ABDUL MUTTALIBKOLOM

Rembulan Itu Telah Pergi

DAKU menamainya Rambulan. Seekor perkutut kesayangan yang di suatu pagi yang lengang, daku dapati tengkurap dan tak lagi bergerak di dalam sangkarnya. Seketika pagi itu terasa hening. Tanpa kata, daku membuka sangkarnya, memegangnya dan mengelus bulu lebatnya yang begitu halus..

Daku tak lagi sanggup melihat wajah Rambulan meski untuk terakhir kalinya. Tanpa pikir panjang, daku menyediakan lubang dan menguburnya. Peristiwa itu tidak seorang pun orang rumah tahu, jika pagi yang lengang itu, jika pagi yang hening itu Rambulan telah pergi.

Peristiwa pagi itu, jika diandaikan hanya terdiri dari empat adegan. Adegan pertama melihat Rambulan tengkurap dan tak lagi bergerak di dalam sangkar. Adegan kedua mengeluarkannya dari dalam sangkar, ketiga mengusap-usap bulu lebatnya yang lembut dan keempat segera menguburnya.

Empat adegan itu berlalu begitu cepat. Hanya sekelebatan, tanpa tekanan perasaan, tanpa kata, bahkan tanpa kidung himne dan air mata. Apakah daku tidak sayang si Rambulan? Apakah ekspresi datar seperti itu dianggap layak menerima pesan agung dari matinya burung perkutut kesayangan? Bukankah Rambulan adalah perkutut dengan suara berat versi bariton yang sangat indah?

Masih jelas dalam ingatan, sepulang kerja, si Rambulan lazim menyambutku dengan kicaunya yang khas sembari mencandaiku dengan gaya anggukan ritmis tekukur. Si Rambulan seolah mengejekku; lelahmu bekerja untuk apa dan untuk siapa? Rambulan yang tidak bekerja saja bisa hidup, makan dan minum sepuasnya, bahkan bermain dan berkicau semaunya.

Apalagi burung perkutut yang bebas terbang di alam bebas, di dalam sangkar saja, jaminan rezki dari-Nya itu selalu datang tanpa spasi. Jadi jangan percaya diri, dengan menganggap engkaulah yang memberiku rezki makanan dengan bekerja dan untuk menghidupiku di dalam sangkar ini.

Kira-kira begitu bahasanya, jika seandainya Rambulan diberikan kemampuan oleh Allah Swt untuk bisa bicara seperti manusia. Jika dialognya mau dilanjutkan, si Rambulan bisa jadi akan sering menyelaku, tentu dalam bahasa kicaunya yang tidak dapat daku pahami.

Benar kurunganku ini membatasi fisikku, tapi jiwaku bebas terbang menggapai awan biru, kicau Rambulan. Tidak seperti orang yang banyak membuat sangkar dan mengurung jiwa mereka sendiri. Kurungan yang dimaksud, bisa hadir dalam wujud; status sosial, gengsi jabatan, capaian kalkulasi perusahaan, riuh renda narasi arisan dan angkuhnya akal intelektual yang girang menjadikan organisasi sebagai arena partengkaran.

Kurungan juga berkemungkinan hadir di dalam bentuk-rupa agama yang seringkali menjadi ‘kurungan’ untuk menilai dan mengklaim orang lain sesat, dan diri sendiri paling baik. Kelompok sendiri yang paling benar. Paling soleh. Seperti kurungan indah yang kalian buat untukku, lalu kalian mengagumi kicauku-sebagai peliharaan berharga yang tanpa disadari, justru kurungan ini telah mengurung jiwa kalian sendiri.

Kurungan dan kicauan Rambulan yang tiap waktu dipuja, disanjung dan di istimewakan akhirnya raib, dan bisa jadi bentuk peringatan bagi daku yang tidak pernah berhasil mengerti kicau bahasanya. Seperti dua bait puisi alm. Husni Djamaluddin berjudul “Budha dalam Stupa” yang ‘kicaunya’ serupa bunyi merdu Rambulan yang masih sukar daku pahami.

“telah mengalir beribu kata tanpa sebutir makna.”
dan di akhir bait berikutnya;
“telah memberi beribu makna tanpa sebuah kata.”

Wallahu’alam…

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: