ABDUL MUTTALIBKOLOM

Lelaki Pemanggul Karung

LELAKI paru baya itu tidak lagi mengenal namanya, atau nama mungkin tidak lagi penting baginya, meski orang-orang di kota kami mulai terbiasa memanggilnya; lelaki pemanggul karung.

Tiap hari, ia terbiasa sibuk mengemasi barang-barang bekas ke dalam karung. Layaknya kesibukan mengemasi terik siang menuju gigil malam, sebelum ia terlelap di emper-emper pertokoan, usai mengelilingi kampung dengan terus memanggul karung.

Tiada yang betul-betul mengenalnya. Seolah ia berasal dari negeri entah. Entah putaran waktu apa, yang menghela derap langkahnya hingga sampai di kota kami. Perawakannya tidak tinggi, tidak pendek. Rambutnya tidak panjang, tidak pula pendek. Badannya tidak kurus, tidak juga gemuk.

Sorot matanya sendu, dan sering kali menunduk jika ditatap. Girang merokok, jarang mengoceh. Tiada aroma dan bau khas pada setiap kelebat geraknya. Seolah tiada jejak yang bisa dilacak dari sejarah hidup lelaki paruh baya yang kerap tak berbaju, dan sering kali, hanya mengenakan celana pendek lusuh.

Diam-diam, daku sering menguntit gerak langkahnya. Mencuri-curi pandang dengannya. Pernah suatu kali, sewaktu melewati traffic light sorot mata kami saling menumbuk. Seperti biasa, ia lebih cepat tertunduk, daku pun memendam tanya atas nuansa yang hadir dari sorot matanya.

Sorot mata yang seolah mengabarkan pesan semesta. Pesan yang terasa dekat. Terasa lekat. Terasa karib yang membuat daku terus mencari sosoknya di rimbun sejarah perkenalan yang entah, dan di perjumpaan yang andai.

Mungkin kenal baginya, tak melulu ditandai gamit tangan dan pelukan mesra. Entah sudah betapa banyak perkenalan tanpa perjumpaan semacam itu daku alami. Nalar daku dipicunya. Kalbu daku diguncangnya. Seolah tiada perkenalan yang mampu mengantar pada perjumpaan se-autentik dengannya.

Bahkan, jika hujan meluruh, ia girang berlari ke arah derasnya hujan seraya membuka mulut. Mungkin hendak menyadap berkah hujan. Hujan yang masih setia meruapkan aroma wangi bau tanah. Air hujan yang diminumnya seraya menengadahkan tangan ke langit.

Mirip berdoa. Ah, bukan, mungkin serupa merangkul hujan. Penuh kemesraan. Penuh kepasrahan seraya bersenandung lirih di tengah hujan yang gigil. Hujan yang kian deras, sederas kenanganku atasnya. Kenangan yang mungkin terus di panggulnya menuju kota-kota yang entah.

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini: