KOLOMMS TAJUDDIN

Jangkrik

LELAKI kecil itu mengendap pelan menuju sebuah batu seukuran bola kaki mainan anak-anak. Langkahnya khusyuk. Seakan tidak mau melahirkan suara dan mengusik angin di sekitarnya. Mata senternya nyalang seperti matanya yang tertuju pada batu yang berada lima depa di depannya.

Pelan ia jongkok, dan tangannya yang disiplin, cekatan memegang dan mengangkat batu itu. Udara dingin tak mengusik dirinya yang hanya mengenakan kaos oblong tipis yang lusuh malam itu. Suara jangkrik yang mengantarkannya ke batu itu seketika terhenti.

Ia girang. Seekor jangkrik kini ada dalam genggamannya. Dengan cekatan diambilnya tokka-tokka bambu dan dengan telaten juga penuh kesabaran pelan dimasukkannya jangkrik itu ke dalamnya. Malam itu kesiur angin di ketinggian Tinambung cukup bersahabat.

Tetapi itu sekian tahun yang lampau. Semuanya telah lewat, di bukit tempat ia mencari jangkrik kini telah berubah. Orang-orang datang tidak lagi mengendap pelan dan berbaju oblong tipis yang lusuh. Di tempat itu, di Buttu Ciping, kini telah berdiri sebuah bangunan kayu berbahan dasar pohon kelapa. Cukup dan bahkan sangat besar jika dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang terbuat dari kayu yang pernah dilihatnya.

Bukit yang dulu ditumbuhi ponna bonne dan tanaman untuk pakan ternak kambing itu kini telah berubah. Bukit yang dulu tatkala hujan lebat turun mengantarkan air berlumpur masuk hingga ke ruang-ruang kelas madrasah ibtidaiyyah dan sekolah dasar yang ada di kaki bukit itu, kini telah berubah.

Orang-orang datang dan hadir dengan pakaian kebesarannya. Juga tampak pula pelaku seni budaya yang datang dengan seperangkat alat dan bahan pertunjukannya. Sepeda motor dan mobil pun kini telah bisa parkir di atas buktit yang menawarkan pemandangan kota Tinambung bahkan sebagian Kota Majene itu kini telah bermetamorposis.

Buttu Ciping kini telah menjadi ruang yang diharapkan mampu menawarkan oase bagi bertumbuhnya ekosistem kreatif, juga menawarkan pembacaa kegairahan baru dalam menata kelola seni budaya kita, kini dan nanti. Semoga anak-anak yang berbaju kaos oblong lusuh itu, masih tetap bisa diterima baik dan hadir sebagai bahagian dari realitas kehidupan sosial dan kebudayaan kita hari ini dan nanti.

Mungkin kini, anak itu akan datang tidak lagi menenteng senternya, tetapi ia datang dengan memegang smartphone-nya dan mungkin tidak lagi mengendap, tetapi metawe’ pada semesta. Lalu ikut duduk bersila membaca ruang dan belajar pada kehidupan seni budaya kita dulu, kini dan nanti.

Bukankah hidup tak melulu soal tampilan fisik dan simbol kemegahan apalagi kepongahan? Sampai disini, Taman Budaya dan Museum Sulawesi Barat di Buttu Ciping sebagai center of excellence juga ruang seni budaya, sudah seharusnya memberikan ruang yang utuh terhadap semua semua gejala dan niat baik. Dan karena itu kita bisa berpikir dan berdzikir.


Catatan ini telah dimuat di Kolom Rinai Kata Koran Harian Sulbar Express

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: