BERITAFEATURE

Nawang Membolong di Alawe, Alawe Membolong di Nawang

Obie: Pentas ini, Respon atas Nilai Spritualitas dan Perlawan Kerakusan

LAMPU mendadak padam, tetiba dari arah belakang mereka yang tengah duduk bersila, sesosok lelaki bercelana dan berbaju serta berpenutup kepala kain serba hitam bergerak masuk seraya menembang “aaao aaao aaao”.

Tembang piondo (nina bobo-red) yang biasa digunakan masyarakat Mandar Sulbar saat tengah menidurkan anaknya di atas ayunan.

Pelan sosok yang tengah memanggul bakul berisi daun kering, buku, kelewang dan boneka bergerak dan merangsek menyisir orang-orang yang tengah asyik duduk bersila.

Di depan trap yang hanya setinggi 15 cm sosok itu kemudian melepaskan baju hitamnya. Tinggallah baju dalamannya yang berwarna putih menempel ditubuhnya.

Satu persatu dikeluarkannya daun kering, buku, gawai, boneka dan kelewang, pelan ia menghaturkan beragam salam dalam berbagai agama dan tradisi yang ada di nusantara.

Merdeka//ilmu pengetahuan yang selalu kita pamerkan// bagaimana kita telah membanggakan teknologi//dan mengkambing hitamkan sebuah kata yang hanya baca//gagal membaca nilai-nilai//kita lebih bangga dengan keponghan pengetahuan//membaca/membaca/membaca//bagaimana ilmu pengetahuan ini bekerja/tatkala kita telah lupa/dan abai pada nilai-nilai//

Begitu katanya, saat ia tengah asyik berdialog dan memegang buku yang dikeluarkannya dari dalam bakul yang ia bawa.

Pelan sosok itu, kemudian mengeluarkan gawai dari dalam bakulnya. Seraya mengomentarinya dalam kata-kata laiknya orang yang tengah meracau seorang diri

Dan/yah/ini/ponsel ini/adalah standar jaman/yang selalu kita update//membenturkan kita pada kemegahan//dan menenggelamkan kita hanyut ke dalam arus//arus teknologi//

Sejurus kemudian ia mengeluarkan boneka seraya kembali berbicara dalam nada kuat dan bergetar,

Manusia kini adalah boneka/diperbudak oleh pengetahuan/dan teknologi/lalu bagaimana mungkin kita akan menjaga alam/jika yang kita utamakan adalah selalu tentang kantong/selangkangan dan kelamin//

Usai meletakkan boneka, sosok itu kemudian mengeluarkan kelewang dan mengayun-ayunkannya seraya kembali meracau,

Yah/bagaimana//tetes darah menetes dari teknologi//berubah menjadi mesin bengis//darah menetes dari kelewang//oleh kerakusan dan kepentingan kuasa//atas lahan/tanah dan air/dan segala yang ada di dalam alam//kita menjadi pemerkosa sejati//lupa pada nilai-nilai yang diajarkan orang tua kita dahulu//

Setelah semua benda-benda di dalam bakul itu dikeluarkan dan diresponnya, racauannya pelan melambat melemah. Dirinya tersungkur dan mengambl pelan kain sambu (kain tenun khas Mamasa-red) untuk menyelimuti dirinya sambil kembali menembang, “aaao, aaao, aaao” dan ia lalu berteriak lantang, nawang membolong di alawe//alawe membolog di nawang//

Aktor Muda Berbakat

Tuntas dan tandas sudah. Pelan ia berdiri dan mengucap salam kepada semua peserta diskusi nasional yang mendaulat dirinya sebagai penampil utama happening dan monolog sebagai penanda dibukanya acara Diskusi Nasional yang bertema Spritualitas Lingkungan itu.

Acara yang dibesut Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman), Kelompok Pecinta Alam Kalpataru, Mahasiswa Pecinta Alam Bina Generasi, Kelompok Pecinta Alam Sandeq, Lembaga Mammesa, serta Pusat Kajian Perempuan Unasman dan digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi Unasman.

Acara diskusi yang dihadiri ratusan peserta dan berlangsung dalam dua plaform offline dan online serta menghadirkan Annangguru H Muhammad Syibli Sahabuddin, Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zensi Suhadi, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulsel Muhammad Al Amien sebagai nara sumber utama.

Adalah Daniel Obie, sang aktor yang tampil maksimal memainkan perannya, menggamit kesadaran para pecinta dan pemerhati serta aktivis lingkungan, betapa pentingnya kesadaran pada nilai-nilai dan spritualitas dalam memesrai alam dan lingkungan.

Daniel Obie atau yang karib disapa Obie adalah salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Unasman dan dikenal sebagai aktor muda berbakat yang telah cukup lama bergabung di Komunitas Sastra dan Teater (Kosaster) Siin Unasman.

Kepada media seusai pertunjukan, Obie mengaku naskah yang dimainkannya dalam bentuk performing art itu merupakan hasil pengembaraan dan pengamatannya terhadap realitas alam dan lingkungan.

“Ini murni asil perenungan, pengembaraan dan pengamatan atas kondisi terkini lingkungan dan alam kehidupan kita. Melalui performing art ini, kami hendak mengatakan, betapa pentingnya kesadaran nilai agar kita tidak lagi sekedar meletakkan kesadaran bentuk atau fisik saja”, urainya.

Menurut Obie, simbolisasi dari sejumlah benda-benda yang ditampilkan itu merupakan respon nyata betapa kerakusan dan kehebatan selalu ditakar dalam bentuk-bentuk verbal.

“Padahal terdapat kekayaan batiniah yang mesti diekplorasi untuk menyelamatkan lingkungan. Awalnya adalah kesedaran nilai spritualitas. Bukankah, tradisi dan kearifan lokal telah mengajari kita bagaimana memperlakukan alam dengan arif dan bijaksana? Ini yang dalam hemat kami, harus diekplorasi, bukan malah khusyuk mengekplorasi alam dengan rakus tanpa peduli dengan generasi mendatang”, pungkasnya.

MS TAJUDDIN

belajar membaca dan menulis juga pembelajar di kehidupan

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: