CERPENGAGASAN

Hilangnya Aktivis Desa

SETIAP Kateng pulang kampung, ia selalu mendapati kenyataan pelik. Kenyataan yang membosankan, bikin sumpek, membuat meradang, ingin menerjang sampai mau menghajar. Tentang proyek jalan rabat beton. Suatu proyek ringan yang digagas oleh pemerintah desa setempat sampai sekarang masih belum ada kepastian mengenai nasibnya akan dibagaimanakan. Proyek itu masih mangkrak. Sudah dua tahun ia meraung-raung di tempat tidurnya. Hingga dihinggapi jamur. Ditumbuhi semak belukar. Yang paling memprihatinkan dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga sekitar.

Pemerintah desa setempat masih saja budek. Enggan peduli lagi untuk mengurusi proyek yang mangkrak itu. Masyarakat pun sama saja, tidak ada kepeduliannya. Santai-santai saja. Maklum-maklum saja. Menerima mentah-mentah saja. Proyek itu terkendala lantaran minimnya dana, itulah alasan pemerintah desa sehingga tidak melanjutkan pengerjaan proyek tersebut. Tanpa ada yang berani komplain kenapa bisa begini dan kenapa bisa begitu. Bukankah Dana Desa tiap tahun selalu mengalir ke rekening kas desa?

Kecuali Kateng dan stakeholdernya. Perkumpulan mereka diberi nama Aliansi Pemuda Peduli Desa. Kerap kali menyoroti kinerja pemerintah desa yang dinilainya tidak becus menjalankan amanat yang di embannya. “Hanya karena setumpuk uang, amanat dilupakan, tugas diabaikan, dosa dikerjakan. Giliran di atas podium berkoar-koar lantang memperjuangkan hak-hak masyarakat katanya. Tatkala di belakang, topeng dilepas tertawa sekencang-kencangnya. Begitu bangga memanfaatkan jabatan untuk mengelabui masyarakat yang kebanyakan tak sekolah. Tapi jangan harap mereka akan bisa mengelabui kita. Semakin jauh kaki biadap mereka melangkah, kita Aliansi Pemuda Peduli Desa akan semakin kuat menjegalnya,” ucap Kateng diiringin anggukan kepala rekan-rekannya.

“Kalau dua atau tiga bulan mangkraknya. Mungkin bisa dimaklumi. Tapi ini sudah dua tahun berlalu. Itu berarti sudah milyaran dana desa masuk ke rekening kas desa. Sangat tak masuk akal proyek jalan rabat beton yang panjangnya hanya seratus meter lebarnya dua meter tidak dilanjutkan pengerjaannya hanya karena persoalan anggaran yang terbatas. Alasan licik! Saya yakin betul Saripu’ding  telah melakukan korupsi terhadap dana desa.” Giliran Ba’du yang menyampaikan gagasannya. Buru-buru menghakimi kalau Saripu’ding selaku kepala desa setempat telah melakukan korupsi.

“Namanya proyek. Sudah semestinya sebelum melakukan pengerjaannya terlebih dahulu dikalkulasi anggaran yang dibutuhkan berapa. Semua terinci dengan baik. Tapi jika ada proyek kecil, proyek jalan rabat beton biasa. Pengerjaannya terbengkalai, alasannya tidak cukup dana. Saya kira alasan itu hanya dibuat-buat. Mereka pikir semua masyarakat desa sama. Yang tidak mau peduli soal dana desa.”

***

“Sebenarnya masyarakat amat diharapkan perannya dalam melakukan pengawasan pelaksanaan anggaran dana desa untuk mencegah terjadinya penyelewengan dana desa dengan hal ini korupsi. Kalau semua masyarakat desa tidak peduli akan hal itu. Mereka akan semakin bebas semau-maunya mengorek dana desa untuk kepentingan pribadinya,”  tambah Ma’mang.

