GAGASANOPINI

Merdeka Tanpa Perikemanusiaan

BANGSA Indonesia telah merayakan hari kemerdekaannya yang ke 72 tahun, tentunya kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan suci ramadan, adalah merupakan karuniah tersendiri bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.

Beragam upacara seremonial pun dirayakan, mulai dari Presiden RI dan jajarannya dengan berpakaian adat dari berbagai suku di Indonesia menunjukkan keberagaman bangsa yang ada. Begitupun hingga rakyat jelata yang merayakan kemerdekaan dengan cara mereka masing-masing baik melakukan pawai atau sekedar memasang umbul-umbul dan bendera merah putih dihalaman rumah masing-masing.

Betapa pentingnya kemerdekaan suatu bangsa sehingga seluruh warga negara antusias untuk merayakannya? Sejauhmana nasionalisme atau kecintaan tanah air itu berdampak terhadap keberlangsungan kehidupan bernegara serta kebhinekaan yang ada, tanpa menafikan peran mayoritas umat Islam, karena akhir-akhir ini bangsa kita gandurng dan tengah disuguhi tontonan dari para aktor politik maupun agamawan tentang kebenaran Islam atau Pancasila sebagai sebuah Ideologi negara. Tentunya hal ini nyata membentuk polarisasi pemikiran warga negara, antara yang Islam dan anti Islam, atau anti agama atau bahkan Pancasilais hingga anti Pancasila. Seakan-akan menghilangkan rasa kemanusiaan kita semua, bahwa kita adalah sama sebagai bangsa Indonesia.

Bahkan bentuk ekstrim dari polarisasi diatas merambah hingga ke ruang publik dan kehidupan kemasyarakatan kita, semisal saja fitnah antar sesama bangsa, diskrimansi serta tumbuhnya klaim kebenaran antar kelompok agama mayoritas dan minoritas, seakan tidak pernah berhenti menjadi hiburan kita setiap hari baik di media TV, media cetak maupun media sosial semisal facebook, twitter, instagram dan lainnya.

Soekarno sejak sedari awal mengkhawatirkan dalam pidato pada tanggal 1 Juni 1945 bahwa negara yang dibangun bukan untuk satu golongan, tetapi semua untuk semua, atau negara “kebangsaan” yang disebut Indonesia. Tetap saja Soekarno masih merasa ragu dengan berkata

“.. Saudara-saudara, tetapi.. tetapi.. memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya ! Bahanynya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme…” (Pidato Soekarno 1 Juni 1945).

Nasionalisme Perikemanusiaan

Polarisasi golongan kebangsaan dan keagamaan memang sejak dulu telah terjadi bahkan sebelum bangsa ini mengikrarkan kemerdekaannya dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Di negara manapun di dunia ini, para founding fathers harus menyelesaikan problem ideologi, jati diri dan identitas sosio-kulturnya sebelum membangun negara. Kita bisa mencatat beberapa ideologi dan sejarah negara bangsa yang hancur lebur akibat ketidakmampuan sebuah ideologi negara tersebut menyatukan masyarakat dan bangsanya. Sebut saja nasionalisme-mutlak demi menguasai daratan eropa, justru dijadikan oleh Hitler sebagai ajaran fasisme untuk membunuh kaum Yahudi (Baca; Heinemann, Mein Kampf, 1969).

Atau komunisme Lenin ataupun Stalin dimasa Uni Soviet sebelum hancur lebur menjadi beberapa negara bagian. Termasuk juga negara kekhalifaan Islam yang dibangun sejak zaman Abu Bakar As Siddik RA hingga kekhalifaan Turki Usmaniyyah terakhir di masa kepemimpinan Mustafa Kemal Attaurk tahun 1924. Inilah bukti nyata terhadap sebuah ideologi negara yang dibangun tidak berdasarkan kondisi sosiologis dan histori sebuah bangsa, bahwa pada akhirnya hanya akan melahirkan perpecahan dan kehancuran. Sehingga Soekarno menjelaskan lebih jauh bahwa nasionalisme yang harus dibangun adalah nasionalisme menurut Gandhi. Ghandi berkata “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan…”

Soekarno juga melanjutkan pidatonya dengan mengatakan “kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinsime, sebagai yang dikobar-kobarkan di eropa, …. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia, tetapi kita harus menuju pula pada kekeluargaan bangsa-bangsa. Inilah yang melahirkan prinsip Pancasila pada sila ke 2 tentang Persatuan Indonesia dan sila ke 3 tentang kemanusiaan yang adil dan beradab yang dihadirkan juga oleh Soekarno dengan kata Internasionalisme. Prinsip menyeluruh tentang hakikat dan penghormatan terhadap kemerdekaan dan keberadaan negara-bangsa lainnya selain Indonesia yang hingga kini dijadikan prinsip politik bebas-aktif bagi bangsa Indonesia.

Menjawab kekhawatiran Soekarno tentang kebangsaan dan nasionalisme yang nantinya akan menjadi chauvinsme ini dijawab oleh para golongan agama atau ulama bangsa Indonesia. mereka menyadari betapa pentingnya Pancasila sebagai internalisasi dari nilai-nilai nasionalisme dan keagamaan yang tumbuh subur di republik ini sejak masa lalu sebelum disebut sebagai Indonesia.

Menurut KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), sejak tahun 1919, tiga sepupu secara intensif mulai membicarakan hubungan antara Islam sebagai perangkat ajaran agama dengan nasionalisme. Mereka adalah H.O.S Tjokroaminoto, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. Belakangan, menantu Tjokroaminoto, yang ketika itu baru berusia 18 tahun, terlibat aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung bertahun-tahun tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwariskan oleh generasi berikutnya seperti Abdul Wahid Hasyim (putra KH. Hasyim Asy’ari), KH. A. Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Djoyo Sugito (tokoh Ahmadiyah). Hingga pada akhirnya dalam proses kemerdekaan bangsa, pada ulama menerima gagasan negara bangsa dan Pancasila tersebut. (Syafii Ma’arif, Ilusi Negara Islam, 2009).

