KOLOMMS TAJUDDIN

Rampak

RAMPAK rebana itu menggema memecah langit malam. Orang-orang tertunduk dan takdzim menyelam masuk ke dalam diri mereka sendiri. Membaca dan memeriksa ruang batin mereka sendiri. Adakah cinta kepada Nabi Muhammad masih tegas bersemayam di dalam hatinya. Tak sedikit pula pelan-pelan air matanya tampak menetes. Begitu salah satu pemandangan yang tertangkap oleh penulis belum lama ini di rumah salah satu sahabat saya, yang menggelar acara Maulid Nabi Muhammad Saw.

Dan pemandangan seperti itu, kembali akan banyak kita temui pada bulan-bulan Maulid ini. Gegap gempita perayaannya di sejumlah tempat, mulai dari masjid, rumah-rumah warga hingga ruang publik dan perkantoran lainnya pun menjadi sesuatu yang begitu lazim kita temukan.

Tak ayal, ritual pembacaan barsanji hingga sejumlah pernak pernik seperti barakka’ atau tiri’ ikut mewarnai setiap perayaan hari yang merefleksi kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad Saw. Demikianlah maulid menjadi sebuah ritual dan peristiwa tahunan yang bisa diproyeksikan atau dipandang dalam berbagai spektrum. Tidak terkecuali dalam ranah tradisi dan budaya.

Bahkan perebutan tiri’ di penghujung acara maulid pun menjadi pemandangan yang begitu lazim kita temukan. Dan terkait dengan perebutan tiri’ inilah kemudian menjadi menarik, karena suatu waktu saya pernah mendapati statemen yang menyatakan, perebutan tiri’ adalah bentuk lain keserakahan.

Lantas dalam benak saya berpikir, bukankah sebagai masyarakat tradisional kita di Mandar-Sulbar ini memiliki keyakinan bahwa tiri’ adalah sebentuk berkah yang memang harus dikejar? Artinya mencari dan bahkan mengejar berkah justru adalah sebuah keniscayaan bagi orang Islam. Utamanya penulis yang hingga kini belum bisa menggaransi diri telah hidup dalam keberkahan-keberkahan.

Karena dalam tafsir dan sependek pemahaman penulis, berkah adalah kata kunci yang harus dicari dan dikejar. Sekaligus sebagai tujuan yang akan menjadi pelabuhan yang sedang kita tuju dalam kehidupan yang kian absurd bahkan banal ini.

Dan terlepas dari ihwal di atas, penulis hanya berpikir bahwa dalam tradisi maulid yang dirayakan oleh kita di Mandar-Sulbar ini, semuanya dihadirkan sebagai bentuk persembahan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga dengan itu semua, saya kami, dan kita semua berharap mampu membuat Rasulullah tersenyum kepada kita, umatnya yang sungguh dhoif ini.

Maka biarkanlah, rampak rebana itu tetap menggema memecah langit malam. Karena kecintaan para pecinta memang agak sulit didefenisi dalam nalar dan logika standar. Entahlah.


Catatan ini telah dimuat di Kolom Rinai Kata Koran Harian Sulbar Express Edisi Senin 25 Oktober 2021

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: