GAGASANOPINI

Pola Konsumsi dan Pendapatan Petani Kakao di Polewali Mandar

Oleh: Yusran Mandala

INDONESIA dikenal sebagai negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Sektor pertanian berperan penting dalam penyediaan kebutuhan pangan dan sandang bagi seluruh penduduk. Salah satu daerah yang berkontribusi di sektor pertanian adalah Kabupaten Polewali Mandar.

Polewali Mandar merupakah salah satu wilayah penting penghasil kakao sekaligus menjadi sumber pendapatan utama bagi mayoritas petani ada di Kabupaten Polewali Mandar.

Berdasarkan data BPS tahun 2024, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya mencapai Rp. 2.236.045. Dari data upah pekerja diatas belum diketahui secara jelas apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan para petani.

Populasi petani sebagai penyedia bahan pangan merupakan salah satu populasi yang paling rentan mengalami kekurangan nutrisi. Hal ini menjadi paradoks, dimana petani yang memiliki akses ke tanah malah memiliki keterbatasan dalam pemenuhan nutrisi.

Pola Konsumsi Petani Kakao

Dengan latar belakang itu, studi kali ini bergerak. Dimulai dengan melakukan serangkaian diskusi mendalam dengan keluarga petani kakao yang ada di Polewali Mandar. Diskusi mendalam dimaksudkan untuk mempelajari seperti pola konsumsi masyarakat petani kakao.

Studi menggunakan metode focused group discussion (FGD) yang melibatkan ibu rumah tangga di Desa Pussui Kecamatan Luyo dan Desa Tapangi Kecamatan Tapango. Keduanya di Polewali Mandar.

Kesimpulanya, ditemukan kenyataan masyarakat masih banyak membeli bahan pangan yang mereka konsumsi, seperti beras, sumber protein hewani, tanaman rempah, sayur, dan buah.

Dari FGD itu, ditemukan kenyataan, masyarakat mengonsumsi beras sebagai makanan utama, dengan frekuensi tiga kali sehari. Sementara pisang, ubi kayu, jagung, dan olahan gandum seperti mi instan juga merupakan sumber karbohidrat yang masih dikonsumsi masyarakat dalam frekuensi yang terbatas.

Dalam pemenuhan protein, ditemukan konsumsi tahu dan tempe dengan frekuensi sekitar tiga kali dalam seminggu. Protein hewani yang paling sering dikonsumsi adalah ikan bandeng dengan frekuensi tiga kali dalam seminggu sebanyak dua ekor untuk tiga kali makan, dengan harga yang lebih terjangkau. Hal ini dikarenakan Polewali Mandar merupakan wilayah pesisir, dengan sumber daya laut yang cukup mudah diakses oleh masyarakat.

Dalam pemenuhan nutrisi dari sayuran, ditemukan pula, kebanyakan keluarga petani mengkonsumsi buah dan sayur yang dihasilkan sendiri. Contohnya, pepaya dan daun kelor masih dapat diperoleh secara gratis dari kebun atau pekarangan rumah masing-masing keluarga tani.

Sementara itu, untuk kelompok minyak goreng dan lemak, kebanyakan keluarga petani kakao di wilayah studi, penulis menemukan rata-rata mereka mengkonsumsi minyak yang dibuat sendiri yakni minyak mandar (minyak kelapa-ed). Sebagai minyak goreng khas suku mandar yang memiliki aroma yang berbeda dengan minyak lainnya.

Menurut hasil estimasi, keluarga petani yang diwawancarai mengeluarkan sekitar Rp. 1.000.000 hingga Rp.1.500.000 dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.

Di sisi lain, dalam setahun masyarakat memerlukan biaya sejumlah Rp 33.600.000 untuk memenuhi biaya sandang, pangan, dan papan. Pertanyaan selanjutnya, apakah biaya tersebut terpenuhi oleh penghasilan dari kebun?

Analisis Pendapatan Petani Kakao

Dalam diskusi terpisah, penulis melakukan wawancara kepada petani kakao di Desa Pussui dan Desa Tapango Polewali Mandar, untuk mengetahui berapa besar pendapatan yang diperoleh dalam setahun.

Dalam perhitungan ini, penulis bersama tim mencari tahu seberapa besar biaya usaha tani atau biaya produksi yang didapat, dan perkiraan pendapatan petani.

Biaya usaha tani sendiri didefinisikan sebagai pengeluaran yang terjadi selama proses produksi. Besarnya biaya ini ditentukan oleh harga pokok produk yang akan dihasilkan.

Dalam menjalankan suatu usaha tani, petani perlu menanggung dua jenis biaya, yaitu biaya tetap dan biaya variabel (Supriyono dalam Kasmiran et al., 2019).

Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, rata-rata penerimaan usaha tani kakao di Desa Tapango Barat dan Kecamatan Tapango, mencapai Rp. 67.990.000 per tahun per hektar. Sementara itu, biaya produksi untuk perawatan, pemeliharaan, dan kebutuhan lainnya sebesar Rp. 34.945.000 per tahun per hektar.

Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh petani kakao di Desa Tapango Barat adalah Rp. 33.045.000 per tahun per hektar. Pendapatan ini digunakan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta sebagai modal dalam melanjutkan proses produksi usaha tani kakao. Meski demikian, terlihat bahwa pendapatan terbesar berasal dari kakao. Biaya pendapatan ini masih lebih kecil dibandingkan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat.

Selain itu, pendapatan yang ditemukan dari hasil diskusi terlihat cukup tinggi karena kakao sendiri mengalami peningkatan harga yang cukup tajam disbanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu dari sekitar Rp 55.000 di tahun 2023, menjadi Rp. 120.000 di tahun 2024. Meski dengan peningkatan pendapatan yang cukup tinggi di tahun 2024 akibat kenaikan harga kakao, pendapatan petani per bulan masih ada di bawah upah minimum provinsi (UMP) Sulawesi Barat sebesar Rp. 2.914.958.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Dalam menjembatani petani kakao Polewali Mandar menuju penghidupan yang lebih layak, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Diantaranya dengan meningkatkan produksi dari kebun, mengurangi pengeluaran dalam pengelolaan kebun dan meningkatkan konsumsi pangan dari rumah.

Selain itu peran serta pemerintah dalam mendukung para petani kakao juga dibutuhkan. Hadirnya pemerintah dalam memfasilitasi para petani dengan memberikan pelatihan dan alat-alat pertanian sebagai penunjang dalam peningkatan produktifitas hasil tanaman kakao yang ada di Kabupaten Polewali Mandar juga menjadi ihwal yang mendesak.

Harapan terbesar para petani kakao yang ada di Kabupaten Polewali Mandar yaitu, stabilitas harga pembelian biji kakao baik kering maupun basah tetap stabil.

Mengingat biaya produksi yang dikeluarkan dalam usaha tani kakao cukup besar. Kamudian selain stabilitas harga pemenuhan sarana produksi bagi petani, seperti pupuk dan pestisida juga diharapkan dapat terpenuhi. karena kerap terjadinya kelangkaan pupuk dan mahalnya harga yang ditawarkan sehingga berdampak pada produksi hasil tanaman para petani kakao.


Penulis adalah, Mahasiswa Agribisnis Universitas Sulawesi Barat Angkatan 2021

REDAKSI

Koran Online TAYANG9.COM - "Menulis Gagasan, Mencatat Peristiwa" Boyang Nol Pitu Berkat Pesona Polewali Sulbar. Email: sureltayang9@gmail.com Gawai: +62 852-5395-5557

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: