CERPEN

Bukan Sembarang Cinta

HILDA memandangi wajah Yus lekat-lekat. Sambil memegang erat tangan kiri Yus yang kasar. Mendengar lantunan ayat-ayat Allah yang dibacakan Yus menjadi penawar rintihannya. Terlihat ada sesuatu yang sangat penting ingin ia utarakan. Namun sakitnya penyakit yang dideritanya mengalahkan hasratnya untuk ingin bercerita banyak hal pada suaminya itu. Nyeri terasa sangat tajam pada bagian panggul tidak terhindarkan lagi, terdengar rintihannya disetiap helaan nafasnya.

Ia tidak menyangka bagaimana mungkin pemuda berusia 27 tahun menerima dirinya apa adanya. Padahal ia sudah berusia 39 tahun belum lagi seorang janda. Dua tahun yang lalu dia ditinggal pergi oleh suaminya. Lantaran penyakit yang dideritanya, kanker serviks. Dokter pun memvonisnya tidak akan bisa memiliki anak lagi.

Sepeninggal Karman, menyisahkan trauma yang mendalam bagi Hilda. Laki-laki yang menemaninya selama 14 tahun menceraikannya dengan alasan hubungan rumah tangganya tidak harmonis lagi. Padahal Hilda semula beranggapan kalau Karman yang paham ilmu agama tidak akan meninggalkannya dalam kondisi seperti itu. Bahkan akan menemaninya hingga sampai akhir hayatnya. Sayangnya, entah bisikan apa yang membuat Karman pergi, melepaskan ikatan suci yang mereka ikrarkan.

Saat ia sudah merasa jenuh akan kondisinya. Sudah merasa putus asa dengan kehidupannya. Saat itu pula Tuhan mendatangkan Yus dalam hidupnya. Yang hanya seorang pekerja serabutan di pelabuhan. Banyak desas-desus terdengar di telinganya kalau Yus hanya merasa iba melihatnya sehingga ia mau menikahinya. Ada pula yang berspekulasi kalau Yus hanya ingin memiliki hartanya. Tapi itu tidak mungkin, Yus orangnya bukan tipikal seperti itu. Malahan pengakuan Yus di hadapannya kalau pernikahannya semata-mata murni karena Allah. Tidak memandang apakah ia janda atau mengidap penyakit kanker serviks.

“Bagaimana mungkin kamu mau menikah denganku. Saya seorang janda, berpenyakitan. Belum lagi usia kita selisih 12 tahun. Di luar sana masih banyak perempuan lain yang berhak mendapatkan cintamu. Pikirkan semuanya Yus! Ini menyangkut masa depan kamu.”

“Ini sudah keputusanku Mbak. Sampai kapan pun aku tidak akan menarik kembali ucapanku, sungguh aku  ingin mempersunting, Mbak. Terserah apa kata orang-orang tentang kita. Mbak adalah pilihanku. Aku mencintai Mbak bukan karena parasmu yang ayu, bukan karena  berharta. Semata-mata cinta itu ada karena Allah, aku melihat di matamu ada jalan bagiku untuk bisa dekat dengan-Nya. Aku ingin kita sama-sama meraih ridho Allah…”

Belum juga mereka mengecap manisnya bulan madu. Dua hari setelah melangsungkan pernikahan. Hilda jatuh sakit. Penyakitnya kembali kumat bahkan makin parah. Keluarganya semula ingin merawatnya dirumah sakit, namun ia meminta untuk dirawat di kediamannya saja.

Minggu pertama  sanak familinya satu persatu menjenguknya begitu pun dengan rekan-rekannya sesama guru. Minggu kedua kondisinya kembali mendingan, begitu pun di minggu ketiga. Sayangnya di minggu ke empat kondisinya malah makin terpuruk. Yus sebenarnya ingin menghubungi keluarga Hilda, namun Hilda melarangnya. Ia tidak ingin menyusahkan orang banyak.

Sudah beberapa minggu Yus tidak masuk kerja. Ia enggan meninggalkan istrinya. Tanpa ada rasa jenuh, ia setia menemani istrinya yang terbaring lemah. Hilda merasakan betul akan kesungguhan cinta Yus padanya. Mulai dari menyuapinya hingga memasangkan jilbab tak luput dari perhatian Yus.

“Walaupun Mbak sakit, aku ingin melihat Mbak selalu terlihat cantik,” ucap Yus tempo hari sambil mengusap wajah Hilda yang pucat.

Ada rasa canggung dalam dirinya. Sudah sebulan lebih usia pernikahannya, kebiasaannya memanggil istrinya dengan sebutan “Mbak” tidak bisa dihilangkan. Mungkin karena selisih umur mereka yang 12 tahun. Tambah canggungnya lagi karena memang Hilda adalah mantan gurunya waktu SMA dulu. Bahkan Hilda adalah wali kelas Yus.

Waktu SMA, bisa dibilang Yus  kurang beruntung. Dari sekian mata pelajaran yang diujiankan setiap semester, selalunya hanya dua yang lulus. Yaitu mata pelajaran pertanian dan olahraga. Hal itulah membuat Hilda tak segan-segan memberikan rapor merah pada Yus. Bahkan ia tinggal kelas selama 3 tahun berturut-turut. Di tahun keempat Yus memilih  putus sekolah, dan menjadi budak kapal hingga menjadi buruh di pelabuhan.

Hal itulah yang membuat Hilda selalu merasa bersalah pada Yus. Ia menyalahi dirinya sendiri, karena dialah sehingga Yus tak memiliki ijazah SMA. Berdampak pada masa depan Yus yang hanya sebagai buruh. Skenario Tuhanlah yang mempersatukan mereka dalam ikatan pernikahan.

Dua hari yang lalu Dokter Yanti mengunjunginya. Dia berkesimpulan kalau penyakit yang diidap Hilda, bukan hanya kanker serviks saja. Terjadi komplikasi beberapa penyakit lainnya. Untuk menghela nafas saja terasa berat. Belum lagi sesekali darah mengalir dari hidungnya. Dokter Yanti menyarankan sebelum kondisi lebih buruk lagi, alangkah baiknya untuk dirawat di rumah sakit. Namun Hilda  sedikit keras kepala menolak ajakan itu.

“Kanker serviks yang diderita istri Mas sudah memasuki stadium 3 sehingga nyeri berlebihan dibagian panggul. Yang ditakutkan apabila kanker ini mulai menyerang organ tubuh lainnya.” Mendegar tuturan Dokter Yanti. Yus tidak bisa menutupi perasaan kagetnya. Kekhawatiran berselimut dalam dirinya.

“Untuk mengobatinya bagaimana, Dok?”

“Hanya ada dua alternatif pengobatan kanker ini, Pengobatan radioterapi dan kemoterapi. Atau bisa juga dengan melalui operasi histeroktomi untuk mengangkat leher rahim yang terkena kanker. Terkadang jika ditemukan penyebaran kanker pada ovarium dan saluran tuba falopi maka kedua bagian tersebut juga akan diangkat.”

Sesak yang dirasakan Yus, matanya terlihat berkaca-kaca. Bagaimana mungkin ia akan bisa melakukan pengobatan itu? Melihat kondisinya hanyalah seorang buruh. Sedangkan istrinya hanya PNS, yang sudah tidak aktif lagi. Bisa saja ia minta tolong pada keluarga Hilda yang notabene orang berada. Namun ia masih mempertahankan harga dirinya, apalagi usia perkawinannya masih dini. Belum apa-apa sudah merengek kesana-kemari. Itu yang  ia hindari.

“Dan satu lagi Mas. Penyakit kanker serviks sangatlah mematikan. Berdasarkan data dari WHO setiap tahunnya ribuan wanita meninggal karena penyakit kanker serviks dan juga merupakan jenis kanker yang menempati peringkat teratas sebagai penyebab kematian wanita di dunia,” jelas Dokter Yanti. Yus tidak bisa berkutip barang sepatah kata lagi. Mulutnya terbungkam. Seolah-olah tidak percaya akan seriusnya penyakit yang diderita istrinya.

Di lain waktu ia menceritakan semuanya pada Hilda. Dan berkeinginan untuk merawatnya di rumah sakit saja. Sayangnya Hilda masih tetap dalam pendiriannya. Yus juga berkeinginan untuk menjual sebidang tanah miliknya untuk menambah biaya pengobatan Hilda. Hanya saja Hilda melarangnya.

“Mbak harus berobat biar cepat sembuh. Besok kita ke rumah sakit saja ya?”

“Tidak usah! Saya tidak kenapa-kenapa kok.  Buang-buang biaya saja jika harus ke rumah sakit”

“Ini menyangkut kesehatan Mbak. Kalau penyakitnya makin parah bagaimana?”

“Tuhan tahu segalanya Mas. Jangan khawatirkan aku!” Ucapnya mencoba tersenyum.

***

Yus menyudahi bacaan Qurannya saat Hilda sudah terlelap dalam buaian tidurnya. Terhenti pada surah An-Nur ayat 26 “… sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…”

Kemudian ia menghamparkan selimut ke tubuh Hilda. Lalu di pandanginya wajah istrinya lekat-lekat. Walaupun Hilda berumur 39 tahun tapi wajahnya 10 tahun lebih muda, masih sangat cantik. Kulit wajahnya mulus. Baginya, Hilda adalah sosok bidadari surga yang Tuhan hadirkan didunia.

Ia sedikit tak menyangka takdir akan mempersatukannya dengan wanita yang terbaring di hadapannya dalam sampul pernikahan. Perempuan yang akan menjadi tempat untuk melabuhkan curahan hatinya. Perempuan yang akan menjadi partner dalam mengarungi samudera kehidupan. Tak bosan-bosannya dia mengelus wajah istrinya yang terlelap. Ia kembali teringat akan perkataan orang-orang sebelum mereka menikah.

“Kamu ini masih muda, Yus. Bagaimana mungkin  kamu ingin menikahi dia yang sudah tua, janda lagi.”

“Dia mantan gurumu waktu SMA, karena dialah kamu tinggal kelas berkali-kali bahkan putus sekolah. Andaikan bukan karena dia, masa depanmu tak akan suram seperti ini. Sangat ganjil Yus, dia yang membunuh masa depanmu, kamu malah kepingin untuk menikahinya. Di mana akalmu?”

“Yus, di dunia ini masih sangat banyak perempuan lain. Perempuan muda seumuran denganmu sangat banyak. Apa kamu sudah pasrah sehingga kamu ingin menjadikan dia calon binimu? Cantik sih memang iya, tapi kamu tidak sepadan dengannya.”

Begitulah reaksi kerabat dekat Yus, tatkala ia memberitahu mereka kalau akan mempersunting Hilda. Seolah-olah mereka menolak mentah-mentah keputusan itu. Bukan Yus namanya jika tidak konsisten pada pendiriannya. Sekali ia berkata A tetap akan A sampai kapan pun.

“Maafkan aku Mas! Lantaran penyakit ini, aku sebagai istrimu belum bisa memenuhi apa yang telah menjadi hak-hak, Mas.”

Dia teringat perkataan Hilda tempo hari padanya. Hilda menyadari betul akan hasrat batin suaminya. Yus pun sadar akan kondisi Hilda. Saat-saat situasi seperti itulah dituntut untuk saling mengerti satu sama lain.

Yus tidak bisa menahan dirinya untuk menjatuhkan ciuman di kening istrinya yang mulai diambang mimpi.

Hanya dua jam ia terlelap. Yus terbangun saat mendengar rintihan Hilda. Nyeri di bagian panggul merampas waktu tidurnya. Belum lagi darah keluar dari hidungnya. Memang benar kata Dokter Yanti bukan hanya kanker serviks yang menyerangnya tapi juga ada penyakit lain.

“Maafkan semua kesalahanku Mas selama ini,” ucap Hilda lirih memeluk tangan suaminya.

“Tidak sayang. Kamu tidak punya kesalahan apa-apa.” Kata “sayang” meluncur begitu saja dari mulutnya. Baru kali ini dia mengucapkan kata seperti itu pada istrinya.

“Masihkah kau mencintaiku Mas melihat kondisiku seperti ini?”

“Tentu sayangku. Selamanya cintaku tidak akan pudar. Cintaku bukan sembarang cinta. Percayalah!” Hilda tersenyum mendengar ucapan suaminya. Dia  memeluk erat tangan Yus.

“Aku merasakan malaikat maut sudah semakin dekat, Mas”

“Kematian itu rahasia Tuhan. Jangan mau kalah dengan penyakit ini. Yakinlah Tuhan akan memberikan kesembuhan. Ini adalah cara Tuhan untuk menguji kita, sayang. Tidakkah kamu ingat akan kisah Nabi Ayyub? Hadirkan ketabahan dan kesabaran beliau pada dirimu, sayang,” ucap Yus mengusap wajah Hilda.

***

Pagi-pagi sekali warga sudah berkerumun. Tak bisa berbuat apa-apa melihat kobaran api yang melahap bangunan di depan mereka. Api itu makin ganas, pemadam kebakaran tampak kesulitan menghadapinya. Beberapa ibu-ibu tampak cemas dan khawatir, sampai-sampai tidak mampu membendung air matanya lagi. Seorang laki-laki paruh baya ngotot ingin memasuki rumah itu untuk menolong penghuninya yang terjebak di dalam, namun dicegat warga lain.

Barulah lima belas menit kemudian api berhasil dipadamkan. Sayangnya rumah itu sudah ludes menyisahkan tembok-tembok sisa lahapan api. Didapatinya penghuni rumah itu dalam keadaan tak bernyawa lagi. Hangus dimakan api, wajah penghuninya tak bisa dikenali lagi. Namun kedua penghuni rumah itu terlihat berpegangan tangan dalam menghadapi maut. Dialah Yus dan Hilda. Banyak orang tak menyangka kalau kisahnya akan tragis seperti itu.(**)

MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog

 

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: