ABDUL MUTTALIBKOLOM

Sudut Pandang Solusi

SUATU waktu daku diajak oleh para pengurus aliansi mahasiswa Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman) untuk diskusi terkait pendidikan dengan pendekatan bahasa menggunakan sudut pandang analisis wacana.

Acaranya terbilang menarik, karena dihadiri puluhan mahasiswa di tengah kondisi generasi melenial yang tengah gandrung mentafakkuri game online, tiktok dan sajian frank dari para pesohor dan selebritis.

Generasi milenial yang lebih memilih menjadi konsumen dibanding menjadi produsen.

Lebih piawai menjadi penikmat daripada penyaji. Lebih terlatih menjadi penonton ketimbang menjadi orang yang ditonton.

Semoga ini bukan ciri-ciri dari bangsa yang kalah. Bangsa yang lebih banyak meniru kebudayaan dari bangsa yang dianggap lebih unggul. Padahal posisi pengikut, mbebek, atau pengekor biasanya-selalu berada di belakang.

Ekor yang dimaksudkan tentu bukan ekor laki-laki yang memang selalu berada di depan. Kontan wacana itu kian menarik untuk dibincang, karena ternyata banyak persoalan yang sulit mendapat solusi, bukan lantaran kadar persoalan yang memang pelik.

Melainkan dipicu dari kekeliruan menentukan sudut pandang. Sudut pandang yang keliru tak hanya memicu kebuntuan menalar, tapi berpeluang membiaskan, bahkan berpotensi melahirkan masalah baru.

Sudut pandang yang keliru misalnya, selalu memandang pendidikan hanya dari dimensi kekacauan sistemnya. Padahal masih banyak peragaan nilai pendidikan yang tiap hari dilakoni oleh para pendidik, utamanya para guru mengaji di kampung-kampung.

Guru mengaji yang selain bersetia menghayati perannya sebagai pendidik, mereka juga girang memberikan pembelajaran nilai tak hanya melalui lisan, tapi juga melalui sikap dan laku. Bisa disimak dari dua syarat mengaji yang dulu lazim diterapkan.

Syarat pertama, harus datang lebih awal. Syarat kedua, mengambil air untuk mengisi gusi yang sering dipakai untuk berwudu.

Secara tersurat para murid diajari untuk berbagi air wudu, dan secara tersirat justru berhasil menanamkan nilai tanggungjawab, spirit perjuangan dan iklim kompetisi untuk datang lebih cepat.

Bukan (hanya) piawai memandang sistem pendidikan dengan sudut pandang masalah semata.

Sudut pandang masalah yang dihela oleh nalar kritis yang bisa jadi lahir dari sistem pendidikan yang sudah terlanjur dinilainya gagal.

Jika berhadapan dengan sudut pandang semacam itu, daku hanya bisa menyarankan; minimal kita tidak menjadi bagian dari masalah.

Tapi sanggupkah kita membangun komitmen moral semacam itu? Tentu jawabannya sejak awal tergambar dari cara kita memilih sudut pandang.

ABDUL MUTTALIB

pecinta perkutut, tinggal di Tinambung

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: