Metamorfosis Bau Peapi di Dalam Hujan

HUJAN turun di hari ahad yang baik dan indah. Lelaki kecil itu bersama neneknya tampak meringkuk dalam dingin yang bahagia dan tertidur pulas. Di depannya televisi tampak diam dan di layar leadnya hitam berjelaga. Tetes air hujan tampak turun melalui ujung rumbia, jatuh dan menyentuh tanah yang berkerikil. Jendela setengah terbuka, aroma hujan dan angin dingin menelisik masuk melalu kaca nako.
Hujan, sebagaimana sebuah hikayat, adalah momentum turunnya malaikat ke bumi. Turun bersama bulir tetes air hujan yang mengandung jutaan dzikir di dalamnya. Bumi dan tanah tampak sumringah menerimanya, setetes air hujan berarti dahaga telah tersudahi.
Di sehelai daun sarre tampak butir air hujan bergerak dan lalu terhenti. Remnya begitu pakem pelukannya erat mencumbui daun itu. Seekor nyamuk terbang tinggi di langit-langit kamar, sayapnya menyentuh kelambu yang belum dirapikan lalu menukik sebelum seluruh badannya meluncur ke luar menemui hujan. Dingin mengurungkan niatnya untuk pergi dan berlalu ke luar rumah.
Nyamuk itu kembali ke dalam kamar, bergerak mendekati betis lelaki kecil yang memeluk bantal guling itu. Singgah sejenak, hendak menyedot darah. Namun gagal, tangan sang nenek berkelebat meluncur dalam satu kibasan. Satu kali tepukan, nyamuk itu selesai.
Siang di bawah hujan itu duka menyayat, nyamuk telah berpulang pada siang yang dingin di temani hujan dan air mata. Tergetak dan tak berdaya, di lantai papan yang telah renggang dimakan usia dan pakunya telah berkarat. Di sisi bantal guling di depan televisi yang tak bernyawa.
Hujan belum berhenti, lelaki kecil itu terbangun, ke pada ibunya ia merengek ingin makan, ujung jari-jari tangannya tampak keriput dan menyisakan garis-garis dingin dan rasa lapar. Ibunya yang baru saja pulang dari pasar dan basah oleh hujan, segera menuju dapur, sepiring bau peapi duonya dingin, tetapi minyak tak sampai membeku kedinginan.
Perapian di dapur dinyalakan, sebuah periuk penggorengan terduduk di atas bara api dari kayu bakar yang telah mengepulkan asapnya. Dituangkannya minna’ Mandar yang aromanya wangi. Mata ikan dari bau peapi itu tampak sayu, seketika ia meluncur ke dalam penggorengan diantarkan pegaru bassi yang berminyak.
Aroma asap menyiarkan lezatnya ikan goreng. Badan ikan melepuh, dua tiga sendok pammaissang ikut meluncur, bunyi minyak menyeruak serupa dendang musik rancak meletup-letup. Perjalanan bau peapi telah bermetamorfosis.
Kini ia bukan lagi bau peapi, tetapi berganti nama dengan bau janno. Nasibnya telah berubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh selera lelaki kecil yang terbangun pada siang yang dingin itu.
Kreatifitas orang Mandar memang luar biasa, tak terkecuali di tangan ibu yang tak lagi muda itu. Sama persis dengan loka, nasibnya sangat tergantung dengan selera penghuni rumah ibu itu.
Ia bisa berakhir menjadi loka sattai, loka tunu, loka anjoroi, doayu loka, loka yanno, loka sari, kambossol, roko-roko utti, barongko, bahkan bisa berakhir menjadi dappo’. Perjalanan nasib memang tidak bisa ditebak, dan manusia Mandar bisa belajar pada hujan, nyamuk loka dan bau peapi.
Jelang sore hujan belum berakhir, lelaki kecil itu tampak bahagia seusai makan. Bapaknya yang tengah menulis catatan ini, lalu menatap ke luar jendela, berharap ada loka yanno ditemani kopi puli’ dan irisan golla mamea. Tidak bermaksud menghentikan hujan, tetapi dia sedang ingin merayakan hujan yang berdzikir yang datang ditemani jutaan malaikat itu.
Seraya membayangkan wajah Mursyidnya yang bergelar hujan. Seorang mursyid yang mengajarinya lelaku mencintai Rasulullah dan memandu dirinya dalam memahami dirinya sebagai manusia Mandar yang tidak saja harus baik, tetapi juga harus benar mengelolah kehidupannya dalam pemahaman eksistensi dan ketiadaan.
Tarhim masjid sebentar lagi terdengar, Mursyid yang mengajarinya ilmu hikmah yang kedatangannya selalu ditandai dengan hujan itu seketika terasa datang memeluknya. Loka yanno belum tersentuh, tangisnya pecah dan meledak. Dadanya bergemuruh. Rindu telah meringkuskan ke dalam shalawat dan dizikir pada sore jelang senja dibawah hujan yang berdzikir.