“TELAH kudengar percakapan Tuhan dan Izrail. Jangan risau tidak ada namamu yang Tuhan perintahkan pada Izrail untuk dicabut malam ini. Bersenang-senanglah dengan dosa. Pintu taubat masih terbuka lebar. Sebelum maut sampai kerongkonganmu dan sebelum matahari terbit di ufuk barat. Besok aku kembali lagi.” Malaikat berjubah putih itu menghilang dari pandanganku. Ia pergi menembus kaca jendela kamarku. Secepat kilat ia kembali ke tempatnya.
Aku sudah tidak ingat pasti. Sejak kapan aku bersahabat dengan malaikat itu. Sengaja kusebut dia malaikat. Karena dia memang baik padaku. Dia selalu datang padaku setiap hari. Jauh-jauh datang ke bumi meninggalkan singgasananya di alam lain. Hanyamemberi kabar gembira tentangku yang belum menjadi target buruan Izrail. Itu saja yang setiap hari ia laporkan padaku. Menyuruhku untuk menikmati setiap perbuatan yang dilarang oleh Tuhan.
Jika malaikat itu sudah berucap demikian. Sajadah aku lipat, peci aku tanggalkan dan salat urung kulaksanakan. Untuk apa aku capek-capek beribadah? Toh, kematianku juga belum datang hari ini. Lagi pula Tuhan begitu baik pada hamba-Nya. Dia akan selalu mengampuni dosa-dosa hamba sekalipun setinggi gunung, seluas samudera. Sepanjang hamba itu mau bertaubat.
Banyak dosa telah kulakukan. Aku pernah membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Aku pernah mencuri barang-barang yang bukan menjadi hakku. Salat sering kutinggalkan. Al-Quran tak ubahnya pelengkap isi lemari, tidak lagi aku baca walau satu huruf pun. Zikir, syahadat, sedekah, berbuat baik sesama manusia kuabaikan. Untuk apa aku capek-capek beribadah. Tuhan pun belum memerintahkan Izrail untuk mencabut nyawaku.
Jika besok malaikat itu kembali datang. Lantas melaporkan jam empat sore Izrail akan mencabut nyawaku. Maka saat itu juga aku akan bertaubat, memohon ampun pada Tuhan. Sekiranya segala dosa-dosa yang telah aku lakukan Dia ampuni. Aku akan bertaubat seperti taubatnya orang-orang dahulu yang benar-benar nasuha. Bukan taubatnya orang-orangnya yang tidak istikamah. Hari ini menyatakan hijrah, besoknya taat, lusa akan mangkir dan berbelok lagi. Aku tahu Tuhan Maha Pengampun dan itu yang pernah aku baca dalam Quran. Dan tidak mungkin Dia tidak memaafkan segala kekhilafan hamba-Nya.
Dosa yang sering aku lakukan adalah zina. Banyak sudah rupa perempuan yang pernah kutiduri. Terutama perempuan-perempuan yang menghuni rumah pelacuran di perempatan jalan. Kubayar beberapa lembar uang ratusan. Maka mereka akan menyerahkan semua tubuhnya untuk aku nikmati. Malam ini pun aku akan kembali mengunjungi rumah pelacuran itu.
Kutatap wajahku dibalik cermin. Aku masih terlalu mudah jika Izrail akan segera mencabut nyawaku. Setengah abad lagi. Begitulah waktu yang cocok bagi Izrail untuk memburuku. Tapi aku ini hanyalah manusia. Tak punya kemampuan untuk menawarkematian pada Izrail.Sebagai manusia baiknya hanya bisa mempersiapkan segalanya sebelum semuanya terlambat. Kata malaikat itu, aku tidak perlu risau dan takut. Setiap hari dia akan selalu datang membocorkan percakapan Tuhan dan Izrail tentang nama-nama manusia yang akan dicabut nyawanya.
