirinya sebagai kembaran kebaikan yang lebih maksimal dari kebaikan standar orang lain kepadanya. Tetapi sebagai cermin diri, juga dalam waktu yang bersamaan manusia Mandar juga memiliki potensi luar biasa untuk menjadi kanene’ lappio pada mereka yang datang kepadanya sebagai puarang.
Demikianlah Mandar tidak boleh berhenti dipahami sebagai identitas kultural semata, tetapi lebih jauh, ia adalah kompilasi dari nilai-nilai kebaikan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh leluhur manusia Mandar. Maka, sudahlah, saatnya kini Mandar tidak hanya kita dekati dalam defenisi manusia, alam atau daerah, bahkan dikunci dalam kotak-kotak kategorisasi etnisitas.
Karena membenturkan dan mengunci kaku pemahaman atas Mandar dalam kategorisasi adalah upaya mengkerdilkannya. Bukankah Mandar adalah sebuah konfigurasi, dialektika, tatanan yang tak kenal rumus mapan. Mandar juga adalah kebesaran yang tak membesarkan dan dibesarkan? Sebagai nilai atau value Mandar adalah sebuah panduan yang tak sekedar falsafi, tetapi juga sufistik dan karenanya acapkali metafisis.
Dalam posisi kesejatian itu, Mandar dalam menerima dan mendapatkan bencana dan petaka dalam kehidupannya tidak lantas akan membuatnya menangis sesunggukan di hadapan banyak orang, tetapi ia akan menyimpan rapat kerapuhannya itu dalam hatinya. Lalu akan berdialog dengan suara batinnya sendiri, kemudian mengambil kuda-kuda yang terbaik untuk bersikap baik kepada semesta. Kebaikan atas penerimaan atas apapun bentuk pemberian yang diberikan Pungallahu Ta’ala kepadanya.
Ia memahami betul, bahwa tidak ada kuda-kuda dan sikap serta posisi terbaik, selain memosisikan dirinya sebagai to riator, to riparenta, anna tori bere siola tori annai pa’mai. Dan pa’mai, bere, parenta anna pa’ator semata dari Pungallahu Ta’ala. Tidak ada yang boleh merasa ada selaian yang Maha Ada.
Tidak terkecuali, bonus kekayaan alam yang juga terkandung di dalamnya misteri ketakutan yang luar biasa itu juga adalah bahagian dari pa’ator anna pa’anna na Pungallahu Ta’ala dan karenanya, harus diakrabi, dibersamai dan dipahami sebagai bahagian dari keluarbiasaan yang Maha Luar Biasa bagi manusia Mandar. Di tengah kenyataan itu, kreatifitas dan kecerdasan menjadi amatlah penting artinya.
Dan rasanya itu betul yang diajarkan oleh alam Mandar bahwa, dalam merespon pammase lita’ anna banua yang di dalamnya memuat kandungan potensi petaka yang dalam bahasa manusia millenial generasi ‘tiktok’ adalah ketakutan, akan segera bermetamorfosis menjadi potensi sekaligus momentum baik untuk menjelaskan bahwa kita, sebagai manusia Mandar yang harusnya cerdas pula kreatif dalam memperlakukan alam Mandar sebagai kesunyataan.
Pilihannya adalah, bersahabat dengan alam dan berlaku baik pada alam Mandar. Bukankah leluhur kita dulu telah mengajari kita dengan kecerdasannyam bahwa untuk membangun rumah, seharusnya berjarak dengan bumi agar dibawahnya ada ruang bagi makhluk lain untuk juga menumpang hidup, dan tinggi rumah tidak pula boleh tinggi sekali, karena ketinggian juga adalah kerendahan? Dan yang paling pas untuk tinggi dan ditinggikan adalah yang Maha Tinggi.
Sementara bahan untuk pembuatan rumah, idealnya juga diambil dari alam sekitar kita, sehingga kita bisa mengambil dari alam untuk kemudian juga untuk alam. Dan pilihan bahannya adalah, kayu sebagaimana leluhur kita dulu mengajari kita untuk membuat bangunan rumah yang berbentuk rumah panggung dengan menggunakan bahan kayu yang nyata berasal dari alam.
Belum lagi ajaran leluhur kita yang juga mengajari kita untuk memperlakukan alam semesta sebagai makhluk yang selain harus diajak berbicara, juga harus sekali waktu, pada momentum-momentum tertentu harus kita ajak makan dan diberi persembahan kebaikan kepadanya.
Sebagai imbal dan balasan dari kebaikan alam kepada kehidupan kita. Sehingga pun toh, jika alam Mandar hendak atau harus menumpahkan kemarahannya atas tabiat dan perlakuan juga perilaku kita, Dia dan alam Mandar tidak akan sampai hati untuk murka kepada kita. Dan yah, begitulah barangkali.