Tentunya gagasan negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengamalan sejarah Nusantara sendiri. Pada sisi lain, sejarah panjang peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Makassar, Goa, Mataram II dan lain-lain, telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa.

Sementara pada sisi yang lain, dialog terus menerus antara Islam sebagai perangkat ajaran agama dan nasionalisme yang berakar kuat dari pengalaman bangsa Indonesia telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi keberagaman keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara (KH. Abdurrahman Wahid, 2009.)

Melihat Sebagai Manusia

Bagi para founding fathers dan pendiri republik ini, telah usai perjuangan mereka merebut kemerdekaan dan meletakkan dasar bernegara bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Mereka adalah pemimin sekaligus manusia yang melihat sesamanya dari sisi ‘kemanusiaan pula’. Sehingga sejauh apapun perbedaan yang ada pada pemimpin kita terdahulu dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dan perdamaian, tanpa caci maki, fitnah, atau hasutan demi memperjuangkan kepentingan kelompok mereka masing-masing.

Sejatinya tantangan dari awal yang penulis sampaikan bahwa di tengah mengisi hakikat kemerdekaan kita adalah membangun kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Hal inilah yang harus kita sadari bersama di tengah peliknya polarisasi isu dan wacana yang membagi dan diciptakan seakan-akan membenturkan Islam dan nasionalime itu sendiri. Tentu mengkhawatirkan bagi pembangunan kesejahteraan bangsa secara menyeluruh.

Paham inilah yang pada akhirnya dapat menimbulkan keresahan dan bahkan perpecahan terhadap bangsa Indonesia yang sedari dulu telah bersepakat untuk membangun bangsa ditengah perbedaan dan kemajemukan yang ada. Kita seakan menjauh dari kata kemanusiaan yang adil dan beradab itu di negeri plural ini bukan? Melihat manusia Indonesia hanya sebagai kacamata objek perbedaan baik agama, suku, ras, atau antargolongan semata, sehingga ketika manusia menjadi objek. Sehingga kita tidak segan untuk melakukan tidak kekerasan atas nama agama dan lainnya. Tetapi kita lupa bahwa kita adalah sama sebagai subjek pembangunanan manusia dan indonesia.

Kekerasan terhadap manusia atau antar pemeluk agama tidak selalu hadir dalam bentuk fisik, tetapi kekerasaan atas nama agama melibatkan tekanan-tekanan nonfisik. Misalnya dengan memuat dimensi politis, sosiologis, maupun antropolgis (Wim Beuken, 2003). Lebih jauh dampak kekerasan nonfisik ini bisa berakhir dengan perpecahan atau bahkan perang atas nama agama serta antar agama dapat terjadi.

Jangkauan tindak kekerasan atas nama agama dapat disaksikan pada hampir semua kawasan di dunia. Di eropa terjadi ethnic clearing terhadap pemeluk agama Islam yang dilakukan pemeluk agama Kristen Bosnia dan Kroasia. Negara Irlandia menyumbangkan konflik antar pemeluk agama Kristen Khatolik dan Kristen Anglikan (Gerard O’colling, 1996). Konflik Islam dan Nasrani di Yaman Sudan dan Indonesia. Bahkan lebih menyedihkan terkadang konflik tiga pemeluk agama. Misalnya konflik Islam, Kristen, dan Yahudi di Libanon (Tri Budhi Satrio, 2000).

Aspek-aspek kekerasan nonfisik inilah yang kita saksikan setiap hari yang terjadi pada masyarakat Indonesia melalui media TV ataupun cetak, termasuk media sosial yang menjadi ancaman nasional. Setiap hari kita disuguhi isu dan ujaran kebencian yang berusaha memecah belah. Isu entnis tertentu senantiasa dijadikan objek agar anak bangsa tidak saling percaya. Pemerintah senantiasa dijadikan sasaran kritik dan kesalahan sehingga rakyat tidak lagi percaya terhadap pemerintahnya.

Padahal, dalam konteks sosio-historis, masyarakat Indonesia terkenal dengan kesopanan dan keramah-tamahannya, yang menurut Soekarno manusia Indonesia adalah manusia ‘Gotong Royong’. Inilah saripati dari seluruh sifat manusia Indonesia. Jika diterjemahkan lebih jauh, Soekarno mengatakan “…Kami harus selalu bersedia membantu orang yang pernah menolong kita di waktu ia memerlukannya. Itulah yang dinamakan gotong royong. Saling membantu…” (Cindy Adams,2000). Sebuah sifat manusia yang rela menyingkirkan ego dan kepentingan pribadinya demi kepentingan manusia seluruhnya, yaitu manusia Indonesia.

Fenomena yang terjadi pada masyarakat kita akhir-akhir ini mengingatkan penulis pada sebuah syair dari Imam Syafi’i ketika ia harus menjadi bahan fitnah dan tuduhan sebagai orang yang beraliran Rafidah. “Jika kecintaanku kepada keluarga Muhammad adalah (membuat aku dituduh sebagai) rafidhi). Maka (kalau memang demikian) hendaklah seluruh makhluk menyaksikan bahwa aku adalah orang Rafidi”.. (Muhammad Abu Zahrah, 2005). Bukankah kemerdekaan tanpa ‘perikemanusiaan’ itu sulit ditengah pluralitas hidup bangsa Indonesia?? Wallahua’lam Bisshawab.(**)

MUNAWIR ARIFIN

Pengajar FISIP Universitas Al Asyariah Mandar Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini: