ARTI pop dalam kebudayaan disebut budaya populer atau acap dikenal juga sebagai budaya pop atau kultur populer. Budaya pop adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya. Khususnya oleh budaya barat di awal hingga pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.
Budaya populer juga sering kali didekatkan dengan istilah ‘mass culture’ atau budaya massa, yang diproduksi secara masal dan dikonsumsi secara masal juga melalui media massa. Dengan itu, budaya massa lahir karena adanya teknologi yang digitalisasi seperti era sekarang. Wikipedia.
Para pecinta pop memadati area Taman Budaya dan Museum provinsi Sulawesi Barat 24 Agustus 2024. Pop Culture, begitu tertulis di papan iklan agenda penting tahun ini, menarik banyak minat masyarakat dari semua kalangan, sekadar bertemu melepas penat hingga tersenyum belajar membaca alam dan peristiwa.
Menjumpai pop culture, itu berarti sedang berada dalam jelmaan modern, kendati demikian tradisional punya andil besar untuk mengukur dan memahami tingkatan teknologi. Jika pop culture datang menggeser tradisi, kiranya perlu kajian, sebab tradisional yang dianggap hari ini juga populer dan modern di masa lalu, mampu mempengaruhi massa dalam menularkan kebiasaan, atau dijadikan titik tolak dalam memperoleh perlakuan saat ini. Syariat Tajuddin pada sesi Talk show “Disrupsi Budaya: Menghalau Gelombang, Membaca Isyarat Langit Pengkaryaan” bahwa menolak tawaran pop culture berarti menghindari laku diri sendiri.
Banyak orang memahami bahwa lahirnya budaya pop itu karena pembangkangan, tetapi pada dasarnya manusia hanya sekadar ingin berbeda dari perlakuan lama atau karya sebelumnya, hal ini boleh jadi akibat kurang mampu mengikuti zaman yang bukan zamannya, dan melahirkan gaya zaman berikutnya atau inovasi menurut Andi Harun Rasyid.
Terjadi timbal balik, manusia lama pun tidak mampu menerimanya hingga seakan menolak pranata baru. Jadi, budaya yang berbeda itu karena perubahan “salleang”. Dengan segala unsur menurut teoritis-nya. Namun, kadang kita lupa jika karya dari sumber rasa manusia, kadang dia anggap segalanya menjadi miliknya, padahal karya dan perilakunya butuh pertanggungjawaban ukhrawi sekaligus. Rasa manusia memang berbeda-beda, tapi dari mana rasa itu ada, tak lain jika bukan Allah yang meletakkan. Begitu Mas’ud Saleh bertutur pada talk show yang digelar senja itu.
Mengikuti budaya pop, tergantung kemampuan masing-masing individu, begitu pula pada penerimaannya, sebab manusia sebelumnya menganggap tidak punya nilai atau tidak bermanfaat, ini akan bertabrakan dan yakin berpotensi berbeda di masing-masing penganutnya. Budaya pop diproduksi awalnya ingin agak lain, dan lalu biasanya karena tuntutan industri (berbau kapital), sehingga nilai-nilai tidak menjadi prioritas, sementara dahulu karya diciptakan berdasarkan nilai.
Kemungkinan Ini persis dalam pertunjukan rebana, produksinya dulu dimengerti dan diperuntukkan untuk pujian pada ilahi dan nabi, namun sekarang mengandung hiburan yang semua penawaran nya bukan lagi pada kalangan khusus, melainkan tuntutan pasar yang mengharuskan mereka memainkan tidak lagi berdasarkan zikir, tetapi lebih kepada tabuhan dan aksi.
Barangkali jenis item itulah budaya pop, yang sesungguhnya tidak perlu dihindari, atau tidak perlu terjadi sensitif perbedaan, melainkan harus dijemput sebagai bagian dari perkembangan yang tentu saja bisa melihat mana yang baik dan yang tidak bermanfaat. Sementara terkait dalam manfaat, ada yang memanfaatkan untuk kebutuhan hidup, ada pula untuk spritual. Para seniman lah yang harus merespon atau memilah dengan segala bentuknya.
Kini melalui dana alokasi khusus (DAK), taman budaya dan museum Provinsi Sulawesi Barat (TBM-SB) menghadirkan pertunjukan bertajuk Pop Culture, mencoba memberi kesempatan kepada yang dianggap penganut non tradisi untuk terlibat mengangkat harkat dan martabat suatu institusi.
Pihak pengelola TBM dengan semangatnya, itu jelas murni menghindari hegemoni bagi kaum-kaum pop di wilayah malaqbiq, tetapi disayangkan, sebab kemungkinan tujuan ini menjadi kurang tepat untuk waktu dan tempat yang sama-sama kita cintai.
Semua tahu persis bahwa kehadiran dan peletakan taman budaya di Indonesia, sesuai gagasan yang dibentuk oleh Ida Bagus Mantra setelah datang dari kunjungannya di luar negeri pada awal 1970-an, mengkhususkan bagi kebudayaan-kebudayaan di Indonesia khusus pertunjukan dan pameran, guna mendapat tempat dan pasilitas ornamen-ornamen produksi, dengan harapan memberikan manfaat dengan menjadikannya sebagai embrio aktivasi.
Di sini, dapat dibuat terobosan-terobosan produktif, menjadi inkubator budaya yang memiliki daya ungkit ekonomi, dapat mengembangkan invensi, inovasi, serta kreativitas di berbagai bidang untuk mengejar ketertinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa Barat dan China, yang lebih besar ke ranah eksperimental demi kemajuan bersama. Dan pemberian pelayanan terbaik kepada masyarakat seniman dan penggiat seni budaya, atau merupakan tempat bertemu dan berkumpulnya para seniman untuk saling bertukar informasi sebagai ajang pengenalan kota dan pelestarian kebudayaan. Selain itu, juga memberikan edukasi pengelolaan atraksi-atraksi seni budaya.
Memang tujuan di taman budaya salah satunya adalah laboratorium rekonstruksi kesenian dan pengembangan tradisi baik yang punah maupun yang masih merangkak sampai hari ini. Semangat yang mendorong para seniman dan budayawan, mendorong UU pemajuan kebudayaan (PPKD), tentu hasil dari DAK yakni perlindungan kesenian tradisi yang tergilas dari kesenian industrial-kapital (kesenian populer).
Indikator pengelola tentu akan bekerja keras menghadirkan pernak-pernik budaya dan tradisi, hal itu bersifat pameran dan pertunjukan sebagai pelestarian, serta kegiatan-kegiatan hiburan, tetapi sama mungkinnya ketika taman budaya mem-perioritas-kan pertunjukan berbau karya, sehingga tidak dilihat sebagai hiburan atau karya tiruan. Para seniman harus mampu membantu taman budaya untuk meningkatkan daya saing dalam menjalankan tugasnya demi memunculkan karakter suatu wilayah. Dan itu saya kira adalah tujuan utama.
Dengan anggaran khusus ini, pop culture akan tetap ada, selalu berdampingan dengan nilai-nilai yang kemungkinan besar menjadi ambigu ketika dikelola dengan tidak tepat, padahal kehadirannya penting untuk sebuah pencapaian, membantu para seniman dalam menghalau gelombang dan lebih banyak menemukan isyarat atau makna dalam kekaryaan.
Penulis: Sahabuddin Mahganna, seniman, pekerja budaya dan pendidik