Minyak Goreng, Toa Masjid dan Ukraina

SAYA bukanlah tipe manusia yang bisa meramal, alias memprediksi sesuatu yang akan dan bakal terjadi. Termasuk tentang kondisi terkini negeri ini dan bahkan dunia. Catatan ini ditulis, saat kita masih berkutat dengan kelangkaan minyak goreng juga tengah sibuk mendiskusikan soal surat edaran tentang penggunaan pengeras suara di masjid dan musalah.
Nun jauh jauh dari kita, Negara Ukraina sedang diserang oleh militer Rusia. Dan di kepala saya, segera berkelabat sesuatu, bahwa ditengah perang yang sedang berkecamuk dan dalam ketakutan serta kecemasan itu, mungkinkan saudara kita, warga Ukraina akan bisa fokus memikirkan minyak goreng dan suara loodspeaker itu sebagaimana kita kini? Soal minyak goreng dan loodspeaker serta perang jelas jauh berbeda volume masalahnya.
Dan karenanya, pertanyaan itu, tidaklah perlu dijawab dengan ketegangan dan kerutan di dahi. Karena kita telah terlalu lama tegang. Dan karena itu, kita capek dan telah begitu letih dibuatnya. Mari sedikit rileks memandang kenyataan kehidupan ini, sebagai sebuah kenyataan yang tak perlu membuat kita terlalu jauh terjebak dalam syakwasangka dan saling tuding kesalahan dan kebenaran.
Mari sedikit membuat jarak dari kenyataan, semoga dengan begitu posisi objektif dalam melihat sesuatu bisa sedikit lebih jernih dan lebih bening. Karena salah satu jalan baik menarik kesimpulan dalam menyikapi setiap soal dan masalah adalah dengan memilih diam, tabayun dan sedikit santai serta sedikit membangun jarak renggang dengan masalah. Atau sekalian menyerahkan masalah itu kepada mereka yang memang expert.
Sementara kita, biarlah sedikit memilih sikap rendah hati dan santai. Bukankah kini kita tengah berada di era santuy yang mensyaratkan sikap cerdas. Sikap cerdas tanpa membabi buta dibutuhkan untuk menetralasir sejumlah anasir kejengkelan yang mungkin telah menstigma dalam benak kita. Bukan untuk menjadi warga masyarakat yang tak kritis, manut dan tunduk pada kenyataan. Tetapi untuk menegaskan bahwa sungguh, diri kita tak memiliki kecakapan dan kapasitas memadai atas semua disiplin dan segenap penomena serta peristiwa kehidupan dan keindonesiaan kita.
Artinya untuk urusan agama, biarlah kita serahkan kepada mereka yang sungguh paham agama. Sedang untuk soal ekonomi, seperti soal-soal minyak goreng itu, biarlah pula hanya menjadi domain mereka yang memang berjibaku kepakarannya pada bidang politik kebijakan ekonomi mikro dan makro. Sementara untuk soal perang di Ukraina, biarlah juga hanya terkonsentrasi di dalam kepala mereka yang memang berada dalam disiplin kajian militer dan pola hubungan internasional.
Satu hal yang penting adalah, bahwa oleh Tuhan, kita telah diciptakan dengan beragam kecakapan, juga diciptakan di bagian bumi serta di negera yang telah Tuhan pilihkan. Kita lahir di negeri ini, bukanlah pilihan kita, sebagaimana saudara kita yang ada di Ukraina juga tidak meminta untuk hadir di negeri yang kini tengah berkecamuk itu.
Termasuk, soal-soal yang kita alami kini. Bahwa kini, kita tengah mendapati diri kita dalam posisi kebingungan hanya untuk mendapatkan minyak goreng dan lalu diperhadapkan dengan suara microphone itu juga bukan pilihan masalah kita. Tetapi yang harus kita yakini betul, bahwa kita diperhadapkan dengan sejumlah problem kehidupan kita kini, itu sudah pasti karena Tuhan amat teramat sangat mengerti, bahwa kita mampu mengelola emosi dan kecakapan mental batiniah kita untuk meresponnya dalam kerangka yang lebih bijak pula manusiawi.
Dan karena itulah, apapun yang kita dapati dan peroleh kini, baik itu cobaan, maupun rejeki atau apapun namanya, hendaknya tidak lantas membuat nilai-nilai empati rasa kemanusiaan kita melumer. Termasuk jangan sampai membuat akidah kita malah menjadi rusak dibuatnya. Wallahu alam bissawab.
Sumber: Catatan ini telah dimuat di Kolom Rinai Kata Koran Harian Sulbar Express Edisi Selasa, 01 Maret 2022