“Hidup di dunia hanya sekali. Masing-masing manusia punya jatah dan kesempatan untuk mencicipi kehidupan di dunia. Setelah masa tenggangnya habis. Maka manusia akan dikembalikan ke alam akhirat yang abadi. Maka dari itu selagi kau di dunia. Jangan takut berbuat dosa. Sebab aku akan datang padamu beberapa jam lebih cepat sebelum Izrail mencabut nyawamu. Beberapa jam sebelum kematianmu, kau masih bisa memohon ampun pada Tuhan. Dia akan mengampuni setiap manusia yang mau bertobat.” Nasihat Malaikat itu tatkala aku merenung tentang kematian di suatu pagi di teras rumah.
Sebelum menyambangi rumah pelacuran di perempatan jalan sana. Aku tidak lupa mengenakan parfum. Pakaian terbaik. Sebisa mungkin penampilanku mendapat pujian dari perempuan yang akan kutiduri malam ini.
Di tengah jalan langkahku terhenti. Tepat di depan rumah salah seorang warga. Kudengar isak tangis meraung-meraung di telingaku. Di teras rumah itu, tampak beberapa bapak-bapak paruh baya tengah berjaga sambil menghisap rokoknya dan bercerita tentang kematian. Peci melekat rapat di kepalanya, sarung melilit nyaman di perutnya. Mereka mengenakan pakaian agak tebal untuk menghindari usikan angin nakal yang menusuk tulang-tulang.
Langkahku semakin dekat ke arah mereka. Semakin nyaring pula suara tangisan dalam rumah itu. Juga pendengaranku menangkap orang-orang sedang membaca Quran di rumah itu. Dalam hati aku bertanya, apa yang sebenarnya telah terjadi. Rasa penasranku terjawab setelah mendengar percakapan mereka yang berjaga di teras rumah itu.
“Umurnya masih dua puluh tahun. Teralu dini nyawanya dicabut Malaikat Maut.”
“Namanya kematian tidak memandang usia. Jika tiba saatnya. Sudah tidak bisa ditwar-tawar lagi. Diulur sedetik pun juga tidak akan bisa. Entah itu anak-anak, mereka yang remaja atau orang tua sekalipun. Sebab kematian adalah kepastian yang akan dialami setiap makhluk yang bernyawa.”
“Kita baiknya mendoakan semoga beliau khusnul khatimah.”
“Mungkinkah almarhum akan meraih khusnul khatimah? Sedangkan kita tahu dia adalah pemabuk berat. Tidak pernah salat, puasa dan ibadah lainnya. Bahkan dia mati dalam keadaan meneguk tuak.”
“Kita serahkan semuanya sama Tuhan. Sebagai manusia kita hanya bisa saling mendoakan. Boleh saja kita tidak pernah melihat almarhum beribadah. Bahkan sering melihatnya berbuat dosa. Tapi Tuhanlah yang lebih tahu semua itu. Dia Maha Melihat. Dan selalu mengawasi setiap gerak-gerik hamba-Nya. Siapa tahu saja semasa hidupnya, almarhum pernah berbuat satu kebaikan yang bisa mengantarkannya ke surga. Tidakkah kita pernah mendengar kisah seorang pelacur yang masuk surga lantaran memberi minum seekor anjing yang kehausan?”
Begitulah percakapan yang kusaksikan dari mereka yang tengah berjaga di teras rumah itu. Nahas pemuda itu. Dia mati dalam keadaan meneguk tuak dan mabuk. Andaikan dia bersahabat dengan malaikat. Yang akan selalu memberitahu padanya percakapan Tuhan dan Izrail. Pemuda itu tidak akan mengalami kematian yang pilu seperti itu.
Aku merasa beruntung mempunyai sahabat malaikat sepertinya. Tidak takut lagi aku akan menghadapi yang namanya kematian. Bisa sesuka hati mengerjakan dosa. Beberapa jam sebelum Izrail mencabut nyawaku. Sahabatku, malaikat itu terlebih dahulu akan mengabari kedatangan Izrail. Barulah saat itu aku akan bertaubat. Memohon ampunan pada Tuhan yang Maha Pengampun.
Di rumah pelacuran di perempatan jalan. Aku sudah sampai. Mucikari bergincu tebal menyuruhku untuk memilih perempuan mana yang akan aku tiduri malam ini. Tanpa berpikir panjang, kutunjuk salah satu dari mereka yang paling cantik. Dia masih perawan, bisik mucikari yang gila uang. Kugiring perempuan cantik itu menuju kamar. Kami masing-masing menanggalkan pakaian. Satu dosa besar kembali aku lakukan.
Saat azan subuh berkomandang. Aku meninggalkan rumah pelacuran di perempatan jalan itu. Kusaksikan orang-orang berbondong-bondong datang ke masjid. Jumlahnya tidak sebanyak jamaah salat magrib. Aku masih ingat terakhir kali aku salat subuh di masjid itu. Beberapa tahun yang lalu. Saat aku belum bersahabat dengan malaikat.Sebenarnya ingin sekali aku kembali mendirikan salat. Dan menjauhi semua perbuatan dosa. Namun aku selalu teringat dengan nasihat-nasihat malaikat itu. Untuk apa aku capek-capek beribadah. Toh, belum juga ada tanda-tanda Izrail akan mencabut nyawaku.
***
Pagi itu. Langit tampak gelap. Aku panik malaikat itu belum menampkkan batang hidungnya. Aku takut, sekujur tubuhku gemetaran. Pernah aku membaca sebuah buku. Kelak tiba masanya manusia diambang kegelapan. Matahari sudah enggan menampakkan keperkasaannya lagi. Hingga tiba suatu hari matahari kembali bersinar. Namun ia tidak seperti dulu lagi. Ia terbit di ufuk barat dan tenggelam di bagian timur. Saat itulah taubat tidak akan diterima lagi. Dan hari kiamat semakin dekat menghampiri.
Kuperiksa arlojiku sambil mondar-mandir di dalam kamar. Menunjukkan pukul sembilan pagi. Aneh, langit masih gelap seperti jam lima subuh. Samar-samar kudengar percakapan tetangga yang menganggap fenomena ini adalah mendung biasa. Tapi itu tidak bisa mengusir perasaan takutku. Bagaimana jika nanti tiba-tiba matahari terbit di ufuk barat? Maka merugilah aku yang tidak sempat bertaubat. Kemana sahabatku, malaikat itu? Semalam ia telah berjanji akan datang hari ini.
Selang beberapa menit langit seketika cerah. Kupastikan matahari tidak terbit di ufuk barat. Ternyata langit tampak gelap, hanya mendung semata. Awan besar dan tebal sempat membendung sinar matahari. Rasa takut yang sedari tadi menghampiri kuusir jauh-jauh.Lebih bahagianya lagi malaikat itu tidak mengingkari janjinya. Kembali ia menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Raut wajahnya tidak sesumringah biasanya. Ia terlihat garang seperti ingin membunuhku. Jika saja ia bukan malaikat sudah tentu kuajak ke dapur untuk memapuskan kopi pagi bersama-sama.
“Kamu jangan mencoba manakut-nakutiku dengan tatapan melotot seperti itu!” Kugeser wajahnya untuk tidak menatapku lagi. Dia memang tidak berbicara, tapi seolah-olah aku bisa membaca kata hatinya seperti ini.
“Aku Izrail pemutus rantai kehidupan manusia. Aku malaikat pencabut nyawa. Membawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Sekaligus membawa kabar buruk untuk manusia pendosa sepertimu. Beberapa detik lagi nyawamu akan kucabut. Sebelumnya akan aku beri tahu satu hal padamu. Sahabat yang kau anggap malaikat itu bukanlah malaikat. Dia adalah iblis yang kau berinama malaikat, yang sedang mencari kawan dari manusia untuk bersama-sama menghuni neraka. Kamu salah satu dari sekian banyaknya manusia yang termakan bujuk rayunya. Apa yang ia katakan selama ini padamu dusta belaka. Maka terimalah kematianmu ini.” Begitulah kira-kira perkataan Izrail yang kubaca darinya. Aku pun mati sebagai orang-orang yang merugi. Amalku tak cukup dibanding dosa-dosa yang telah kuperbuat.(**)
MAWAN SASTRA adalah penulis sastra yang berdomisili di Sulbar dan kini produktif menulis cerpen diberbagai media termasuk di media sosial dan blog