Jelekko*

SUDAH beberapa hari ini daku berusaha menahan diri untuk tidak memberikan respon atas satu diksi yang dijadikan judul tulisan ini. Satu kata yang justru berhasil memancarkan resonansi atas situasi minor diri sendiri.
Viralnya kata itu di jagat maya Sulbar, bisa jadi serupa amsal, semacam ringkasan, seperti pemadatan atas mekanisme peragihan dan ‘pembakaran’ jiwa di bulan puasa ini. Ya, minimal tidak gampang tersulut untuk saling tuding, aduh jotos, saling seruduk di dunia nyata, bahkan saling melempar opini di dunia maya.
Bukankah bahasa publik adalah cerminan suasana batin suatu masyarakat? Daku sungguh berharap semoga judul tulisan ini tidak lantas menjadi cermin retak kolektif ke-diri-an ‘masyarakat’ media sosial.
Karena jika itu yang terjadi, bisa jadi diri ini-sudah terlampau sering hadir dengan wajah yang dipenuhi topeng. Entah itu topeng atas nama pribadi, organisasi, institusi, bahkan atas nama nilai mala’bi yang selama ini mengasuh dan terlanjur dipuja serta diagungkan.
Segenap teori bahasa bahkan dimensi estetika sastra yang selama ini banyak pelajari seketika runtuh, karena belum sanggup menganalisa, memaknai bahkan merumuskan judul tulisan ini secara utuh dan autentik.
Judul tulisan yang sedianya berhasil mengajak daku menepi, sekaligus melecut diri ini untuk sedikit merenung pada tiap peristiwa yang riuh di dunia nyata dan di dunia maya. Lalu sebutir kata ini sebenarnya hendak memberi isyarat apa?
Meski istilah isyarat terlampau tinggi, terlalu halus, bahkan terlalu agung, karena bisa jadi kata itu hadir sebagai ibarat, hadir semacam tamsil atas diri yang selama ini begitu degil, berwajah menyeramkan dan mengenaskan di kanal-kanal media sosial.
Diri yang sering menampilkan wajah angkuh, sulit mengalah, sering merasa lebih intelek, terkadang mengaku lebih berbudaya, bahkan dengan bangga menampilkan sikap ujub kesolehan dan kehebatan di dunia nyata terlebih di dunia maya.
Lalu daku harus bagaimana?
Sudahlah, sudah begitu jelas pesannya; satu kata saja daku tidak sanggup melawannya, apalagi untuk melawan diri sendiri di bulan Ramadan ini.
Wallahu’alam..
*Teriakan mahasiswi STIKES Bina Bangsa Majene (BBM) saat menghalau aktivis HMI yang berdemo di pelataran kampusnya, (12/03/25).