Kuasa Lupa

DAKU tidak sanggup membayangkan hambarnya persidangan jika tidak dihadiri jaksa penuntut umum. Hambar karena tidak dapat melihat penguasaan materi dakwaan, kecakapan retorika, sekaligus kepiawaian membaca psikologi manusia.
Meski kemampuan itu tidak berarti, jika menghadapi jawaban lupa dari terdakwa. Segenap metode, dalih, dan pertanyaan pancingan yang diajukan jaksa guna memperoleh informasi tetap tidak dapat digali dari lupa.
Lupa layaknya cara efektif dalam menghindari cecaran pertanyaan. Lupa laksana kondisi yang tidak lagi setia pada ingatan. Tadinya ingat, malah sudah dihapal di luar kepala, kok bisa mendadak lupa. Siapa saja, di mana saja dan dalam kondisi apa saja orang rentan lupa.
Profesor Blake Richards bersama rekannya, Paul Frangkland peneliti dari University of Toronto (U & t) di tahun 2017 lalu, pernah mempublikasikan hasil penelitian terkait sifat pelupa manusia. Hasil penelitian mereka cenderung tidak lazim, karena ternyata sifat pelupa, justru berpeluang meningkatkan kecerdasan.
Otak yang terlalu banyak menyimpan informasi justru berpotensi membebani kerja otak. Khususnya elemen neuron pada hippocampus otak (kemampuan mengingat) yang rentang membuat otak cepat dan gampang mengalami keletihan. Otak yang letih biasanya berujung pada kekeliruan dalam pengambilan keputusan.
Walau kebiasaan lupa menyiram bunga ketika keasikan nonton itu terbilang lazim. Lupa makan ketika keasikan kerja masih tergolong biasa. Bahkan setelah keasikan makan, eh, malah lupa jika sedang puasa. Serupa sinetron yang begitu digandrungi ibu-ibu.
Mereka seolah tidak berdaya ketika aktor idolanya sampai tertabrak mobil dan difonis amnesia. Tidak hanya pacar, suami, teman sekelas, bahkan orang tuanya tidak lagi dikenalinya. Parahnya jika sampai ibu-ibu pecinta sinetron itu ikut tertular lupa.
Keasikan menonton sinetron, hingga lupa memasak untuk suaminya. Semoga sifatnya kasuistik semata. Daku khawatir, jika suaminya tidak hanya lupa pulang ke rumah, tetapi ikut lupa jika sudah memiliki istri.