“Sayangnya masyarakat kurang peduli akan hal itu. Entah apa yang mereka pikirkan sehingga tidak pernah menaruh kecurigaan pada Saripu’ding. Tidakkah kita tahu sejak Saripu’ding menjabat sebagai kepala desa. Kehidupannya semakin sejahtera. Ia sudah bisa menyihir rumahnya jadi istana. Bahkan mengalahkan rumah pengusaha mahsyur di kampung kita. Padahal kehidupan Saripu’ding sebelum jadi kepala desa biasa-biasa saja. Sama halnya saya, ia suka hutang rokok di warung tetangga. Dalam waktu singkat semua berubah. Motor baru untuk dirinya satu, untuk istrinya juga ada, anaknya yang masih kelas satu SMP baru-baru ini dibelikan motor. Kalian mungkin tidak tahu. Belum lama ini Saripu’ding juga membangun rumah di ibu kota kabupaten. Tak tanggung-tanggung mobil baru terparkir di garasinya,” jelas Ba’du menunjukkan wajah yang jengkel.

“Dari mana kau bisa tahu? Jangan mengada-ada lho!” Kateng menyeruput kopinya memadangi wajah Ba’du. Malam sudah larut. Di sekret itu tersisa mereka bertiga yang terjaga. Anggotanya yang lain  beberapa menit yang lalu memutuskan kembali ke rumah. Dan dua orang lainnya sudah ngorok di sekret itu.

“Saya tidak berbual. Itulah faktanya. Saya sudah melakukan penyelidikan semuanya. Dan memang benar kesemuanya itu milik pribadi Saripu’ding. Wajar saya berasumsi yang tidak-tidak mengingat penghasilannya yang diperoleh sebagai kepala desa tidak banyak-banyak amat. Tapi kenapa pengeluarannya bisa membengkak seperti itu? Bahkan jika dikalkulasi semuanya, ratusan juta sudah ia belanjakan untuk kepentingan pribadi. Dapat dari mana uang sebanyak itu? Gajinya saja jika dikumpul selama sewindu pun tidak akan sampai pada angka itu. Tidak salah lagi Saripu’ding telah melakukan penyelewangan terhadap dana desa.”

“Sepakat, Bung! Saripu’ding memang korupsi. Selama Saripu’ding menjabat sebagai kepala desa. Tidak ada pembangunan yang signifikan ia lakukan. Tidakkah kau lihat Kateng, setiap kau pulang kampung, apakah ada perubahan yang kau lihat di desa kita? Tidak ada. Malahan kesannya monoton. Yang ada rumah si Saripu’ding itu semakin mewah bak istana Nabi Sulaiman. Sementara proyek jalan rabat beton di dekat rumah kau sampai sekarang tak tersentuh lagi. Hal itu tidak harus kita biarkan. Dana desa sepenuhnya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Bukan milik aparat desa,” tambah Ma’mang.

Diskusi mereka terus berlanjut hingga keluar satu kesimpulan. Mereka ingin melaporkan kebobrokan Sarpu’ding ke penegak hukum. Atas dugaan melakukan korupsi dana desa. Malam-malam berikutnya pun mereka kerap kali melakukan pertemuan. Memusyawarakan langkah apa yang harus dilakukan untuk menjegal Saripu’ding. Terus terang saja mereka tidak ingin terus-terusan membiarkan Saripu’ding melakukan penyelewengan seperti itu. Semangat mereka semangat pemuda. Semangat yang dimiliki Soe Hok Gie yang tidak akan pernah menyerah pada kemunifikan.  Lebih baik mati katanya dari pada harus menyerah pada kemunafikan.

***

Aliansi Pemuda Peduli Desa hanyalah sebuah perkumpulan anak muda biasa. Yang digagas oleh tiga pemuda yang luar biasa. Yang pertama adalah Ba’du, ia menjabat sebagai ketua. Sedangkan Ma’mang dipercaya sebagai sekertaris. Adapun Kateng, sebenarnya ia bendahara. Namun berhubung karena ia seorang mahasiswa di salah satu kampus negeri yang jauh di sana. Kateng pulang kampung hanya dua kali setahun. Sehingga ia menyerahkan posisinya pada orang lain. Tapi Kateng tidak pernah ketinggalan untuk mendapatkan informasi penting sehubungan dengan kegiatan mereka tatkala sedang berada di tanah rantau.

Awalnya Aliansi Pemuda Peduli Desa bergerak di bidang literasi. Mereka menyebarkan virus membaca kepada masyarakat desa tempat tinggal mereka hingga ke bagian pelosok. Mengajarkan anak-anak pedalaman untuk menulis dan membaca. Buah kerja keras mereka berhasil mendirikan perpustakaan di desanya. Dan satu perpustakaan lain berada di daerah pedalaman. Mereka ikhlas mengerjakan itu semua. Mengorbankan tenaga dan pikirannya. Apakah mereka mendapatkan uang? Tidak, bahkan uang pribadi mereka korbankan untuk pengadaan buku bacaan dan sarana lainnya. Pemerintah desa tetap budek untuk membantu mereka. Bahkan kerja keras mereka tak diapresiasi oleh pemerintah desa.

“Tentang sukses, bukan soal berapa banyak uang yang telah dikumpulkan, dan betapa tingginya jabatan kita. Tapi sukses ialah ketika kita bisa bermanfaat bagi orang lain,” kalimat itu pertama kali diucapkan oleh Kateng. Dan sampai sekarang kata-kata itu sudah menjadi sihir untuk selalu mengerjakan pundi-pundi kebaikan kepada orang banyak.

Kenyataan mangkraknya proyek jalan rabat beton yang tidak jauh dari rumahnya. Pemandangan itu teramat mengerikan dari sudut pandang Kateng. Sudut pandang mahasiswa sastra yang abadi di kampus. Tatkala teman-teman seangkatannya sudah bisa menikmati gelar sarjana. Kateng masih bergulat dengan urusan skripsi.

Setelah mengetahui kebobrokan Saripu’ding dengan begitu beban pikiran Kateng semakin bertambah. Yang pertama urusan skripsi yang minta perhatian lebih. Yang kedua tentang Ajeng kebelet ingin dinikahi. Ajeng adalah perempuan dari tanah Jawa yang sudah lama namanya bertengger di hati Kateng. Dan yang terakhir tentang Saripu’ding yang harus secepatnya mangkir dari kepala desa. Kateng tidak ingin ada lagi kepala desa sejenis Saripu’ding  di muka bumi ini. Yang hanya bisa memanfaatkan jabatan untuk meraup keuntungan pribadi. Yang hanya bisa memperkaya diri sendiri dengan jalan yang sesat dan merugikan masyarakat. “Persetan dengan kemunafikan!” jerit Kateng.

***

Kenyataan lain menghampiri bagi mereka bertiga. Satu hari sebelum mereka melakukan aksi unjuk rasa terkait dugaan penyimpangan dana desa. Kateng, Ba’du dan Ma’mang dinyatakan hilang. Tak ada satu orang pun yang tahu keberadaan mereka. Tapi beragam asumsi hadir di benak masyarakat. Yang paling banyak, mereka beranggapan, kehilangan Kateng, Ba’du dan Ma’mang ada kaitannya dengan niat baik mereka yang mengusik Saripu’ding dari kursi kepala desa.***

MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

2 Comments

  1. iya…berapa gaji kepala desa hingga dalam waktu singkat bisa bangun rumah ‘mewah” dan beli kendaraan roda 4? tulisan diatas sangat baik dibaca sebagai bahan intropeksi bagi kepala desa maupun aktivis itu sendiri. Soalnya hilangnya aktivis, itu terlalu dibuat-buat…kalau dupukul atau dibunuh memang sudah ada kasusnya, kalau tak berbekas kayaknya belum pernah dengar…

    1. sebuah tulisan dari keresahan penulis yang kemudian dibingkai dalam bentuk cerpen…mungkin sang penulis hanya mencoba mengutak atik kenyataan. dan sebagai pembaca kita harus mampu menelaah tulisan itu. mungkin memerlukan pemaknaan yang luas. tabe pak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: